Tampilkan postingan dengan label book review. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label book review. Tampilkan semua postingan

Senin, 03 Mei 2021

Dari Buku Motivasi Hingga Buku Puisi: 10 Rekomendasi Buku Keren untuk Temani Perjalanan Hidup

Mei 03, 2021 1
buku motivasi dan buku puisi


Dalam arti sederhananya, beradaptasi adalah tentang menyesuaikan diri dengan lingkungan, situasi, kondisi dan aktivitas yang dilakukan. Akan tetapi, prosesnya tidak pernah sederhana. Untuk bisa menyesuaikan diri, kita perlu mengenal dan menerima diri kita terlebih dulu.


Proses mengenal dan menerima diri ini bisa jadi perjalanan yang sangat panjang. Di tengah masa pandemi, proses ini bisa berlangsung dengan lebih khusyuk dan intim.

 

Pandemi dan Meneropong ke Dalam Diri

Pandemi membuat keadaan dunia memang jadi tidak baik-baik saja. Banyak orang tumbang karena sakit, tidak sedikit yang kehilangan orang terdekat dan tersayang, belum lagi dampak perekonomian yang merosot tajam.


Kita akrab dengan berita-berita duka. Mulai dari jumlah kematian, hingga banyaknya orang-orang yang dipecat atau dirumahkan. Seketika banyak orang kehilangan pegangan. Limbung di tengah ketidakpastian.


Tapi, kita juga makin akrab dengan diri sendiri. Pandemi memaksa kita lebih banyak di rumah, berhadapan dengan diri sendiri, terus menerus, lagi dan lagi. Dialog yang paling sering dilakukan adalah dialog dengan diri sendiri.


Pandemi, dengan segala keterbatasan yang menyertainya, membuat kita jadi memaknai ulang kata “batas” itu sendiri. Yang perlu dibatasi adalah mobilasi, pertemuan secara fisik dengan orang lain, aktivitas berkerumun, dan sejenisnya. Bukan pembatasan pikiran, kreativitas, dan imajinasi. Justru dengan segala pembatasan fisik itu, kita lebih leluasa memanfaatkan peluang dan kebebasan yang seluas-luasnya untuk meneropong ke dalam diri.


Dengan meneropong ke dalam diri, kita jadi semakin tahu, apa yang betul-betul kita inginkan dan apa yang sungguh-sungguh kita bisa. Apa yang paling kita takutkan dan cemaskan, serta apa mimpi-mimpi terdalam yang mungkin dulu sempat dilupakan karena terlalu padatnya kesibukan.


Kita mungkin saja secara tidak sengaja menemukan luka-luka lama yang belum benar-benar kering, luka baru yang belum sembuh, kekecewaan pada diri sendiri dan orang lain. Sulitnya memaafkan orang-orang yang pernah menyakit, sulitnya menerima pengalaman-pengalaman buruk yang terus menghantui.


Keburukan itu bisa membuat kita jadi tidak lagi percaya diri, memandang diri sendiri rendah dan kerdil. Ini yang jika dibiarkan bisa membuat kita semakin terpuruk terutama di masa pandemi.

 


Semakin Akrab dan Lekat dengan Buku

Selama pandemi, saya jadi lebih banyak membaca, menulis, merenung, refleksi dan kontemplasi. Beruntungnya, saya ditemani buku motivasi dan buku puisi yang mencerahkan hari-hari. Lebih dari itu, bahkan mengubah hidup menjadi lebih baru.


Buku Motivasi

buku motivasi


Salah satu jenis buku yang menemani saya beradaptasi di tengah pandemi adalah buku-buku motivasi atau buku self improvement. Buku jenis ini bukan sekadar memberikan kita saran dan nasihat yang bermanfaat, tapi juga membantu kita untuk mengenali potensi serta apa saja yang masih bisa dikembangkan di kemudian hari. Berikut ini buku motivasi yang menarik bagi saya.


