Tampilkan postingan dengan label movie review. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label movie review. Tampilkan semua postingan

Selasa, 31 Agustus 2021

Balada Sepasang Kekasih Gila: Ketika Tuhan Menjadi Solusi di Tengah Dehumanisasi

Agustus 31, 2021 1

Ketika kewarasan dan kegilaan melebur, kemanusiaan terkubur, ketuhanan justru menderas muncul. Itu yang tampak jelas dalam film berjudul Balada Sepasang Kekasih Gila yang diangkat dari novel berjudul sama yang ditulis oleh Han Gagas.


Film ini disutradarai oleh Anggy Umbara dan dibintangi oleh Denny Sumargo sebagai Jarot dan Sara Fajira sebagai Lastri. Jarot dan Lastri diceritakan sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang sudah tidak memiliki keluarga, tidak diterima masyarakat, kemudian saling jatuh cinta dan menikah, tapi sayangnya kisah romansa mereka harus berakhir tragis.


 

Ketimpangan Relasi Kuasa yang Membuat ODGJ Selalu Kalah

Tidak banyak film Indonesia yang mengangkat karakter ODGJ apalagi dijadikan sebagai peran utama. Mari kita lihat dari beberapa film yang rilis tidak jauh dari film Balada Sepasang Kekasih Gila yaitu Tak Ada yang Gila di Kota Ini (2019) dan film Selesai (2021).


Film Tak Ada yang Gila di Kota Ini merupakan karya sutradara Wregas Bhanuteja yang diadaptasi dari cerpen Eka Kurniawan. ODGJ dalam film ini terlihat disingkirkan sekaligus diperalat dengan menjadi objek pertunjukan yang memungut bayaran lumayan mahal dari para penontonnya yang mayoritas adalah turis asing.


Sementara di film Selesai, yang disutradari oleh Tompi, isu gangguan jiwa memang tidak menjadi isu utama dalam filmnya, hanya saja tokoh utama diperlihatkan berada di rumah sakit jiwa karena tekanan batin akibat ulah suami yang selalu selingkuh. ODGJ selalu menjadi orang yang kalah, berada di level yang lebih rendah dari orang-orang “normal”.


Untuk melengkapi pengalaman menonton Balada Sepasang Kekasih Gila, saya rasa penonton perlu menonton film dokumenter berjudul Memory of My Face (2019) produksi Elemental Productions.


Dalam film itu, sosok Bambang seorang ODGJ pengidap schizoaffective disorder bercerita tentang pengalamannya bagaimana dia awalnya sakit mental, yaitu ketika putus cinta dari cinta pertamanya, dan bagaimana dia juga memiliki keinginan untuk sembuh serta ingin mencari uang untuk membelikan buku untuk anaknya agar anaknya gemar membaca karena menurut Bambang hal itu penting untuk masa depan anaknya.


Film dokumenter ini menceritakan adanya sebuah upaya, kesadaran dari ODGJ untuk memiliki kehidupan yang normal yang sayangnya itu tidak ditemukan di film Balada Sepasang Kekasih Gila. Memang keduanya memiliki muatan isu yang agak berbeda.


Tapi, bukankah berakar dari kepedulian yang sama? Bahwa ODGJ punya derajat yang sama, bahwa kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan untuk bisa menerima ODGJ di lingkungannya, dan bahwa ODGJ perlu diperlakukan dengan manusiawi seperti layaknya manusia lainnya.  


Selalu ada kenyataan yang sengaja "dihidupkan" dalam sebuah film, demi realitas yang dibutuhkan untuk dibangun, bahkan dalam film dokumenter sekalipun. Sayangnya, kenyataan dalam film Balada Sepasang Kekasih Gila tidak berupaya untuk memberi harapan bahwa ODGJ punya harapan atau punya kesempatan untuk bisa memperbaiki hidupnya. Agar ODGJ tidak melulu ditampilkan sebagai orang yang hanya bisa kalah.


Padahal, sepertinya bisa cukup menarik jika ada sedikit cerita bagaimana Jarot dan Lastri mencoba untuk tidak melulu kalah. Apalagi Jarot yang sudah dinyatakan sembuh dengan jelas. Mungkin akan semakin menarik jika diperlihatkan adanya upaya mereka untuk bisa diterima di masyarakat atau pun upaya dari pihak masyarakat yang mencoba menerima mereka.

 

Sejak awal, sampai film berakhir, diskursus antar keduanya tidak pernah ada, karena yang tampil hanya selalu benturan dan pertentangan antara Jarot dan Lastri yang ODGJ dengan masyarakat yang “normal”. Bukankah akan lebih baik dan juga menarik jika diperlihatkan adanya tujuan kuat dari karakter serta perkembangan karakter, begitu pun perkembangan dunia di sekitarnya yang terus menerus melawan dan menolak mereka. Akan tetapi, itu tidak tampak dalam film ini.

 

Hanya ada satu adegan di mana segelintir orang mau mengakui mereka, yaitu ketika mereka hendak menikah di hadapan penghulu. Mereka dinikahkan sebagaimana mestinya. Mungkin, apakah memang hanya orang beragama yang punya nurani untuk berbuat kebaikan terhadap mereka? Rasanya, film ini masih menyimpan kenaifan semacam itu.

