Tampilkan postingan dengan label Art. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Art. Tampilkan semua postingan

Jumat, 01 Desember 2017

Jiwa yang Terbentur di antara Kerumunan Jakarta Biennale dan Kesunyian Museum

Desember 01, 2017 8


Tahun ini perhelatan seni kontemporer Jakarta Biennale kembali digelar. Mengambil tema “Jiwa”, Jakarta Biennale 2017 diselenggarakan di empat lokasi, yakni Gudang Sarinah Ekosistem, IFI (Institut Français d’Indonésie), Museum Sejarah Jakarta, serta Museum Seni Rupa dan Keramik. Diadakan mulai dari tanggal 4 November hingga 10 Desember 2017, acara ini melibatkan 51 seniman yang berasal dari dalam dan luar negeri. Karena saya sedang melakukan tour wisata museum dengan teman saya Fitri Kumalasari, sekalian saja saya melihat pameran seni ini di Museum Seni Rupa dan Keramik di kawasan Kota Tua, Jakarta.

Saat masuk ke ruang pameran di Museum Seni Rupa dan Keramik, kami disambut tembok hitam besar membentang di tengah ruangan. Beragam lempengan besi, kuningan, dan kawat menempel di sisi tembok tersebut.  Saya berdiri dan mengamati, mencoba memahami atau setidaknya menikmati. Seseorang, yang tampaknya bertugas menjaga karya di pameran ini bilang, “Ini bisa dimainin, Mbak.” katanya. 

Mungkin ia membaca kebingungan di wajah saya. Ia kemudian meraih bola kecil yang tergantung menjuntai dari atas tembok tersebut dan mengayunkannya sampai kena ke tembok hingga terdengarlah bunyi berdentum. “Begitu cara mainnya, Mbak.” ujarnya sambil tersenyum. “Oh, kirain cuma boleh dilihatin aja Mbak, hehe. Makasih, ya.”

Saya pun langsung mencoba, mengayunkan bola seperti bandul itu dan…

“Daannggg…” terdengar bunyi yang begitu keras ketika bandul itu terbentur ke dinding.

Saya mencoba mengayunkan bandul yang ada di bagian yang lain.

“Tuunnggg…”

Ternyata setiap bandul yang terbentur itu akan menghasilkan bunyi-bunyi yang berbeda. Bunyi yang saya sendiri tidak bisa pahami itu bunyi apa. Saya langsung melihat judul karyanya dan nama pembuatnya. Judulnya, “Kehidupan di Dinding Besar, Kabarnya Keras". Senimannya, Wukir Suryadi. Mbak-mbak yang menjaga pameran tadi memberikan selembar kertas pada saya. “Ini penjelasannya, Mbak, kalau mau lebih tahu soal karya ini.” Saya pun membuka kertas itu dan membaca penjelasan salah satu kurator Jakarta Biennale 2017, Hendro Wiyanto tentang karya Wukir tersebut.

“Wukir menggubah suatu eksperimen sumber dan obyek bunyi yang berasal dari konfigurasi sabuk pelat kuningan.” Saya kemudian melihat pelat-pelat kuningan yang melintang di tembok besar berwarna hitam itu, memang seperti dawai raksasa. “Dinding besar bagi Wukir menyimpan rahasia-rahasia besar dan keras, menciptakan segregasi, sekat-sekat antara kami dan kalian. Bunyi yang dihasilkan dari karyanya adalah representasi sesuatu yang tidak kita ketahui. Gaung bunyi dari obyek itu adalah peristiwa pantulan sekat dan batasan yang ada pada diri tiap audiens karyanya.” Begitulah kurang lebih pemaparan Hendro Wiyanto.

 
Meresapi Bunyi Tak Bernama


Saya lanjut mengayunkan bandul-bandul itu lagi. Ada yang saya ayunkan perlahan dan hanya menyentuh dinding sekilas serta menimbulkan sedikit getaran. Ada yang saya lempar dengan sedikit menghentak dan menghasilkan getaran yang lebih terasa. Jarak pantulan dan energi yang dikeluarkan ternyata mempengaruhi bunyi yang dihasilkan.

Saya ulangi berkali-kali sampai saya merasakan bunyi-bunyi abstrak itu lahir dari tindakan-tindakan saya, yang juga tidak kalah abstraknya. Bunyi yang timbul begitu misterius. Entah nada apa, entah suara apa. Saya kemudian mengumpamakan bahwa dinding besar berwarna hitam ini adalah sekat-sekat yang ada di dalam jiwa kita. Bagi saya dinding besar berwarna hitam itu adalah sekat antara saya dengan diri saya. 

Bayangkan jiwa seseorang yang ada tembok besar dan berbunyi ketika ada benturan-benturan yang dilayangkan. Benturan yang bisa berasal dari pengalaman, perasaan, dan emosi. Gaung yang merambat itu seperti menyuarakan tempaan-tempaan di jiwa yang didapat dari beragam gejolak rasa.

“Dang…”
“Tuung…”
“Trangg…”

Bunyi-bunyian tak beraturan itu gaduh di jiwa saya. Mungkin, semakin tebal sekat itu maka akan semakin keras benturan yang datang. Atau bisa juga benturan-benturan itu justru yang membuat sekat semakin menjulang dan kokoh. Melebur dengan karya Wukir membuat saya belajar menyadari dentuman-dentuman paling dalam di jiwa saya. Bunyi-bunyian tak bernama itu seolah menyentuh saya untuk lebih peka lagi terhadap benturan-benturan yang bisa datang kapan saja, oleh apa saja dan oleh siapa saja.