1. Beresin Dulu Hidupmu! Karya Gary John Bishop

beresin dulu hidupmu


Seperti judulnya, buku ini cocok untuk orang-orang yang hidupnya berantakan. Membereskan hidup nyatanya tidak sesederhana itu, dan sering kali kita juga nggak tahu harus mulainya dari mana. Petikan menarik ada di banyak halaman dalam buku ini, yang rasanya semuanya perlu ditandai, digarisbawahi, atau dicetak tebal. Tapi salah satu yang menurut saya paling menarik adalah tentang meninggalkan masa lalu.


“Persis seperti bagaimana kita meningkatkan daya dalam diri dengan bergerak ke luar, kita bisa melupakan masa lalu dengan menciptakan masa depan. Buatlah sesuatu yang besar, lebih besar dari apa pun yang pernah kamu lakukan.

 

Ketika apa yang ada di depan begitu cemerlang dan memuaskan, kamu tidak akan punya waktu untuk menengok ke belakang. Mata dan benakmu akan berfokus lurus ke depan. Hal itu akan menarikmu ke luar. Masa depan yang cukup besar, cukup cemerlang, cukup keren, masa depan yang dipenuhi potensi dan kemungkinan sehingga bobotnya akan menarikmu lepas dari masa lalu yang berat dan sulit itu.” (hal. 198-199)

 

 

2. The Secret Karya Rhonda Byrne

the secret


Buku ini membahas mengenai Law of Attraction, bahwa hukum tarik menarik dipengaruhi faktor kemiripan yang artinya pikiran kita akan menarik apa yang serupa di alam semesta ke dalam diri kita. 


Buku ini layak untuk dibaca kapan pun, tidak hanya saat beradaptasi di tengah pandemi, tapi kapan saja ketika merasa diri kita sedang tidak baik-baik saja. Kita jadi belajar lagi bagaimana terhubung kembali dengan pikiran kita. Melalui pikiran, kita bisa mengubah banyak hal dalam hidup dan pikiran yang baik akan menarik pengalaman yang baik pula.


3. Tak Mungkin Membuat Semua Orang Senang Karya Jeong Moon Jeong

tak mungkin membuat semua orang senang


Pernah merasa bahwa diri kurang cukup baik untuk orang lain? Merasa bahwa diri tidak ada gunanya, tidak ada bagusnya, dan hanya penuh keburukan hanya karena dilabeli oleh orang lain. Padahal, bisa jadi bukan kita yang kurang baik, mungkin saja orang itu yang memang jahat.


Buku ini tentu tidak mengajarkan untuk berprasangka buruk pada orang lain atau memandang orang lain dengan pandangan yang negatif. Tapi, kita bisa berhenti untuk jadi orang yang naif, bahwa memang pada akhirnya kita tidak bisa menyenangkan semua orang.


“Jika kita takut dibenci dan disisihkan karena menolak, efek samping dari hubungan seperti itu akan semakin parah. Orang-orang yang meminta bantuan akan terus meminta bantuan walaupun mereka tahu permintaan mereka tidak pantas, dan orang yang terus memberikan bantuan akan merasa tertekan dan sensitif karena keinginan mereka yang salah untuk mendapatkan pengakuan.” (hal.108)


Jadi, membuat orang lain kecewa itu bukan akhir dari dunia. Seperti halnya kita bisa kecewa kepada orang lain, begitu pula orang lain juga bisa kecewa pada kita dan itu adalah kenyataan yang sebaiknya dipahami sekaligus diterima. Karena, menjadi orang baik untuk semua orang, akan membuat kita kewalahan, dan tentu saja itu sangat melelahkan.


Buku ini juga bukan mengajarkan bahwa jadilah orang jahat saja agar tidak merepotkan diri sendiri, tapi menyadari bahwa waktu dan energi kita terbatas, sehingga penting untuk selalu ingatkan diri menjalani hidup tanpa penyesalan.


Kita perlu membuat diri kita sendiri merasa bahagia, dan salah satu caranya, dengan tidak selalu berusaha keras terus menerus memenuhi harapan orang lain. Terdengar egois? Bukan, hanya realistis.