 

Padahal, sejak awal, diperlihatkan bagaimana Jarot kelaparan di jalan, tapi tidak ada yang mau memberikannya makan dan sampai akhir tidak jelas bagaimana Jarot keluar dari masalah kelaparannya itu. Seolah ketika dia menikah dengan Lastri, dia tidak lagi pusing soal rasa lapar lagi.

 

Tapi ya balik lagi misinya mungkin memang ingin memperlihatkan bahwa mereka yang sudah terpinggir akan terus terusir. Bahkan ketika mereka tinggal di kuburan di mana itu adalah tempatnya orang mati, masih saja mereka harus tergusur.

 

Jadi, tidak perlu heran jika kedua orang yang jelas-jelas kalah di awal cerita terlihat hanya akan terus menerus kalah sampai akhir cerita. Satu-satunya yang berhasil mereka menangkan adalah mereka berhasil bertemu lagi setelah sempat terpisah, mereka bisa bersama bahkan menikah. Mungkin kemenangan lainnya adalah kedua pasangan ini bahagia di alam yang lain karena tampak gambar Jarot dan Lastri yang bergandengan tangan dengan bahagia, di penutup film.

 

Kebahagiaan yang didapat di alam lain ini diperkuat dengan suara narator (yang sejak awal dikisahkan sebagai anaknya yang ternyata adalah anak yang tidak sempat terlahirkan ke dunia) ketika adegan Jarot dan Lastri yang (sepertinya) meninggal di kuburan yang menjadi tempat tinggal mereka itu, mengatakan, “kami pun sadar bahwa hal ini adalah yang terbaik untuk kita semua demi mendapatkan kebahagian sejati, nanti.” Bagian ini juga semakin menekankan aspek spiritualitas dan ketuhanan yang memang ditampilkan dari kedua karakter dalam film ini.

 


Kentalnya Spiritualitas dan Konsep Ketuhanan di Tengah Kebanalan

Sulit sekali rasanya membayangkan Jarot dan Lastri adalah dua manusia tak berakar yang lepas dari segala bentuk ikatan masa lalu dan latar belakangnya. Karena berbagai atribut identitas masih begitu melekat dari berbagai potongan dialog dan gestur karakter yang menurut saya amat disayangkan tidak ada penjelasan tentang bagasi seperti apa yang mereka bawa. Mungkin tidak penting bagi pembuat film karena pastinya akan sangat memperpanjang durasi.

 

Lastri mengaku dirinya beragama Kristen dan menyimpan Alkitab, sementara Jarot ketika ingin menolong Lastri dari orang-orang yang memaksanya kembali ke tempat pelacuran mengatakan, “Menyelamatkan satu manusia itu sama halnya dengan menyelamatkan seribu umat manusia, itu kata bapakku”. Kalimat ini merupakan bagian dari tafsir Al Quran Surat Al-Ma’idah Ayat 32. Jarot juga memilih menikahi Lastri karena dia takut berdosa kalau zina.

 

Konsep ketuhanan semakin kental terasa ketika suara narator yang sejak awal sampai akhir terdengar seperti ceramah. Narator mengucapkan kata-kata yang kurang lebih berbunyi “ketika kita mengenal diri kita berarti kita mengenal Tuhan kita”, ketika Jarot kelaparan menyusuri gang-gang sempit dan diusir pemilik warung yang bahkan lebih memilih memberi makan kucing dibanding dirinya. Jarot terus berjalan sampai dia di hutan berdialog dengan “Pelayan Tuhan” dan di sawah  merasa bisa melihat Tuhan.

 

Berbagai unsur ini semakin memperlihatkan bahwa di tengah dehumanisasi yang menimpa Jarot dan Lastri, ketuhanan masih menjadi sandaran yang diandalkan. Entah mengapa solusi dari kemanusiaan yang biadab masih dimuarakan pada persoalan ketuhanan. Seolah dengan bersandar pada pengalaman ketuhanan maka permasalahan dehumanisasi yang dialami ODGJ dapat selesai.

 


Masih Menyimpan Stigma

Sekalipun nilai kemanusiaan disorot begitu tajam, sayangnya, film ini masih menyimpan stigma negatif ODGJ. Padahal, film sebagai produk budaya menjadi tidak hanya menjadi perekam jejak peradaban sebuah bangsa baik secara gamblang maupun metaforik yang tidak selalu melulu ditarik ke realitas karena film bisa mencipta realitasnya sendiri yang bisa menggoyahkan kemapanan pemikiran sehingga ada tatanan baru yang bisa terbentuk.


Film ini belum menjadi film yang memiliki muatan perlawanan besar terhadap stigma. Sejak awal penonton akan mendengar Jarot yang teriak-teriak di rumah sakit jiwa karena dikurung dalam ruang isolasi yang sempit atau Lastri yang ngamuk ketika diganggu oleh anak-anak kecil. Memang aksi mereka ini merupakan sebuah reaksi dari pengalaman tidak menyenangkan yang mereka alami, tapi hal ini yang membuat Lastri diusir dari lingkungannya karena dianggap meresahkan warga sekitar.


Kemudian Lastri juga diperlihatkan membunuh para pemerkosanya. Sebuah tindakan yang memang sangat beralasan kuat, namun tetap saja menempatkan sosok ODGJ sebagai sosok pembunuh. Apalagi ketika membunuh, Lastri juga diperlihatkan sambil tertawa-tawa seolah begitu menikmatinya. Jarot pun diceritakan juga pernah membunuh orang yang jahat padanya, walau tidak dijelaskan terlalu rinci perbuatan jahat apa yang dilakukan orang tersebut sampai dia membunuhnya.