Menemui Jejak-Jejak Kerumuman

Gali yang dalam!

Beranjak keluar museum kami kemudian masuk ke sebuah karya dari Pawel Althamer, berupa sebuah bangunan (atau apa ya menyebutnya?) setengah terbuka yang terbuat dari bilah-bilah bambu dan dari luar tampak seperti gudang. Saat masuk ke dalamnya, ada banyak gambar dan coretan-coretan yang dipajang, krayon yang berserakan, kaleng bekas cat tembok, dan benda-benda lain yang membuatnya tampak berantakan.


Saya pun membaca keterangan di katalog yang saya download dari website Jakarta Biennale. Dalam katalog tersebut dijelaskan bahwa karya Pawel Althamer yang berjudul “Krasnobrodzka 13/Gotong Royong-Wspólna Sprawa” (2017) ini merekonstruksi sebuah tangga di salah satu blok rumah susun di Warsawa, Polandia, tempat sang seniman dulu tinggal.

Memasuki ruang mungil yang berantakan ini, saya seperti kembali ke masa kanak-kanak di mana saya senang sekali bermain di loteng dengan teman saya. Loteng yang penuh dengan barang-barang tak terpakai tapi bagi anak-anak seusia kami saat itu seperti tempat penuh harta karun. Tempat kami bermain dengan imajinasi. Tak jauh berbeda dengan instalasi Althamer ini. Meski saat saya ke sana, tidak ada orang yang melakukan aktivitas di tempat ini, tapi saya bisa merasakan jejak-jejak keriuhan dan kebersamaan yang ditinggalkan oleh kerumunan orang yang pernah berada di dalamnya.

Untuk menikmati pameran seni ini kamu harus datang! Pengalaman estetika yang akan kamu rasakan tidak bisa diwakilkan hanya dengan menyaksikannya di media sosial. Ada keseruan yang harus kamu temukan sendiri dan biarkan "Jiwa" mu melebur bersama "Jiwa" seniman yang tertuang dalam karya-karya mereka. Partisipasi aktif kamu sebagai audiens ikut andil dalam proses "menjadi" dari karya yang ada. 


Selain menyelenggarakan pameran seni rupa kontemporer, tiga buku diterbitkan seiring penyelenggaraan Jakarta Biennale 2017. Buku-buku tersebut adalah Melampaui Citra dan Ingatan: Bunga Rampai Tulisan Seni Rupa 1968–2017 dari Bambang Bujono, Dari Kandinsky Sampai Wianta: Catatan-catatan Seni Rupa (1975-1997) yang ditulis oleh Siti Adiyati dan buku buku Seni Manubilis Semsar Siahaan 1952 – 2005  yang berisikan ulasan, tulisan, dan arsip mengenai seniman Semsar Siahaan.

Jakarta Biennale yang Menyegarkan Museum

Menurut saya, Jakarta Biennale yang hadir di museum mencairkan kesan kaku yang ada pada museum. Museum yang tampak usang, mendapat sentuhan penyegaran baru. Karena kita tak bisa menutup mata, museum pada kenyataannya masih menjadi tujuan wisata yang hanya didatangi sesekali. Kenapa? Karena masyarakat merasa untuk apa datang berkali-kali ke tempat yang mereka sudah tahu isinya seperti apa, itu-itu saja dan begitu-begitu saja. 

Adanya Jakarta Biennale di museum membuat pengunjung jadi punya alasan baru untuk datang ke museum. Bahkan, bisa menarik minat orang yang mungkin belum pernah sama sekali berkunjung ke museum. Ini pun membuka kesempatan museum untuk bisa lebih luas lagi dikunjungi oleh generasi muda. Tidak bisa dimungkiri, Jakarta Biennale cukup mencuri perhatian anak muda artsy yang suka dengan seni. Dengan mengadakannya di museum, anak-anak muda artsy ini tentunya akan sekaligus melihat koleksi-koleksi museum yang lain. Ini bisa menimbulkan kecintaan baru di hati mereka tentang museum yang semoga bisa mengubah paradigma mereka bahwa museum bukanlah tempat yang membosankan.

“Hingga kini belum ada lagi museum-museum konvensional di Indonesia yang menjembatani dulu dan sekarang melalui seni. Inilah yang hendak diubah oleh Jakarta Biennale 2017. Sedikit berbeda dengan banyak praktik yang sudah ada, Jakarta Biennale 2017 berinisiatif untuk membawa seni rupa kontemporer ke museum. ‘Jiwa’ sebagai pilihan tema Jakarta Biennale tahun ini merupakan momentum yang tepat, diwujudkan bersama pembaharuan yang dilakukan di museum-museum di bawah pengelolaan pemerintah Jakarta hari ini, yang dimulai dengan Museum Sejarah Jakarta dan Museum Seni Rupa dan Keramik. 