4. Think Fresh! Karya Danny Oei Wirianto

think fresh!


Hidup di tengah pandemi bisa membuat kalut. Seolah berjalan di lorong yang gelap tanpa tahu di mana ujungnya. Tidak ada yang tahu kapan pandemi akan berakhir. Tapi terus menunggu saja hanya akan membuat pikiran kian keruh. 


Membaca buku ini kita akan diarahkan untuk berpikir dengan cara yang lebih segar. Berpikir kreatif bukan lagi sekadar berpikir di luar kotak (think outside the box), tapi berpikir tanpa kotak (boxless). Karena jika berpikir di luar kotak, berarti kita masih membayangkan kotak tersebut. Padahal, memerdekakan pikiran berarti tanpa batasan apa pun.


Buku ini memberikan pandangan yang seimbang dalam mengejar sesuatu. Takdir adalah ketetapan Tuhan, tapi nasib bisa diubah sejauh mana manusia itu mau berusaha mengubahnya. Buku ini mendorong kita untuk terus berkarya, berkontribusi sekecil apa pun peranan kita, tapi juga mengingatkan diri kita untuk tahu batas. 


Apa pun yang berlebihan akan menjadi racun. Kita harus tahu kapan kita harus berhenti melakukan sesuatu. (hal. 106-107)

 

Karena tidak semua kesempatan harus diambil. Ambillah kesempatan yang memang relevan dengan tujuan kita dan sesuaikan dengan kemampuan kita agar bisa memberikan hasil yang terbaik.


5. Mendaki Tangga yang Salah Karya Eric Barker

mendaki tangga yang salah


Dunia ini memang tidak adil, kadang itu kenyataan pahit yang memang mau tidak mau harus diterima. Tapi, kita selalu punya pilihan untuk merutuki ketidakadilan itu atau mencoba (meskipun sulit) mengubahnya.


“Para manajer yang mendaki tangga karier dengan cepat – dan terbaik di pekerjaannya – bukanlah orang yang berusaha untuk menjadi pemain tim atau yang berfokus untuk menyelesaikan tugas. Mereka adalah orang-orang yang lebih berfokus untuk mendapatkan kekuasaan.” (hal.35).


Lantas, apakah harus menjadi orang yang menyebalkan untuk bisa sukses? Buku ini mengemukakan beberapa aturan tentang bagaimana caranya menjadi orang yang beretika dan sukses tapi tidak bodoh. Dari berbagai penjelasan mengenai fakta-fakta yang paling masuk akal yang bisa jadi berbeda dengan doktrin yang telah lama ada mengenai kesuksesan, yang paling perlu selalu diingat adalah bagian tentang memilih kolam yang tepat.


Seringnya, kita merasa mendaki tangga yang salah dan sulit mencapai keberhasilan, sesederhana karena kita berada di kolam yang salah. Ketika memilih pekerjaan, cocok atau tidaknya kita dengan pekerjaan itu bukan bergantung pada pekerjaannya, tapi pada orang-orang yang akan bekerja sama dengan kita. Lingkungan kerja yang buruk akan membuat kita menjadi orang yang buruk dan tidak bahagia.


Jadi, penting sekali untuk mengenali kolam apa yang paling cocok untuk kita, karena kolam yang tepat dapat membuat kita merasa hidup sehidup-hidupnya. Sementara kolam yang salah, akan membuat kita terus teracuni dan perlahan mati tenggelam.


Buku Puisi

buku puisi


Mengapa buku puisi juga menjadi jenis buku yang penting dalam perjalanan hidup? Bagi saya, buku puisi punya tempat tersendiri di hidup saya. Selain inspirasi, dalam puisi saya menemukan refleksi. 


Selain itu, puisi juga bisa mengguncang kemapanan pemahaman dalam otak saya yang kaku. Segala yang tegang jadi dilenturkan. Hanya dalam waktu yang singkat, dengan kata-kata yang padat, puisi bisa memberi efek ledak yang luar biasa. 