Stigma bahwa ODGJ menjadi rentan berbuat jahat atau tindakan kriminal masih melekat. Sepertinya permasalahan ini bukan hanya menjadi tantangan di film Indonesia, tapi juga di luar negeri. Dr. Stacy L. Smith, seorang Founder dan Director di Media, Diversity, and Social Change Initiative di Annenberg School for Communication & Journalism, University of Southern California, pernah mengungkap mengenai kecenderungan stigma ODGJ dalam film melalui penelitiannya yang berjudul Mental Health Conditions in FIlm & TV: Potrayals that Dehumanize and Trivialize Characters pada bulan Mei 2019 yang dapat dilihat di Annenberg.usc.edu


Dalam penelitian tersebut, Smith mengungkapkan bahwa kondisi kesehatan mental sangat jarang ditampilkan di film dan acara tv popular. Dari 4.598 karakter dalam 100 film terlaris yang tayang di tahun 2016, hanya sekitar 1,7% atau 76 karakter yang menggambarkan kondisi kesehatan mental. Bahkan ketika ditampilkan pun masih membawa stigma negatif.


Dalam tulisannya tersebut Smith lebih jauh mengungkap bahwa sekitar 47% karakter ODGJ di film selalu diremehkan dan dihina atau menjadi bahan ejekan berbalut humor. Sebagian besarnya  juga ditampilkan sebagai pelaku kekerasan. Sekitar 46% karakter ODGJ di film tampil agresi dan "berbahaya" bagi masyarakat yang diperkuat dalam penggambaran di film.


Melalui penelitiannya tersebut, Smith berharap bahwa pembuat konten dalam hal ini film dan televisi dapat berkolaborasi dengan para ahli untuk menggambarkan kondisi kesehatan mental dan pengalaman terkait dengan menghadirkan cerita yang tidak memberikan stigma dengan cara menjadikan cerita dan karakter bernuansa kompleks yang menggambarkan tantangan, kemenangan, kekuatan mereka dalam memperjuangkan kesehatan mental serta penyembuhan juga pencarian dukungan. Sehingga cerita dapat memperluas kesadaran kolektif penonton dan masyarakat.


Jika bercermin di Indonesia, jumlah film yang menampilkan ODGJ tentu lebih sedikit lagi, ditambah belum ada yang cukup siginifikan mengangkat jenis-jenis kondisi mental tertentu. Sehingga ODGJ yang digambarkan masih saja sama dan seragam, yaitu berantakan, kotor, sering meracau, mengacau dan semacamnya. Padahal kondisi mental atau gangguan jiwa ada banyak jenisnya. ODGJ dalam film masih rentan mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari sekitarnya.


Semoga dengan memperlihatkan betapa hinanya perlakukan manusia "normal" pada ODGJ di film ini mampu menyadarkan penonton untuk memperlakukan ODGJ dengan lebih baik dalam dunia nyata. Karena tampaknya mengangkat cerita tentang perlakuan manusiawi kepada ODGJ dalam sinema Indonesia masih butuh upaya dan perjalanan yang cukup panjang.

 

Jumat, 28 Mei 2021

Review Series "Kisah untuk Geri": Romansa Remaja yang Bikin Baper

Mei 28, 2021 2

Kisah untuk Geri

Sejak nonton Angga Yunanda di film Dua Garis Biru, saya langsung ngefans sama anak muda ini. Mukanya enak banget dilihat, ya. Wkwkwk. Jadilah kalau ada film yang dia jadi aktornya kayaknya ngerasa kudu banget aja gitu nonton.


Walau, ya sayangnya sih, filmnya nggak semuanya bagus. Ada yang malah nggak banget, contohnya yaitu film Di Bawah Umur yang bisa dibilang film remaja tergagal menurut saya. Nggak tahu kata apa yang bisa ngewakilin film itu, sih. Intinya film yang sangat ngawur dan nggak layak untuk ditonton. Apalagi oleh penonton remaja.


Selain itu ada film yang juga kurang oke, yaitu Mariposa. Di situ Angga dipasangin lagi bareng Zara. Tapi, rasanya Zara bener-bener annoying di film itu. Ambisius banget ngejar-ngejar Angga. Tapi film ini jelas masih lebih baik dibanding Di Bawah Umur. Dari segi cerita, film Angga Yunanda yang paling bagus ya Dua Garis Biru. Cuma sayang dia kayak kurang “bersinar” aja di film itu. Karena ya emang film itu kayak berpusat di tokoh Dara yang diperanin Zara.


Akting Angga yang paling keren menurut saya justru di Kisah untuk Geri. Tapi ya ini bukan film melainkan series. Chemistry Angga Yunanda dengan Syifa Hadju dapet banget, sih menurut saya bahkan melebihi chemistry Angga dengan Zara di dua film-nya. Angga sama Syifa super manis banget di Kisah untuk Geri.


Kisah untuk Geri ini merupakan series yang diangkat dari novel berjudul sama yang tayang di Wattpad dan ditulis oleh Erisca Febriani dan diproduksi oleh MD Entertainment. Saya memang lebih dulu nonton series-nya dibanding baca novelnya. Baca novelnya pun nggak sampai habis, cuma bagian awal. Dan series-nya, menurut saya, lebih bagus daripada novelnya. Terutama di bagian awal ya, karena saya memang baca novelnya cuma di awal.