Seluruh karya dipilih untuk mengundang pengunjung museum memulai dialog dan tidak menerima bulat-bulat apa yang disajikan oleh museum. Sebab, museum yang memiliki jiwa dan hidup dinamis adalah museum yang memulai pertanyaan, diskusi, diskursi, dan menjadi ruang untuk menguji ide-ide lama serta membuka kemungkinan mengkaji cara pandang lain.” Itulah penjelasan Annissa Gultom, salah satu Kurator Jakarta Biennale 2017 di dalam katalog.

Walaupun tak terlalu banyak karya yang dihadirkan di museum jika dibandingkan yang ada di Gudang Sarinah Ekosistem, inisiatif Jakarta Biennale 2017 untuk menjadikan museum sebagai bagian dari lokasi penyelenggaraannya perlu diapresiasi dan diacungi jempol. Walaupun agak disayangkan, untuk acara workshop, dan lain sebagainya masih berpusat di Gudang Sarinah Ekosistem. Tapi, paling tidak dengan adanya karya-karya ini, cukup mendenyutkan detak baru di museum. Mungkin juga sedikit lebih dari itu, meniupkan jiwa yang lebih baru; yang lebih hidup.



Foto: Aprillia Ramadhina & koleksi pribadi



Jumat, 18 April 2014

Toto dan Garis-Garis Wajah yang Tak Pernah Selesai

April 18, 2014 0

 Tidak ada hasil yang selesai dari sebuah sketsa. Pada hakikatnya, sketsa bukan gambaran utuh. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sketsa mengandung arti sebuah lukisan cepat, hanya garis-garis besarnya saja. Gambaran besar tanpa detail, rancangan kasar, begitu kira-kira pengertian ringkasnya. Itu pun yang terlihat dari karya-karya Toto BS.  “Kekasaran itulah sebuah keindahan.” ungkapnya pada saat pembukaan pameran tunggalnya di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki. Pameran “Sketsa Spontan” ini berlangsung dari tanggal 5-10 April 2014 dan merupakan pameran tunggal ketiga Toto setelah sebelumnya berpameran di Rumah Proses Bandung (2009) dan Galeri Millenium (2009).   
Spontan berarti serta merta, tanpa dipikir, dan melakukannya dengan dorongan hati. Toto menangkap ekspresi lebih dalam dari bidikan kamera. Dua kali saya dibuatkan sketsa di kertas oleh Toto, dua kali juga saya mendapatkan gambaran yang berbeda. Pada gambar pertama wajah saya tampak sendu, padahal saya tidak memperlihatkan rona sedih sedikitpun. Di gambar kedua di waktu yang berbeda, wajah saya tampak lebih tenang. Mungkin yang tidak saya perlihatkan itulah yang ditangkap olehnya. Dalam momen tertentu, orang yang dilukisnya bukan menjadi objek pasif, mereka tetaplah subjek. Subjek lukisan. Mereka melihat kanvas, mereka menyaksikan wajah mereka dilukis di kanvas oleh Toto, ya, Toto selalu mengatakan “Lihat ke kanvas” pada orang yang dilukisnya, karena bagi dia subjek lukisannya penting melihat proses, bukan semata-mata mendapatkan ‘karya jadi’. Yang Toto lakukan bukan memindahkan wajah dari apa yang dilihat ke dalam kanvas, tapi yang ia rasakan juga terhadap subjek di hadapannya, “Bisa jadi kalau saya buat sketsa pacar saya, hasilnya justru tidak maksimal, tidak murni, karena pasti ada yang saya lebih-lebihkan di sana.” ujar Toto. Karena itu tak heran wajah yang ia hasilkan ada yang berekpresi murung, sendu, tersenyum, terkadang berbeda dengan apa yang tampak saat itu.

Berangkat dari Kekosongan
Ketika memasuki ruang pamer, hanya ada kanvas-kanvas putih bergelantungan dengan ukuran 60 x 80 cm. Tak ada satupun yang ada gambarnya. Pengunjung pun ada yang bertanya-tanya, “Mana karyanya?”
Tentu bukan bermaksud menipu, hal itu memang sengaja. Pameran di sini bukan sekadar pamer karya, tapi juga pamer prosesnya. Toto mengaku tidak merasa malu atau risih jika ketika membuat sketsa ditonton banyak orang. “Saya lebih grogi kalau disuruh bicara di podium.” ujarnya
Kespontanan ini melibatkan pengunjung yang hadir. Pengunjung datang bukan hanya untuk menonton, tapi juga menjadi bagian dari karya. Bermodalkan charcoal, Toto mulai berpameran dengan menggelar aksi spontan membuat sketsa. Merwan Yusuf, Bambang Subekti menjadi subjek yang juga dibuatkan sketsa oleh Toto. Guratan-guratan kematangan tampak begitu jelas di kanvas berisi wajah  Mudji Sutrisno dan Martin Aleida. Dari 40 kanvas, Toto hanya mampu menyelesaikan 34 buah, enerjinya tampak begitu terkuras malam itu. Toto membuat sketsa dengan begitu cepat, sekitar 2 menit, karena itu jika tidak terlalu mirip, itu hal yang wajar, tapi tentu bukan kemiripan yang memang dipentingkan di sini.