Membaca puisi juga melatih kepekaan kita terhadap merasakan sesuatu. Kepekaan penting untuk dilatih agar kita bisa lebih memahami diri sendiri maupun lebih berempati kepada orang lain dan lingkungan sekitar.


1. Celana Karya Joko Pinurbo

buku puisi celana


Tidak banyak buku yang membuat seseorang ketika selesai membacanya jadi banjir inspirasi di dalam kepala untuk melahirkan karya juga. Tapi, buku puisi Joko Pinurbo yang berjudul Celana adalah salah satunya. 


Setelah membacanya, dalam kepala saya tiba-tiba banyak kata-kata yang siap dimuntahkan jadi banyak puisi. Dan benar saja, puisi-puisi itu mengalir satu per satu mencari jalan lahirnya sendiri. Ada empat puisi saya yang dimuat di Buruan.co pada bulan Januari 2021 dan lima puisi saya yang dimuat di Jawa Pos pada bulan April 2021.


Berikut ini penggalan puisi "Celana (2)" yang begitu menarik:


Ketika sekolah, kami sering disuruh

menggambar celana yang bagus dan sopan,

tapi tak pernah diajar melukis seluk-beluk

yang di dalam celana sehingga kami pun tumbuh

menjadi anak-anak manis

yang penakut dan pengecut

bahkan terhadap nasib sendiri

 

Karena itu kami suka usil dan sembunyi-sembunyi

membuat coretan dan gambar porno

di tembok kamar mandi sehingga kami pun

terbiasa menjadi orang-orang

yang suka cabul terhadap diri sendiri

(hal.30)

  


2. Ibu Mendulang Anak Berlari Karya Cyntha Hariadi

ibu mendulang anak berlari


Buku puisi ini menemani saya dalam proses adaptasi yang terus menerus menjadi seorang ibu. Buku yang ketika pertama kali dibaca, rasanya langsung “jleb”, kata-katanya “menancap” begitu saja. Saya bisa merasakan kehilangan, kekosongan, keterasingan, kelimbungan, serta impian dan khayalan dari seorang ibu yang ada dalam puisi-puisinya.


Walaupun merujuk pada kehidupan ibu dengan segala dinamikanya, tidak ada pengulangan cerita di sana. Jadi, tidak ada rasa bosan membacanya walau semuanya berpusat pada dunia perempuan yang menjadi ibu. 


Semua puisinya berdiri sendiri-sendiri, namun juga saling berkaitan. Saking terpesonanya saya membuat kritik sastra atas buku tersebut, dan karya saya itu mendapat penghargaan Pemenang Harapan dalam ajang Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2019.


3. Empedu Tanah Karya Inggit Putria Marga

empedu tanah


Puisi-puisi dalam buku Empedu Tanah membuat saya melatih diri untuk bisa lebih berempati merasakan kenyerian yang dialami orang-orang terutama perempuan-perempuan lain. 


Jika puisi Cyntha Hariadi seperti seorang teman yang menemani rekreasi ke dalam diri sendiri, puisi Inggit Putria Marga adalah seorang teman yang mengajak melihat realitas-realitas lain di luar diri sendiri. 


Keduanya sangat perlu bagi saya. Karena terlalu fokus pada diri sendiri bisa lupa tentang dunia luar. Sementara terlalu asyik memperhatikan dunia luar, bisa jadi abai dan asing dengan diri sendiri. Karena itu membaca keduanya seperti menemukan keseimbangan dalam memandang hidup


4. Rusunothing Karya Ratri Ninditya

rusunothing


Di buku puisi Rusunothing karya Ratri Ninditya, saya merasa seperti menemukan teman sejawat yang sama-sama berjuang dalam menghidupi diri. Kekhasan pekerja muda kaum urban dengan segala problemanya dituangkan Ratri dengan begitu effortless. Membaca beberapa puisinya seperti merasakan menjadi sisyphus urban, bertaruh dalam kehidupan setiap hari, berulang kali mati lalu hidup lagi. Seperti siklus yang tidak ada habisnya. 