Saya salut banget sih sama penulis skenario yang sayangnya nggak jelas siapa karena cuma ditulis Queenb.  Salut juga sama sutradaranya, Monty Tiwa. Jarang-jarang cerita adaptasi ke layar bergerak bisa lebih bagus dari novel. Waktu baca novelnya nggak terlalu terasa penasaran untuk bener-bener baca sampai akhir. Tapi, waktu nonton series-nya, tiap episode bener-bener dibuat penasaran.


Beberapa karakter juga sedikit diubah dari sifat aslinya di novel. Di novelnya, Dinda digambarin di awal bener-bener nyebelin banget. Di series-nya juga, sih, tapi cuma sebentar, karena setelah ayahnya ditangkap karena kasus korupsi, Dinda langsung berubah banget. Jadi tokoh yang layak dicintai penonton.


Tokoh Raini juga di novel digambarin kayak gadis baik yang lugu. Di serialnya, tokoh ini dibuat cukup powerful sehingga layak banget untuk disandingkan jadi saingan Dinda. Walaupun mereka nggak bersaing juga, sih hehehe.

 

Jadi, Series Kisah untuk Geri Bercerita tentang Apa?

Foto: md.manojpunjabi.com/teaser-poster-1-2-3-kisah-untuk-geri

Untuk kamu yang mau tahu series ini bercerita tentang apa, berikut ini sinopsis Kisah untuk Geri yang bisa kamu baca:


Serial ini bercerita tentang Dinda (Syifa Hadju), seorang siswa SMA yang cantik dan kaya yang mendadak jatuh miskin karena ayahnya tersandung kasus korupsi. Dia meminta Geri (Angga Yunanda) menjadi pacarnya agar bisa melindungi dirinya dari perundungan teman-teman di sekolah karena Dinda dikenal jadi anak koruptor. 


Sejak awal hubungan keduanya memang tidak baik dan sering bertengkar. Apalagi ketika mereka mulai hubungan pacaran pura-pura tersebut. Dinda yang awalnya adalah gadis sombong dan menyebalkan perlahan berubah sikapnya atas kejadian yang menimpa keluarganya. Dia pindah ke kontrakan kecil dan ibunya harus pergi bekerja ke luar negeri untuk bisa menghidupi mereka. Dinda pun tinggal sendiri.


Lambat laun Geri jadi semakin peduli pada Dinda dan sungguh-sungguh ingin melindunginya. Tapi, Dinda pun perlahan menjauh dan memutuskan hubungan pacaran pura-pura dengan Geri dan membiarkan Geri mendekati cewek yang disukainya yaitu Raini (Jennnifer Coppen).


Hubungan ketiganya ditambah dengan Jia (Elina Joerg) yang benci dengan Dinda dan Rio yang dendam pada Geri menjadi cerita yang cukup pelik dan menarik untuk terus diikuti sampai akhir.


Pemain Serial Kisah untuk Geri



Berikut ini nama tokoh dalam cerita dan pemerannya.

Geri Alfian Putra: Angga Yunanda

Dinda Kamalia Putri: Syifa Hadju

Raini: Jennifer Coppern

Jia: Elina Joerg

Adit: Irzan Faiq

Budi: Antonio Blanco Jr.

Kiara: Jessica Shaina

Jazzy: Jesslyn Elvareta

Rio: Justin Adiwinata

Irene (kakak Geri): Endhita

Lucy (keponakan Geri): Graciella Abigail

 

Kisah untuk Geri Tayang di mana?

Foto: md.manojpunjabi.com/teaser-poster-1-2-3-kisah-untuk-geri

Serial ini tayang di Iflix dan WeTV sejak 5 Maret 2021. Saya nonton gratis, bedanya dengan yang VIP jadi delay aja nontonnya. Untuk VIP bisa nonton dua episode lebih awal. Tapi, kayaknya untuk sekarang karena sudah agak lama tamatnya, yang gratis cuma dua episode awal aja. Selebihnya untuk bisa nonton sampai tamat 9 episode, harus jadi VIP.

 
Kelebihan


1. Series ini bisa bikin baper bahkan untuk orang seusia saya yang jelas-jelas udah bukan remaja. Beberapa kali nonton film remaja, rasanya kok nggak baper dan cuma terkesan lebay aja. Tapi nonton Kisah untuk Geri, ada saat-saat di mana ikutan ngerasa “jleb” gitu. Kayak bener-bener ngerasain nyesek dan nggak enaknya jadi Dinda, juga ngerasa tersentuh sama manisnya Geri. Rasanya kayak nostalgia ke romansa masa muda.


2. Akting Angga dan Syifa bagus banget. Dari film-film sebelumnya saya melihat Angga itu tipikal yang masih agak bergantung dengan lawan mainnya. Kalau lawan mainnya bagus ya dia ikut bagus. Termasuk di Kisah untuk Geri


Walaupun jelas-jelas nama Geri jadi judul film-nya, tapi tokoh Dinda bisa dibilang yang jadi pusat cerita di serial ini. Dan Syifa memainkan peran sebagai Dinda dengan sangat bagus sekali. Manjanya dapet, ngeselinnya dapet, seru, rame, gemesin, menyenangkan, tapi juga sangat tangguh sekali.