Kekosongan itu juga menyiratkan diri Toto sebelum mengenal seni rupa. Belajar secara otodidak, Toto mengatakan cukup telat menggumuli sketsa di usia 40 tahun, kini dirinya sudah menginjak umur 55. “Karya yang saya buat bukan mementingkan bagusnya, tapi yang penting ada koneksi, melibatkan emosi. Karena itu jadi terlihat sangat wajar, ada yang hasilnya bagus ada yang hasilnya jelek.” Baginya karya ada kurvanya, begitu pun  hidup, jika hanya bagusnya saja yang ada, tentu terasa datar.
Kesederhanaan Toto terlihat dari caranya berbicara, caranya berpakaian dan caranya berinteraksi dengan orang lain. Seniman yang selalu merendah, tapi ternyata rupanya banyak orang yang masih mencurigai sebuah kesederhanaan. Saya pernah bertemu Toto lagi pada saat ia buka booth sketsa wajah di sebuah acara di mall, setelah saya disketsa, ia menegur seorang bapak-bapak dan berkata, “Pak, saya mau sket wajah Bapak. deh.” Orang itu hanya memandang sebelah mata. Mungkin ia mengira Toto orang yang aneh, tidak kenal, tahu-tahu bilang mau sketsa wajah, entah apa yang menjadi kecurigaan orang itu, berkata pun tidak, ia menunjukkan wajah yang sungguh tidak peduli. Tapi penolakan macam itu mungkin hal yang biasa, mengalami hal itu sepertinya tidak membuat Toto sakit hati, ia tidak menggerutu sedikit pun dan kembali asyik dengan aktivitasnya.

Sketsa Toto menangkap ‘wajah’ yang ‘tidak selesai’, mungkin tak akan selesai, seyogyanya ‘wajah’ itu sendiri. Dalam wajah seseorang, ada waktu dan pengalaman, pergulatan batin, perasaan, masa lalu dan hal-hal lainnya yang berkontribusi melahirkan guratan-guratan, yang tentu tak akan selesai selagi masih hidup. Tapi ketika subjek lukisannya sudah tiada, sketsa Toto telah mencipta rekam jejak yang mengabadikan momen tertentu di waktu dan tempat tertentu. Goresan di karyanya, mentranformasi guratan di hati orang-orang yang pernah disketsa olehnya. 


*dimuat di Jurnal Nasional, Minggu 13 April 2014

Menatap Bali melalui Kacamata Pelukis Belanda

April 18, 2014 0
Pameran “Banten” Jan Peter van Opheusden



Wajah-wajah polos anak-anak di Bali lengkap dengan udeng-nya (ikat kepala khas Bali) terangkum dalam lukisan “Children of Bali” dari Jan Peter van Opheusden yang dipamerkan di Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta, 24 Maret-11 April 2014. “Ketika melukis anak-anak itu, saya memotret mereka terlebih dulu, saya tidak mengkopi, foto hanya sebagai medium.” ujar Opheusden. Anak-anak tentu tidak bisa berdiam dalam waktu lama untuk dilukis.
Selain anak-anak, ada upacara, tarian, dan aktivitas lainnya yang juga Opheusden tuangkan dalam pameran bertajuk “Banten” itu. Kata Banten yang dimaksud bukanlah Banten sebagai sebuah provinsi, tapi ‘Banten’ yang berarti ‘persembahan’ atau dedikasi dalam bahasa Bali. Sejumlah  upacara memang sering sekali bisa ditemukan di Bali, kepada alam, mereka memberikan persembahan dalam bentuk ‘sesajen’.

“Tajen” sebagai kegiatan sabung ayam yang begitu mudah dijumpai di Bali, juga dihadirkan Opheusden. Dari lukisan yang indah-indah ini apa yang bisa ditawarkan lagi ketika para kritikus seni sudah mengatakan, seni lukis telah menjadi ragam kesenian yang mati? “Secara tema, mungkin memang sudah tak ada yang baru, semua sudah diolah, dari segi bentuk pun juga semua sudah digarap, tapi bicara soal subjektivitas dan intuisi dalam seni lukis, itu hal yang tak akan ada habisnya. Sudut pandang seniman itu yang akan selalu berbeda.” ujar Jean Couteau yang  membuat tulisan untuk pameran ini. Bicara soal lukisan Opheusden, berarti bicara tentang rupa melalui warna yang ia rasakan. Dua bulan mengenal Opheusden, Couteau terkesan dengan keluguan dan kespontanannya. “Bicara dengannya seperti menemukan sosok anak-anak dalam dirinya.” Mungkin itu pula yang membuat ragam wajah anak-anak menjadi subjek menarik yang cukup banyak digambarkan Opheusden. Bisa jadi di kepolosan anak-anak itu, ia pun kerap menemukan dirinya. “Di sana (Bali), saya seperti tidak perlu bekerja, saya seperti berlibur setiap harinya.” ujar Opheusden. Pelukis kelahiran Eindhoven 1941 ini hampir setiap tahun berkunjung ke Bali, dan merasa begitu nyaman berada di sana, berada di tengah orang-orangnya, juga budayanya, ia merasa tidak kesulitan membahasakan kebudayaan di sana ke dalam kanvasnya.

Warna emas sebagai simbol kekayaan
Di lukisan “Upacara di Pantai”, tanah atau pasirnya ia hadirkan dengan warna emas. Ia katakan, Bali adalah pulau yang begitu kaya, karena itulah nuansa emas, ia torehkan di berbagai lukisannya, seperti di “Pasar Badung”, “Tajen”, “Banten”, dan “Heaven Can Wait”.  