Walaupun mungkin untuk beberapa puisi, sepertinya hanya dimengerti oleh kaum urban itu sendiri saja. Yang mungkin saja bagi kalangan lainnya ada istilah-istilah yang sedikit asing. Satu puisi yang paling menarik di buku ini adalah:


Jalan Ngantor

kubuka payung biru gelapku

di hari yang tidak terlalu hujan

supaya tampak seperti

orang melayat.

(hal 76)



5. Museum Masa Kecil Karya Avianti Armand

museum masa kecil


Saya selalu suka dengan puisi-puisi karya Avianti Armand, yang terasa manis, walau maksud dan artinya tidak senantiasa manis. Di buku puisi Museum Masa Kecil, pembaca diajak untuk menengok kembali masa kecilnya dengan mengunjungi kenangan-kenangan yang dimuseumkan dalam ingatan.  


Kita akan kembali menemukan kegembiraan anak-anak mengepakkan sayap mengikuti angin di puisi “Terbang”. Lalu ada juga puisi yang bercerita tentang seorang anak yang merasa dirinya adalah kelinci biru dan sangkar burung bukanlah rumahnya. 


Kita pun akan menemui seorang anak yang berbicara dengan kematian di puisi “Nanti Saja”. Dan juga seorang anak yang bercermin dan melihat dirinya di masa kecil. Tentu tidak hanya soal yang senang-senang saja, tapi membaca puisi Avianti selalu menyenangkan bagi saya.


Satu puisi yang paling saya suka di buku ini adalah:

Jika tak Tahu ke Mana Kamu Akan Pergi

Semua jalan akan membawamu ke sana

(Hal. 117)  

 

Menjalani Hidup dengan Terus Beradaptasi

Hidup di tengah pandemi atau hidup tanpa pandemi sekali pun adalah hidup yang bukan untuk dirutuki atau diratapi, tapi hidup yang perlu senantiasa dinikmati dan dijalani. Walau rasanya tidak selalu nikmat, bukan berarti harus terus disesali.


Hidup bersama buku membuat kita makin sadar, bahwa selalu ada celah dalam setiap masalah, selalu ada harapan di tengah kegelapan, dan selalu ada petunjuk jalan ketika bertemu kebuntuan.


Mari berdamai dengan ketidakpastian. Kadang, cahaya itu baru jelas terlihat ketika kita mengenali sudut-sudut paling gelap dalam hidup kita. Arah baru tampak kentara ketika kita pernah menelusuri banyak kelokan. Mari merangkul hal-hal yang paling tampak tidak pasti dalam hidup.


Buku puisi dan buku motivasi senantiasa menjadi teman yang menyenangkan dalam proses beradaptasi. Dengan berteman bersama buku-buku di atas, saya jadi makin tahu peluang-peluang seperti apa yang perlu saya ambil ke depannya. Mimpi-mimpi apa yang perlu untuk saya perjuangkan. Apa saja yang perlu saya pelajari, apa saja yang perlu saya relakan.


Saya jadi ingin terus menggali potensi apa dalam diri yang bisa lebih saya kembangkan lagi, serta luka-luka apa saja yang bisa saya sembuhkan. Berdamai dengan masa lalu, baik yang pahit dan terus-terusan menghantui, atau yang terlalu cemerlang sehingga enggan beringsut dari penjara kejayaan yang telah usang. 


Berdamailah pada apa yang “pernah” dan berserahlah pada apa yang “akan”. Karena dengan keduanya, masa “sekarang” yang “sedang” dijalani akan lebih mudah dinikmati. Mari merayakan proses beradaptasi dan menjalani hidup sebaik-baiknya bersama buku-buku yang dicintai!