Akting Angga sebagai jagoan sekolah juga keren. Pantas banget dia jadi idola selain ya emang ganteng. Dia jagoan tapi masih anak baik-baik gitu. Dan bisa sedih juga waktu diputusin Dinda. Lihat muka Angga waktu diputusin Dinda sambil Dinda main piano di kafe itu memorable banget, sih. 


Sama waktu dia liat berita tentang ayahnya Dinda yang divonis 15 tahun penjara, dia langsung ninggalin Raini dan dateng ke rumah Dinda, di situ ekspresi Angga luar biasa banget! Kerasa banget raut muka seseorang yang begitu peduli, begitu sayang sama seseorang dengan kadar perasaan yang sangat besar.


3. Hubungan Dinda dan Geri nggak cuma manis sebagai pasangan tapi juga manis sebagai sahabat. Jarang banget ada film Indonesia yang sukses gambarin hubungan cinta sekaligus persahabatan lawan jenis yang sekental Dinda dan Geri. Kalau relasinya sebagai pacar ya udah pasti romantisme ala kekasih aja yang digambarin. Nah, kalau Geri dan Dinda ini oke juga jadi sahabat. Kayak natural gitu hubungannya.


4. Serial nggak cuma bicara soal cinta-cintaan. Nggak ada tuh kisah yang menye-menye. Apalagi karena series ini bener-bener diwakilkan sama tokoh Dinda. Dinda begitu berbesar hati waktu Geri jadian sama Raina. Rapuhnya Dinda bukan karena soal patah hati, tapi justru soal kasus ayahnya. Belum lagi Dinda yang jadi pergi ke Malaysia karena ibunya mau Dinda meneruskan pendidikan di sana nunjukin kalau masalah pendidikan itu jauuuhhh lebih penting dari cinta-cintaan masa muda.


Yang menarik selain hubungan romansa dan persahabatan remaja yang jadi inti cerita serial ini, sosok remaja perempuan yang kuat menanggung keterupurukan dan berbagai masalahnya diperlihatkan dengan sangat apik oleh Syifa.


Dia terlihat begitu kuat walaupun dia sering dirundung, tinggal sendirian dengan segala keterbatasan, ditambah lagi masalah dengan Rio yang merekamnya saat dia sedang ganti baju, dituduh mencuri, dan sederet masalah-masalah lainnya tidak membuat Dinda tampak sebagai sosok yang teraniaya, tapi dia tetap berdiri tegak jadi sosok yang tangguh.


Walaupun Dinda nangis juga pas Geri dengan nyebelinnya mutusin dia karena nggak mau setiap hari dihantui rasa takut kehilangan kalau Dinda jauh. Meski nyebelin, dialog di bagian Dinda mau pergi ini keren banget sih! Kamu wajib nonton!

 

Kekurangan



1. Dinda yang jadi babysitter-nya keponakan Geri ini sebenernya agak mind blowing, sih awalnya. Karena agak janggal aja gitu ada anak SMA yang jadi pengasuh keponakan temennya sendiri. Tapi lambat laun bisa diterima jugalah.


2. Berdamainya Dinda dan Jia kayak terlalu tiba-tiba. Jia yang dari awal selalu benci sama Dinda kayak semudah itu aja baikan sama Dinda, dan terus mereka jadi sahabatan. Prosesnya terlalu cepat dan terlalu tiba-tiba. Mungkin kalau bisa dikasih lihat kebaikan-kebaikan Dinda ke Jia yang pada akhirnya bikin Jia bisa luluh mungkin akan lebih baik. Tapi, ya mungkin ini masalah durasi juga, ya.


3. Kelabilan Geri agak sedikit menganggu. Ini bikin karakternya jadi agak kurang kuat, atau memang ya karakternya sengaja dibuat begitu. Dia bisa banget gitu sayang sama Dinda tapi juga sekaligus naksir Raini. Abis dia putus sama Raini ya balik lagi aja gitu sama Dinda. Terus abis dia putusin Dinda cuma karena Dinda mau ke Malaysia, lah dia nongol lagi aja gitu di bandara. Maunya apa, sih Anda ini duhai Geri Alfian Putra?


Well, Angga layak mendapat banyak serial atau film lagi untuk ke depannya, dan semoga selalu dipasangkan dengan bintang lain yang juga berakting bagus. Semoga dapat cerita yang juga bagus. Please, jangan lagi ada cerita kayak film Di Bawah Umur.


Dan untuk Syifa Hadju. Yes, Queen! Dia layak banget untuk main di serial dan film keren selanjutnya. Saya kali pertama mantengin aktingnya Syifa pas dia main di film Sejuta Sayang untuknya. Akting dia bagus di film itu. Nggak kelihatan canggung main bareng aktor ternama sekelas Deddy Mizwar. Di usianya yang sekarang masih 20 tahun, perjalanan Syifa tentulah masih sangat panjang.

 

Pesan Moral Selain Cinta-cintaan dalam Serial Ini:



1. Jangan Membully! Karena Membully Hanya akan Melahirkan Pembully Lagi

Dulunya, Jia adalah korban bully dari Dinda. Perlahan, karma itu datang dan keadaan pun berbalik. Dinda yang jadi korban bully dari Jia.