Bagi Couteau, keajaiban warna hasil pertemuan Opheusden dengan realitas yang menampilkan ekspresi subjektif di karya-karya bernada figuratif milknya ini merupakan suatu hal yang menarik. Intuisi menjadi letak yang begitu penting. Karena itulah menurut Couteau lagi, ketika berhadapan dengan “Banten” Opheusden ini, harus ‘memasukinya’ dalam keadaan ‘kosong’. “Mengkosongkan diri dari segala prasangka dan pengetahuan yang kita punya tentang Bali, untuk kemudian membuka kembali diri kepada intuisi murni, agar bisa menikmatinya, bagaimana ia membangun ruang imajiner dalam benak kita.” Intuisi Opheusden terlihat begitu kuat dalam karyanya “Intuitive”, paduan merah, hitam, putih dan birunya mencipta nuansa yang begitu magis, kemagisan yang khas dimiliki Bali.

Bicara soal kekayaan Bali, tentu sudah menjadi rahasia umum, baru-baru ini masih ramai pembicaraan soal reklamasi Teluk Benoa di pesisir selatan kota Denpasar yang menjadi polemik. Reklamasi ditujukan untuk menciptakan ikon pariwisata baru, sedangkan sejumlah masyarakat menentangnya karena reklamasi ini bisa membahayakan, menenggelamkan desa yang ada di sekitarnya, seperti Desa Sidakarya, sehingga proyek ini dituding kelak hanya akan menguntungkan pihak investor. Jika “emas” dihadirkan Opheusden dalam lukisannya, kini yang tengah terjadi adalah usaha untuk mengeruk ‘emas’ itu sedalam-dalamnya oleh pihak tertentu. 

Jika Opheusden mampu mempersembahkan “Banten” dalam kecintaannya terhadap Bali, bagaimana dengan warga Indonesianya? 

*dimuat di Jurnal Nasional, Minggu, 30 Maret 2014

Pameran Tunggal Sahat Simatupang

April 18, 2014 0
Karya yang hadir apa adanya


Melukis tanpa rencana. Lukisan-lukisan Sahat Simatupang hadir ‘dengan sendirinya’. Ketika berhadapan dengan kanvas putih di hadapan, dirinya tak pernah merencanakan apa yang akan ia buat, ia tidak memikirkan judul atau tema sebagai patokan. Yang terpenting, dirinya harus selalu ‘masuk’, menyatu ke dalam lukisan yang dibuatnya. Tak heran, bentuk-bentuk unik pun muncul, seperti di lukisannya yang berjudul “Kehidupan” ada gambar-gambar ikan di sana. “Seperti ada yang menggerakan saya, jika kemudian muncul bentuk mata, ikan, dan bentuk-bentuk lainnya, jika awalnya gambar orang kemudian berubah menjadi bentuk lainnya lagi yang tampil, itu bukan masalah, bahkan jika nantinya menjadi abstrak pun, juga tidak masalah.” ujar Sahat. Judul dalam sebuah lukisan hanyalah sebuah nama, ia menganalogikan lukisannya seperti bayi yang baru lahir, yang terlahir lebih dulu baru kemudian diberi nama, maka judul lukisan baru diberikannya ketika lukisannya itu jadi. Ia mengatakan bahwa dirinya tidak melakukan ‘rekayasa’ terhadap karya yang diciptakannya, karya itu hadir apa adanya. “Seperti air yang mengalir, saya tidak berusaha untuk bercerita, apalagi mempercantik, saya tidak berusaha membuatnya harus tampil harmonis.” ujar pria kelahiran 1964 itu. Sahat tidak mengambil sesuatu yang jauh dari dirinya, ia bermain di ruang yang sangat privat, dirinya, keluarga, dan segala hal yang dekat dengannya.

“Motif yang saya ambil ke dalam lukisan-lukisan saya berasal dari keseharian, dari keluarga, benda-benda di sekitar, apa saja yang merangsang saya untuk melukis.”
Tanpa tendensi, tanpa tuntutan, atau paksaan dari sang seniman terhadap medium pengungkapan emosinya, dalam hal ini kanvas, karya-karya Sahat hadir melalui kealamiahannya. Pameran tunggalnya ini pun tidak diberi satu tema khusus, berisi 55 karya dipamerkan di Galeri Cipta 2, Taman Ismail Marzuki, sejak 4-14 Maret 2014.
Tak adanya keharusan, berarti ada ego yang dibiarkan luruh menjamahi kanvas putih. Mengalir tanpa kemestian, mungkin naluri yang menjadi stimulusnya. Memprovokasi seluruh indera dan jiwa dalam diri untuk ikut terlibat tanpa membayangkan atau mengekspektasi hasil, karena berjalan tanpa rencana. Bicara soal itu, lihat saja, lukisan tanpa rencana yang pada akhirnya dibubuhi judul “Rencana”, ada goresan-goresan yang abstrak, ada warna-warna yang bertabrakan. Karya ini bisa ditarik pada ‘rencana’ dalam hal yang sangat umum, bukankah seringkali hal-hal yang sudah terpatok, dan tersusun, pada akhirnya mengalir keluar jalurnya dengan sendirinya. Dan sesuatu yang tanpa rencana tetap bisa terus bergerak, tanpa harus mandek, meski di akhirnya ada sesuatu yang belum jelas, belum pasti. Hasil yang tak terbayangkan itu, sering menjelma wujud yang tak disangka sebelumnya, wujud, yang bisa jadi luar biasa, bukankah dalam hidup, seringkali juga dialami yang seperti itu?
Lengkung-lengkung dalam “Rencana” memiliki sedikit kemiripan dengan karyanya “Irama Putih”, hanya saja, goresannya lebih kompleks. Putih tidak menjadi warna tunggal yang tampil di lukisan ini. Ada warna-warna lainnya, meski yang tampil kuat itu putih. Warna hijau, merah dan lainnya tidak hadir begitu pekat. Dan sejatinya, ‘putih’ akan lebih ‘berirama’ jika tidak tampil sendiri dan justru bersanding dengan warna lainnya.
Di “Wajahnya”, Sahat menampilkan wajah yang tak lagi berbentuk wajah dalam artian harfiahnya, ada dekonstruksi di sana, apakah warna-warna itu menampilkan wajah manusia, orang-orang yang ditemuinya, atau bisa jadi juga wajah semesta.