Foto: Aprillia Ramadhina

 

Selasa, 29 September 2020

Resensi Buku Sains “Religius”, Agama “Saintifik”: Dua Jalan yang Punya Kebenarannya Masing-Masing

September 29, 2020 0



Sains dan agama sudah sejak lama dalam pandangan (beberapa) orang, ibarat air dan minyak atau bumi dan langit. Senantiasa dianggap berseberangan, berlawanan. Tapi, apakah memang keduanya seekstrim itu berjauhan? Memangnya tidak bisa kalau mereka saling hidup bersisian, bersinggungan dan beririsan lalu punya hubungan yang begitu mesra?


Saya pikir setelah membaca buku Sains “Religius” dan Agama “Saintifik”: Dua Jalan Mencari Kebenaran yang ditulis oleh Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla yang diterbitkan oleh Mizan Publishing, saya bisa mendapatkan sedikit jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Karena selain judulnya begitu menarik, gambar sampulnya juga ciamik. Ada dua buah lempeng berbentuk sabit yang masing-masing ujungnya saling bersentuhan. Ya, seolah-olah membicarakan pertemuan antara dua kutub yang begitu berbeda; agama dan sains.


Sayangnya, setelah membaca habis satu buku tersebut, saya masih belum mendapat gambaran yang cukup jelas tentang seperti apakah sains yang religius itu? Dan seperti apa jugakah agama yang saintifik itu? Isinya tidak berisi esensi yang sungguh-sungguh menjadi representasi dari judulnya (dan gambar sampulnya).


Padahal Haidar Bagir di bagian awal buku ini menuliskan, “Di satu sisi kita kewalahan dengan pengikut agama yang mau menang sendiri dan mengafir-ngafirkan sains dan filsafat. Tetapi di sisi lain, kita dapati ada juga pemuja sains yang menafikan filsafat dan membodoh-bodohkan pemikiran agama. Kapan manusia benar-benar bisa bebas dari para bigot dan ekstremis yang ada di berbagai kelompok ini?” (Hal 31). Sungguh sebuah paragraf yang menggugah pembaca untuk ingin tahu bagaimana mereka yang bertentangan ini bisa berdamai pada akhirnya.


Memang ia pun memaparkan solusinya yaitu bahwa ia percaya yang kita butuhkan adalah reintegrasi antara sains, filsafat dan agama. Ya di dalam buku ini Haidar Bagir juga membahas cukup banyak tentang filsafat.


Walaupun reintegrasi menurutnya bukanlah berarti mencampuradukkan ketiganya, tapi menggabungkan dengan jernih dan tetap mempertahankan batas wilayah masing-masing. Selain itu juga mempertanggung-jawabkan kebenaran-kebenaran yang diperoleh sehingga pengetahuan kita akan lengkap dalam berbagai aspek. Tampak ideal sekali, ya? Tapi, sebenernya reintegrasinya itu seperti apa dalam pemahaman singkat dan mudahnya?


Saya kira saya akan menemukan benang merah antara sains dan agama atau keselarasannya karena saya menemukan sebaris kalimat di halaman 86 mengenai “hukum-hukum alam yang tak lain adalah Sunnah Allah di alam semesta”. Sayangnya tidak dijabarkan lebih jauh dan lebih mendalam lagi mengenai hal tersebut.


Sementara itu hubungan agama dan sains yang penuh konflik tentu sudah bukan rahasia lagi. Sangat mudah sekali menemukannya. Lantas bagaimana dengan hubungan yang harmonis? Apakah ada? Apakah cukup hanya sekadar mengetahui bahwa dalam sejarah, ada banyak tokoh cendekiawan muslim yang menjadi ilmuwan dan berkontribusi pada kemajuan sains modern? Rasanya para ekstrimis agama yang anti sains tak lantas jadi mencintai sains hanya sekadar diajarkan soal sejarah tersebut.