2. Pendidikan Jauh Lebih Penting dari Cinta Monyet

Dinda awalnya sedih karena harus ninggalin Geri dan temen-temennya karena dipaksa ibunya lanjutin sekolah di Malaysia. Alasan ibunya sangat logis, alasan Dinda pun juga. Tapi dia pun akhirnya tetap memutuskan ikut ibunya. Nggak ada itu drama ngambek nggak jelas cuma karena mau dekat sama pacar, hehehe.


3. Apa pun Cobaan dan Masalah yang Menerpa, Tetaplah Hadapi dengan Tangguh

Hidup Dinda yang penuh dengan masalah, nggak lantas membuatnya menyerah gitu aja. Walaupun sempet kepikiran mau bunuh diri dengan berdiri di pinggir jembatan, tapi nggak jadi dan malah jadinya kocak di bagian itu.


4. Jangan Menilai Orang Hanya dari Kulit Luarnya

Raini yang terlihat begitu lemah lembut ternyata menyimpan kebusukan. Jadi, jangan mudah terlena dengan penampilan luar seseorang. Dinda yang sifatnya urakan dan serampangan ternyata punya kebaikan dan niat yang lebih tulus.


5. Jangan Pernah Merekam Diam-diam Aktivitas Orang Lain di Kamarnya

Lihat, kan risiko yang ditanggung Rio gara-gara dia diam-diam ngerekam Dinda lagi ganti baju di kamarnya. Ini udah tindakan kriminal banget. Dan parahnya lagi dia sebarin rekaman itu ke temen-temen di sekolah.


Harusnya, selain dikeluarin dari sekolah ya dia di penjara juga. Dia masuk kamar orang aja udah lancang, dia naruh kamera udah sinting, dia sebarin rekaman orang lagi ganti baju di kamarnya itu minta dihajar banget, sih.


6. Jangan sombong karena bisa saja besok kamu jatuh. Nggak ada gunanya jadi orang sombong. Dinda udah membuktikannya. Saat ayahnya tertangkap dan dia jatuh miskin, udah nggak ada lagi yang bisa dia sombongkan.


Setelah baca ulasan ini, cus buat yang belum nonton segera nonton serial ini. Karena rasanya gemes-gemes gimana gitu. Buat yang usianya udah bukan remaja, berasa jadi nostalgia masa muda.


Foto feature image: facebook.com/pg/MDEntertainment 

Jumat, 12 Februari 2021

Review Film Story of Kale: Perpaduan Maksimal antara Manis dan Pedih yang Terlalu

Februari 12, 2021 0

Tokoh Kale muncul tidak terlalu banyak di film Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini (NKCTHI). Tapi tak bisa dimungkiri, banyak sekali yang mengidolakan tokoh ini. Apalagi Kale di film NKCTHI diceritakan sebagai sosok laki-laki pemberi harapan palsu kepada tokoh Awan. Karena itu, ketika Visinema merilis film Story of Kale: When Someone’s in Love, sudah pasti banyak sekali yang menunggu-nunggu.


Penggemar Ardhito Pramono yang jatuh cinta pada suara dan musiknya, mungkin akan bertambah jumlahnya setelah melihat kemampuan Ardhito bermain sebagai tokoh utama di film ini. Akting Ardhito cukup baik untuk orang yang belum pernah jadi peran utama dalam sebuah film. Memang banyak sekali musisi yang bermain film, tapi tidak banyak juga yang bisa berakting dengan cukup baik.


Sinopsis Story of Kale

sinopsis Story of Kale
Sumber gambar: instagram.com/storyofkale

Untuk yang belum nonton filmnya, tulisan berikut ini tentu akan berisi spoiler, jadi lebih baik nonton filmnya aja dulu. Tapi, kalau emang penasaran, nggak apa-apa banget baca sinopsis Story of Kale di sini, biar makin mantap pas nontonnya nanti.


Jadi, film ini bercerita tentang kisah percintaan Kale sebelum Kale kenal Awan di film NKCTHI. Kale di sini belum jadi manajer band Arah. Awalnya manajer Arah itu perempuan bernama Dinda yang diperankan oleh Aurelie Moeremans. Kale kenal Dinda karena ya namanya juga anak band, jadi saling kenal karena sering ketemu di acara musik.


Film ini dibuka dengan Dinda yang minta putus sama Kale, tapi Kale setengah mati minta penjelasan dan nggak rela kalau Dinda mutusin dia dan pergi dari hidup dia. Alurnya pun maju-mundur, antara masa lalu dan masa kini. Jadi masa kininya cuma nampilin gimana Dinda bersusah payah mau putus dari Kale, dan gambaran masa lalunya di sini untuk kasih lihat ke penonton apa yang ngebuat Dinda mau putus dari Kale, dan itu ditarik dari awal mereka jalin hubungan.


Di salah satu acara musik di mana Arah tampil dan tentu ada Kale juga, pacarnya Dinda, yaitu Argo (Arya Saloka) ngamuk-ngamuk ke Dinda karena rencananya mereka mau ketemu neneknya Argo tapi Dindanya malah nemenin Arah di acara musik. Padahal Dinda udah bilang kalau dia nggak bisa datang nemuin neneknya itu dari jauh-jauh hari katanya. Tapi Argo tetep nggak terima. Ributlah mereka berdua, Argo banting-banting barang, terus pas Argo mau mukul Dinda, datanglah Kale sebagai si penyelamat. Mereka berdua berantem dan Kale rela babak belur gitu demi Dinda.