Fase berkarya yang berbeda setelah menikah
Ketika belum menikah, dan pada akhirnya memiliki istri dan anak, baginya proses hidup itu mempengaruhi juga proses kreatif di dirinya sebagai seniman.
Pameran ini merupakan pameran tunggalnya yang ketiga, setelah tahun 1991 dan 1997. Sempat mengenyam pendidikan di Seni Rupa IKIP Jakarta, setelah menikah, Sahat yang sadar perlunya juga penyesuaian diri ketika membentuk keluarga, kembali ke jalurnya, yakni bidang pendidikan, dan memutuskan untuk mengajar seni rupa di sekolah. Ia tak lagi bisa mengedepankan ego pribadi, kebutuhan keluarga tentu menjadi prioritas.
“Seindah-indahnya sebuah lukisan, jauh lebih indah senyum anak saya.” Ia mengaku, sebelum menikah, karya-karya tampil lebih ‘liar’. Ada pergeseran yang ia rasakan, karena interaksi dengan keluarga, langsung maupun tidak langsung mempengaruhi emosi dan perasaannya. Hidupnya tentu berubah, sudah tak bisa lagi sembarangan karena juga harus memikirkan kelangsungan hidup keluarga. Perubahan itu pun terlihat dalam karyanya, yang dirasakan oleh Prisade, Sd yang telah mengenalnya sejak tahun 83-an, ketika keduanya tergabung di sanggar yang sama bernama Sanggar Garajas. “Setelah berumah tangga, ‘garis’ Sahat mengalami evolusi, menjadi demikian lebar yang dikembangkan juga melalui kanvas yang lebih lebar lagi, hingga medan energinya semakin terbebaskan dari ketegangan.” jelasnya dalam catatan untuk pameran ini.

 *tulisan ini dimuat di Jurnal Nasional, Minggu 23 Maret 2014

Minggu, 16 Maret 2014

Pameran Tunggal Bismar Siagian; Menyigi Beragam Masalah Realitas melalui Lukisan Surealisme

Maret 16, 2014 0
"A Day in My Dream"



Bismar Siagian




Ada baju melayang berjalan menaiki tangga, ada jendela dan sofa di langit-langit, ada pintu yang terbalik di dinding, ada rongga di dinding menuju ke tempat lain dengan tangga lagi, pembubuhan nuansa temaram dalam ruang, melengkapi keutuhan lukisan “A Day in My Dream” karya Bismar Siagian. Lukisan ini cukup mencuri perhatian dalam pameran tunggalnya yang berlangsung di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, 5-13 Maret 2014. Gaya Bismar terlihat sekali mengikuti ciri surealisme ala Salvador Dali. Bismar sendiri adalah lelaki berusia 24 tahun yang kelahirannya hanya berjarak setahun dari kematian Dali. Jika surealisme mendewakan mimpi dan alam bawah sadar. Bismar mencoba ‘membawa kenyataan realitas’ dalam surealismenya dengan menyisipkan pesan-pesan tentang keadaan yang sedang terjadi di Indonesia. Ia mengkritik persoalan lingkungan dengan cara yang begitu halus. Seperti contohnya ketika ia menggambarkan “End of Forest”, ia memperlihatkan beberapa pohon yang hanya tinggal sisa batangnya. Di pohon yang masih berdiri, Bismar menggambarkan raut sedih dari ruas-ruas batang pohon. Beberapa karyanya tampak mengangkat persoalan lingkungan. “Imbalance” dalam pameran ini memang diperesembahkan untuk menunjukkan ketidakseimbangan yang tengah terjadi di alam akibat ulah manusianya. 


                         "End of Forest"

“Bismar memang mengambil semangat Salvador Dali, tapi dia gabungkan dengan kenyataan, ada kesadaran moral dari apa yang dilihat Bismar.” ujar Indra Porhas Siagian yang menjadi kurator pameran ini sekaligus juga kakak kandung Bismar. Karya-karya indah ini lahir dari seseorang yang tidak mengenyam pendidikan seni. Dan “Imbalance” ini merupakan pemeran tunggal pertama Bismar, sebelumnya ia pernah ikut serta dalam pameran kelompok di Guddang Gallery dan Museum Layang-Layang Jakarta.