Hanya ada satu contoh yang dikemukan Haidar Bagir mengenai lahirnya sebuah penemuan karena terinspirasi kitab suci, yaitu tentang Prof Abdus Salam. Ia mengaku mendapatkan inspirasi penemuannya dalam penyusutan teori penyatuan gaya nuklir lemah dari Al-Quran. Tapi juga tidak jelas, dari surat apa dan ayat yang mana ia mendapatkan inspirasinya tersebut. Sementara contoh lainnya dikatakan adalah Albert Einstein yang mengemukakan teori relativitas dari imajinasi, dan sederet ilmuwan lainnya yang menemukan penemuan ilmiah juga dari imajinasi. Tapi, tentang yang diilhami kitab suci, contohnya hanya satu itu saja dan yang seperti saya katakan; tidak dijelaskan dengan lebih detail atau spesifik.


Tidak Ada Tuhan Itu Tidak Masuk Akal


Sementara itu Ulil menuliskan betapa “tidak masuk akal”, ketika sains, yang mengandalkan fondasi empiris (di mana sesuatu itu ada dan tidak harus dibuktikan dengan indera), sehingga sesederhana itu mengatakan bahwa Tuhan tidak ada. Bagi Ulil, ini sama tidak masuk akalnya dengan sains yang menjelaskan kemunculan kehidupan melalui teori evolusi di mana tidak adanya campur tangan Tuhan.


Ia katakan tidak masuk akal karena menurut perbandingan yang ia buat, yaitu dua contoh susunan huruf yang satu acak dan yang satunya tersusun dengan benar, maka berarti ada “penyusun huruf”. Rasanya, para ekstrimis sains yang anti agama tak lantas jadi mengindahkan agama hanya karena argumen “penyusun huruf” tersebut.


Padahal, andai tidak hanya sekadar tidak masuk akalnya kedua hal tersebut yang dibahas, tapi juga contoh-contoh betapa masuk akalnya agama, sehingga tidak perlu bertentangan dengan sains, mungkin pembahasannya akan jadi jauh lebih menarik lagi.


Jadi, intinya untuk kamu para pencari pesan moral dalam sebuah karya, maka pesan moral dari buku ini adalah: Jangan pertentangkan agama dan sains karena iman bukan lawan dari pengetahuan. Hanya ditekankan bahwa sains dan agama memang bukan musuh bebuyutan, tapi tidak juga dijelaskan dengan mendalam seperti apa jalinan persahabatannya?


Akhir kata, semoga kita bisa menghidupkan harapan di buku ini: senantiasa dihindari dari kepongahan dalam beragama, maupun dalam berilmu, - atau dalam keduanya.

 

Baca juga:

Jumat, 28 Agustus 2020

Review Novel Dua Dini Hari: Misteri Pembunuhan Anak Jalanan yang Terstruktur, Sistematis dan Masif!

Agustus 28, 2020 3



Saya bukan penggemar novel bergenre thriller. Tapi, setelah membaca novel Dua Dini Hari yang ditulis oleh Chandra Bientang - seorang teman saya waktu kuliah di jurusan Filsafat UI - , rasanya saya mulai tertarik dengan genre ini.  Novel ini merupakan karya Cacan (panggilan akrabnya) yang menang kompetisi menulis novel urban thriller yang diadakan oleh penerbit Noura dan diterbitkan menjadi buku.

 

Novel Dua Dini Hari, berkisah tentang pembunuhan anak-anak jalanan di kawasan Jatinegara. Bagi saya, cerita ini bukan sekadar cerita misteri biasa. Cerita dalam buku ini seperti ingin menyentil rasa kemanusiaan kita. Bukan sekadar memecahkan teka-teki pembunuhan, tapi mempertanyakan hal-hal yang tak dipandang dan dinihilkan orang. Siapa peduli dengan anak jalanan? Hidupnya saja diabaikan, apalagi kematiannya.

 

Tapi di dalam buku ini, ada tokoh yang begitu peduli, yaitu seorang pemuda bernama Elang, yang bersikeras menyelidiki kematian anak-anak jalanan. Padahal ia bukan polisi. Hanya anak dari seorang polisi saja. Elang bahkan belum lulus Akpol. Serangkaian peristiwa membuat Elang pun bertemu dengan Kanti, yang sedang cuti kuliah dan bekerja sebagai ilustrator lepas.