Abis mereka kelar berantem, si Argo nggak dikasih lihat lagi, mungkin yaudah dia nemuin neneknya sendirian. Si Kale sok-sokan nyadarin Dinda, kalau Argo tuh kasar, kalau Argo memang sayang sama Dinda, nggak seharusnya Argo kayak gitu. Ya gombal ala-ala orang yang mau PDKT gitulah. Kale sok meyakinkan Dinda kalau Dinda pantas dapetin cowok yang lebih baik. Tentu yang dimaksud Kale cowok yang lebih baik itu ya dirinya sendiri. Sungguh percaya diri sekali memang si Kale ini.


Hubungan mereka berdua pun terus bergulir. Manis bangetlah pokoknya. Ada adegan di mana mereka berduaan di studio, bikin lagu berdua, terus ciuman di studio. Iya, mereka ciuman padahal hubungannya masih belum punya nama gitu, alias hubungan tanpa status. Terus pas Kale jadi additional player di band Arah, Kale nyatain perasaannya ke Dinda. Romantisnya gemes gitu, semacam di rest area dia nyatain perasaannya, waktu Dinda abis beli makanan di mini market. Yang intinya, Kale mau hubungan mereka punya nama, dan itu bukan temen. Tsahhh… coba kalian yang lagi terjebak friend zone, ngomong gini ke gebetan kalian, biar nggak kelamaan di gantung dalam hubungan yang nggak jelas.


Singkat cerita mereka pacaran, terus manis bangetlah pokoknya. Tapi, hubungannya yang tampak manis banget itu ternyata menyimpan racun yang tersembunyi. Sosok Kale yang bagaikan penyelamat Dinda di awal cerita, perlahan berubah jadi monster yang menakutkan, yang nyatanya nggak beda jauh dari Argo, mantannya Dinda. Awalnya Kale posesif, ngelihat Roy (Roy Sungkono) vokalisnya Arah curhat sama Dinda dia cemburu, padahal saat itu dia belum jadian sama Dinda dan sebenernya wajar banget juga personil band curhat sama manajernya.


Puncaknya konflik mereka itu waktu Kale ketemu Argo di lift hotel tempat Dinda nginep. Kale udah suudzon aja kalau Dinda sama Argo ngelakuin hal yang nggak-nggak berdua di kamar. Padahal tuduhan Kale itu nggak terbukti dan nggak beralasan sama sekali. Dinda bilang Argo nyamperin dia cuma buat ngasih undangan. Ya padahal bisa aja kasih undangan lewat whatsapp yekan? Atau pake pos, atau ya ketemu di lobby hotel.


Kale yang udah kalut malah ngamuk-ngamuk. Segala barang dibanting. Kale mikirnya Dinda masih cinta sama Argo. Kelakuan Kale yang barbar dan brutal ini ngingetin Dinda sama kelakuan Argo dulu yang suka ngamuk-ngamuk. Jadi, saat Kale minta maaf dan meluk Dinda di lantai sambil duduk gitu, muka Dinda udah datar banget. Kelihatan banget kalau di situ Dinda udah mulai mikir untuk udahin hubungan dia sama Kale.


Tapi, namanya orang budak cinta yang beracun dan cinta sama orang cuma buat menuhin egonya sendiri, Kale mana mau lepasin Dinda gitu aja. Karena itu Dinda bilang kalau dia udah selingkuh dan mau nikah sama selingkuhannya itu. Nggak tahu itu dia beneran selingkuh, atau dia cuma ngada-ngada aja biar Kale beneran mau lepasin dia. Ternyata, ya Kale tetep mau Dinda sama dia dong biarpun Dinda selingkuh.

 
Film yang Digarap dengan Sangat Matang

Sumber gambar: instagram.com/storyofkale


Kalau melihat dari skenarionya, film ini nyaris nggak ada kurangnya menurut saya. Strukturnya rapi banget. Peningkatan konfliknya benar-benar dipikirkan dengan matang. Puncaknya ketika Kale kalut di kamar hotel membanting barang-barang, lalu dia di lantai meluk Dinda, saat itu tatapan Dinda udah kosong. Udah nggak kayak sebelumnya yang masih ada rasa cinta. Di situ kelihatan betul rasa Dinda ke Kale kayak mulai menguap karena ngelihat Kale ternyata nggak jauh beda dengan mantan pacarnya Dinda, Argo.


Berkembangnya tokoh Dinda juga tidak ujug-ujug. Dari dia yang menerima disakiti oleh Argo, sampai kemudian bisa lepas dari Argo, lalu akhirnya juga berani memutuskan Kale, sungguh terlihat sangat natural. Begitu juga bagaimana memperlihatkan sifat asli Kale ke penonton yang awalnya hanya posesif biasa kemudian berlanjut menjadi begitu toxic. Film ini memberi gambaran bahwa toxic relationship terkadang bisa sesamar itu terlihatnya. Bisa butuh beberapa waktu berjalan dulu untuk benar-benar ketahuan.


Alur yang silih berganti antara masa lalu dan masa kini sekila mengingatkan pada film Blue Valentine. Sangat smooth dan tidak mengganggu. Masa lalu yang ditampilkan benar-benar membantu penonton untuk memahami perubahan-perubahan yang terjadi dalam hubungan mereka. Berkali-kali Dinda berkata kalau alasan dia mau putus cuma mau pergi. Itu benar-benar alasan yang nyata dan sesungguhnya tak terbantahkan lagi. Walaupun menurut Kale alasan ingin putus yang cuma sekadar “mau pergi dan nggak mau di sini lagi” itu terlalu mengada-ngada.