              "Negara tanpa Kepala Negara"

                
Mengenai kondisi negara, Bismar mencoba mengkritik dengan halus tanpa mengesampingkan estetikanya pada di lukisan “Berebut Kursi” dan “Negara Tanpa Kepala Negara”. Di “Misogyny”, Bismar melihat kondisi perempuan yang masih mengalami diskriminasi, dengan melukiskan perempuan yang bagian tubuhnya diisi oleh jam pasir, di seberangnya berbaris tubuh-tubuh berdada bidang dengan kepala seperti benteng catur.

Pelukis yang Mensensor Karyanya Sendiri
Kritik tidak perlu sadis dan sarkasme. “Bicara soal kejahatan tidak perlu menampilkan darah.”  Begitu menurut Indra. Sensor yang dilakukan Bismar terhadap karyanya sendiri membuat kritik-kritik yang tergambar tidak nampak radikal, tapi cenderung halus dan manis.
Seperti contohnya karya yang berjudul “After The Rain” tampak seorang gadis kecil sedang bermain biola di hutan dengan wajah yang murung, catatan di samping lukisannya tertulis hanya hujan yang mampu menghentikan pembakaran hutan. Secara kasat mata pesan itu tidak terlalu gamblang digambarkan. Ini yang Indra maksud bahwa Bismar mensensor karyanya sendiri. Kritik sosial tetap bisa dikemas dengan kebutuhan visual zaman sekarang. Keadaan langit yang abu-abu menyiratkan asap atau mungkin kelabu selepas hujan. Seperti yang diketahui kabut asap akibat pembakaran hutan di Riau masih terus berlangsung.
         "Perpustakaan Impian"

Dari penyensoran itu ada yang nampak kurang tepat. Seperti pada karya “Perpustakaan Impian”, ia menggambarkan ruang perpustakaan yang dipandang oleh dua orang dari rongga seperti jurang dari lantai perpustakaan. Mungkin yang ingin disindir oleh Bismar  adalah persoalan pendidikan mahal yang sulit dijangkau untuk seluruh kalangan. Kalau bicara soal perpustakaan, umumnya sudah bisa diakses siapa pun. Jadi bagi yang ingin mendapat ilmu tapi harga buku terasa mahal sangat bisa untuk membacanya di perpustakaan.
Hanya ada satu karya yang memakai medium pensil di kanvas, berjudul “Echoes of Life”, menurut Indra karya ini bisa dibilang masterpiece nya Bismar, karena awalnya Bismar terlatih melalui pensil di atas kertas. Jadi karya ini merekam jejak awal Bismar menggeluti dunia seni rupa.

Di “Pemburu HAM (Hak Asasi Manusia)” Bismar melukiskan orang dengan wajah datar yang menjaring telinga-telinga yang menjadi ulat di ranting pohon, dalam catatan di samping lukisannya ia mengangkat persoalan bahwa mendapat informasi adalah hak setiap warga negara, tidak terkecuali mereka yang dianggap berbahaya bagi kaum penguasa. Sedangkan “Impian Labirin” menampilkan seorang anak dengan wajah lugunya berada di labirin, anak kecil itu bisa saja ia representasikan sebagai dirinya pribadi, atau generasi muda saat ini yang kebingungan dalam batas-batas dinding-dinding sosial, budaya, politik dan ekonomi di negara ini. Melalui karya-karya yang tidak radikal ini, lukisan Bismar begitu memanjakan mata, selain sangat cocok untuk mempercantik ruangan, sekaligus membuat imajinasi penikmatnya penuh dengan inspirasi.

"Impian Labirin"

photo by: Benny Wibisono
*ulasan pameran Bismar Siagian dimuat di harian Jurnal Nasional, Minggu, 16 Maret 2014

Teater Koma; 'Demonstran'

Maret 16, 2014 0

Mencari 'Rakyat Sejati'


Demonstrasi, katanya untuk membela kepentingan rakyat. Tapi siapa rakyat? Bukankah si kaya dan si miskin pun juga disebut rakyat?

Di pementasan terakhir Teater Koma yang berjudul “Ibu” pada  November lalu, kondisi keadaan Indonesia hanya disinggung sedikit, sisanya cerita sedikit berjarak, karena memang naskah tersebut diadapatasi dari “Mother Courage and Her Children” dari Bertolt Brecht. Kini, di pentas “Demonstran” yang berlangsung 1-15 Maret 2014 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Nano Riantiarno, sutradaranya, membuat kisah yang lebih dekat dengan kondisi Indonesia sekarang ini.
Sajian pertunjukan ini cukup menghibur, terutama ketika tokoh-tokoh 'waria' tampil di panggung, semua penonton tertawa. Bisa jadi itu satu-satunya hiburan, dari pertengahan hingga akhir, pertunjukan mulai tampak kedodoran dan terasa berjalan begitu lambat. Beberapa penonton yang sudah duduk lebih dari tiga jam tampak mulai bosan dan mengantuk.


Terlalu banyak repetisi, naskah berputar-putar mengulang-ngulang pertanyaan siapa rakyat sejati. Sesuatu yang sejak awal sudah didengungkan Topan (Budi Ros) sang tokoh utama ketika dirinya diminta turun ke jalan lagi memimpin demonstrasi untuk membela kepentingan rakyat. "Siapa rakyat? Bagaimana kalian berjuang kalau kalian tidak tahu untuk siapa? Orang miskin itu rakyat, orang kaya juga rakyat. Tapi siapa rakyat sejati?" ujar Topan kepada Niken (Daisy Lantang), Wiluta (Andini Putri Lestari) dan Jiran (Adri Prasetyo) yang mengajaknya memimpin gerakan. Dua puluh tahun lalu, Topan adalah pemimpin demonstrasi yang berhasil menumbangkan penguasa, dan kini dirinya telah menjelma pedagang yang sukses. Ada satu lagi hiburan yang menjadi sindiran juga di dalam pertunjukan ini, yakni dihadirkannya  tokoh penata rambut yang diperankan oleh Subarkah Hadisarjana yang tugasnya menata rambut calon presiden, Pejabat-T (Emmanuel Handoyo). Rambut-rambut itu pun menjadi simbol yang juga melekat di pengikut Topan, para mantan demonstran dulu, yang kini banyak sudah hidup enak dengan menjadi pejabat, anggota DPR. Mereka, tampil dengan rambut yang disasak demikian tinggi.


Dua kali, sosok Topan menyebut kata anarkis. Pertama, ketika ia bilang bahwa unjuk rasa sering melibatkan emosi yang hanya berujung pada anarkis. Di sini, tampaknya Nano belum membedakan anarkisme dengan vandalisme. Anarkisme berasal dari bahasa Yunani, anarchos/anarchein yang berarti tanpa pemerintahan (negara), negara atau pemerintah cenderung punya kontrol otoritas yang melahirkan tirani. Jika demonstrasi yang ia maksud berujung pada perusakan, bersifat negatif dan mengganggu, itu vandalisme.
Suara Cornelia Agatha yang berperan menjadi Bunga, istri Topan tampak terdengar tidak cukup kuat ketika bernyanyi di nada-nada tinggi, sangat terasa sekali ia tidak punya nafas yang cukup panjang bernyanyi di panggung teater. Dunia teater memang punya tantangan yang lebih. Punya vokal kuat dan artikulasi jelas, kualitas akting, ditambah gerak tubuh, tentulah bukan perkara gampang untuk menyajikan hal yang lengkap tersebut.

Dari segi properti, dibanding pementasan sebelumnya, kostum yang digunakan lebih sederhana, karena mengambil tema tentang kondisi yang terjadi di masyarakat, elemen keseharian yang diwujudkan membuat cerita ini memang tidak berjarak dengan penonton. Ditambah ada musik dangdut yang ikut megiringi jalannya pentas.
Apa yang lebih hebat dari seorang pahlawan? Seorang pahlawan yang mati. Topan dibuatkan patung, menjadi berhala, yang tidak disembah, tapi hanya dikenal sebagai sejarah. Dan itulah yang dibuat Nano.

‘Blubard-blaburd’ yang non-sense
Ketika pidato, yang terdengar dari mulut Pejabat-T hanya “Blubard, blaburd” yang diulang-ulang. Sesuatu yang absurd, bukan, lebih tepatnya sesuatu yang tanpa makna, sesuatu yang tak bisa dipahami. Itulah yang ingin Nano sampaikan, dia bilang, seringkali omongan pejabat-pejabat itu tidak jelas, seolah dalam perumpamaannya hanya terdengar seperti “blubard-blaburd”
Yang jelas dari pementasan ini hanya pertanyaan perihal siapa rakyat sejati, dan sisanya seperti blubard blaburd, tak jelas apa yang ingin dituju. Selebihnya kebanyakan hanya dialog panjang yang padat, tapi kurang penggambaran dalam adegan.Yang menarik, tersirat akan sindiran halus, tentang kemungkinan kemudian hari. Bisa jadi mereka yang menjadi aktivis sekarang, akan sangat mungkin menjadi yang apatis di masa nanti. Atau parahnya mereka yang masa lalunya berkoar menuding orang-orang yang didemonya, kini kelakuannya tak ada bedanya dengan orang-orang yang pernah diprotesnya; idealisme yang berganti wujud menjadi pragmatisme maksimal.
“Setelah pentas “Ibu”, naskah ini yang saya anggap paling mendekati kondisi saat ini, karena dekat dengan waktu pemilihan umum (pemilu). Seperti momentum, semoga orang yang menonton bisa melihat ini sebagai inspirasi. Ketika kita membela rakyat, siapa yang sebenarnya kita bela?” ujar Nano ketika ditemui usai pentas.

Ada beragam kemungkinan dari definisi yang ditawarkan mengenai ‘siapa rakyat sejati’, salah satunya diucapkan dalam percakapan Sabar dan Alun, “Rakyat sejati adalah penonton yang menonton peristiwa dengan diam.” Ketika pementasan sebelumnya Nano menawarkan perenungan tentang “Ibu”, kini, dirinya menawarkan perenungan tentang “rakyat sejati”. Term kesejatian itulah yang menjadi pertanyaan besar dalam keseluruhan pertunjukan. Berkutat di hal tersebut, membuat penyorotan persoalan korupsi hanya menjadi sesuatu yang dipanjang-panjangkan dalam naskah, tapi minim digambarkan.



photo by: haryo canggih wicaksono
*ulasan pentas "Demonstran", Teater Koma dimuat di harian Jurnal Nasional, Minggu, 9 Maret 2014