 

Keduanya bertemu di kantor polisi, saat Kanti melaporkan bahwa dirinya mulai merasa terteror karena sepertinya ia melihat hal yang seharusnya tak boleh ia lihat dari kamar kosnya. Elang sendiri bahkan juga mengalami teror yang tak kalah hebat yang membuatnya nyaris kehilangan nyawa. Dan saya pun merasa ikutan terteror ketika membacanya novel ini; siapa pun bisa dibunuh, dan siapa saja juga bisa menjadi pembunuh.


Konspirasi Rakyat Jelata dan Penegak Hukum

Agak sulit menulis review novel ini tanpa sedikit pun spoiler. Saya sungguh tak menyangka Cacan bisa menghadirkan pemilik toko roti, pemilik toko kelontong, pemilik laundry, hingga penyedia jasa pelenyapan orang bisa saling bekerja sama untuk sebuah kejahatan yang terstruktur, masif, dan sistematis bersama-sama dengan para penegak hukum. Hhm, sebuah cerita yang nyerempet-nyerempet bahaya, ya. Hahaha. 

 

Cacan menyoroti Jatinegara khususnya dengan segala lika-likunya. Gang-gang sempit, dan semua hal yang jauh dari kehidupan gemerlap. Malam-malam yang mencekam. Rasa aman yang rasanya tidak pernah benar-benar ada.

 

Saya sungguh nggak paham, bagaimana Cacan bisa menemukan kalimat yang begitu menggelitik seperti yang tertulis di halaman 223, “Hanya ada satu hukuman untuk para pendosa. Selamanya, mereka harus berbuat dosa.” Saya sungguh angkat topi membaca kalimat ini. Membayangkan bagaimana betapa getirnya hidup seseorang menjalani hukuman selamanya berbuat dosa, seperti sebuah derita yang tak ada akhir.

 

Untuk tahu kenapa kalimat tersebut bisa ada di novel ini, kamu wajib baca novelnya, ya! Karena kalimat ini bukan hanya kalimat kiasan atau quotes cantik yang sekadar jadi tempelan di buku ini. Kalimat ini benar-benar menjelaskan tentang nasib yang dijalani seorang tokoh di novel ini. 

 

Ending yang Sulit Diungkapkan

Saya berada di ambang nyata dan fantasi saat membaca novel ini, terutama ketika saya sampai menuju bagian akhir cerita. Bagi saya, ending-nya menyedihkan untuk kedua tokoh utama yaitu Kanti dan Elang. Sungguh, cara Cacan mengakhiri novelnya ini sedikit di luar dugaan dan tetap berujung pada misteri yang seolah-olah tak ada akhirnya. Misteri yang tak ada kata selesai.

 

Secara teknis, tempo cerita ini cukup pas. Tidak terlalu lambat, tidak juga terlalu tergesa-gesa. Cacan tampaknya tahu betul kapan kejutan-kejutan perlu dimunculkan, dan kapan perlu ditahan.

 

Saya rasa kisah ini punya premis yang menarik, juga alur yang ciamik, dan banyak hal yang tak disangka ternyata saling berkelindan. Kalau dijadikan film, cocok banget Joko Anwar yang jadi sutradaranya. Hehehe. Karena ini cerita bukan cuma tentang bunuh-bunuhan aja, tapi ada unsur sosial dan politis di dalamnya. Tentang kemanusiaan, tentang keadilan, tentang power

 

Setelah membaca dan menulis review novel ini, kata keadilan menjadi sangat asing, sekaligus akrab. Tapi, yang jelas dari itu, keadilan menjadi semakin buram di mata saya. Apa itu adil?

 

Menarik, ya? Untuk kamu yang mau baca buku ini, kamu juga bisa membelinya dalam bentuk e-book di Google Play dengan klik link di sini