Sesunguhnya itulah alasan yang paling kuat ketika seseorang memang sudah begitu jengah berada dalam sebuah hubungan. Dinda selingkuh dan mau nikah dengan orang lain, mungkin aja hanya alasan yang dibuat-buat agar Kale benar-benar mau melepas dia. Karena rasanya orang seperti Kale nggak akan melepas kalau alasannya menurut dia nggak terlalu kuat.


Udah dibilang Dinda selingkuh aja dia masih mau nerima Dinda. Orang-orang kayak gini memang beneran ada. Udah tahu kalau dia disakitin dan udah tahu pasangannya udah nggak mau sama dia tapi masih aja ditahan-tahanin. Kadang, ya cuma buat egonya aja karena dia nggak mau kehilangan. Bukan karena bener-bener sayang sama pasangannya juga. Dia nggak peduli kalau pasangannya udah nggak bahagia bareng dia.


Penutupnya bikin saya benar-benar bertepuk tangan. Saat Kale nyanyi lagu “Sudah” dan perlahan perabotan hilang satu per satu, bersama hilangnya si Kale. Lalu langit perlahan berubah jadi pagi. Ruangan yang kosong rasanya kayak ngegambarin perasaan Kale. Begitu juga langit yang perlahan cerah. Dua hati yang awalnya bersama, memilih untuk pergi dan menyusuri jalannya sendiri-sendiri. Ruang kosong itu di satu sisi kelihatan kayak sunyi dan hampa, tapi juga terasa lega. Seolah apa yang menghimpit perlahan sirna pelan-pelan. Penutup yang sangat puitis.


Semuanya digarap dengan matang, mulai dari adegan, dialog, struktur, sampai ke soundtrack-nya. Salut buat sutradaranya, Angga Dwimas Sasongko dan penulis skenarionya, Irfan Ramli. Nggak ada yang nanggung dalam film ini. Gambaran kisah orang yang lagi jatuh cinta bener-bener ngegambarin jatuh cinta yang manis banget, tapi pas di akhir, ngegambarin patah hatinya juga yang pedih banget. Manisnya sampai ke puncak, nyerinya juga sampai ke puncak. Berasa banget naik-turun yang drastis dan begitu mengguncang. Sungguh luar biasalah pokoknya.


Bertabur Dialog yang Quotable

Bertabur banyak sekali quotes di film ini yang menarik. Misalnya waktu Dinda bilang kalau seseorang nggak bisa bertanggung jawab untuk kebahagiaan orang lain, karena yang bertanggung jawab sama kebahagiaannya ya cuma dirinya sendiri. Ini saya agak lupa persis kata-katanya kayak gimana, tapi kurang lebih itu yang saya tangkep. Banyak juga dialog yang nampol banget, terutama alasan kenapa Dinda selingkuh. Karena katanya di orang baru itu, Dinda nemuin kebebasan, dia nemuin dirinya sendiri, yang itu semua sayangnya nggak ditemuin waktu Dinda jalin hubungan bareng Kale. Asli, nyelekit banget sih ini.

 

 
Soundtrack Story of Kale

Sumber gambar: instagram.com/storyofkale

Yang juga paling berkesan dari film ini adalah soundtrack-nya. Lagu “I Just Couldn't Save You Tonight” super duper manis nan romantik liriknya, musiknya, bener-bener ngegambarin dua orang yang lagi jatuh cinta berat dan dimabuk asmara.




Lihat aja potongan liriknya di sini

Falling in love is a new world for me

Do you wanna be my company?

From thousand of miles you will like gettin' here

No need no anniversary

 

And maybe you wanna be a star

It may seem you wanna be in love

I don't care it taking me apart

But I just couldn't save you tonight


Walau kisah Kale dan Dinda udah berakhir, lagu ini rasanya punya umur yang lebih panjang, karena biarpun ini sebenernya cuma ngegambarin kisah mereka berdua, tapi lagu ini cocok banget buat siapa aja yang lagi jatuh cinta sejatuh-jatuhnya dengan seseorang.


Selain lagu ini, ada lagu lainnya yang jadi penutup kesedihan Kale di akhir cerita, yaitu lagu “Sudah”. Lagu ini berkisah tentang seseorang yang ingin melupakan kenangan dan masa lalunya, berharap bahwa masa depan yang lebih indah akan datang.




Semua penderitaan nantinya akan hilang perlahan terobati. Sebuah lagu yang sesungguhnya sedih, tapi menyiratkan akan harapan, walau masa lalu itu juga tidak akan terulang lagi. Untuk yang sedang patah hati, coba dengerin lagu ini sering-sering biar bisa menimbulkan optimis kalau setelah hujan pasti akan ada pelangi. Dunia bakal terus berputar kayak biasa dan hidup bakal baik-baik aja.


Cara Nonton Story of Kale

Story of Kale full movie bisa kamu tonton secara legal di Bioskop Online, dengan klik link ini: bioskoponline.com/story-of-kale

Cukup bayar Rp10.000 aja udah bisa nonton film ini. Selamat menonton dan selamat jatuh cinta dan sekaligus patah hati!


Baca juga: