Sabtu, 31 Agustus 2024

Tragicomedy dalam Humor yang Absurd, Slapstick, Satir, Parodi dan Ironi di Film Agak Laen

Agustus 31, 2024 0


Foto: Imdb.com


Film bergenre horor komedi punya tantangan besar dalam mengakomodir dua genre yang perlu kelihaian dalam memadukannya untuk dapat membuat penonton bergidik ngeri dan tertawa geli. Karena itulah, sangat mungkin akan ada kecenderungan yang mendominasi, apakah lebih banyak porsi horornya, atau komedinya. Itu juga yang terjadi di film Agak Laen. Kita akan melihat bahwa 90% dari film ini adalah komedi, dan horor adalah sisanya.

 

Suasana mencekam memang tetap dicoba dibangun dalam film ini. Dengan dominasi latar waktu di malam hari, wahana rumah hantu dengan cahaya yang minim, munculnya penampakan sosok hantu sungguhan, benda yang tiba-tiba jatuh, angin yang bertiup kencang, api yang menyala-nyala, mayat berbalut kafan, kuburan, – tetap saja kelucuannya lebih banyak hadir dibanding kengeriannya.


Muhadkly Acho, sebagai sutradara sekaligus penulis skenario film ini bukan kali pertama menggarap film bergenre horor komedi. Ia pernah menyutradarai film Ghost Writer 2 sekaligus menulis skenarionya bersama Nonny Boenawan. Namun, dalam Ghost Writer 2, unsur komedinya justru yang lebih tipis dibanding horornya.

Terlepas dari apa pun genre-nya, dan komposisi apa yang lebih dominan dalam porsinya, baik itu komedi maupun horor, film Agak Laen memiliki kekuatan yang seperti kita ketahui dari segi komersialnya, telah meraup jutaan penonton.

Tulisan ini akan mengulas bagaimana kekuatan komedi dalam film Agak Laen diramu dengan menggabungkan beberapa tipe humor. Namun, sebelum menjadi blur antara penyebutan komedi dan humor yang tampak serupa, maka dipahami terlebih dulu bahwa penyebutan komedi lebih kepada genre dari sebuah karya, sedangkan humor merupakan lelucon yang membuat tertawa. 


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), komedi diartikan: sandiwara ringan yang penuh dengan kelucuan meskipun kadang-kadang kelucuan itu bersifat menyindir dan berakhir dengan bahagia. Sementara humor dalam KBBI memiliki arti: sesuatu yang lucu atau keadaan (dalam cerita dan sebagainya) yang menggelikan hati; kejenakaan; kelucuan.

Ini juga semakin ditegaskan bedanya dalam buku Comedy: A Very Short Introduction (2013) yang ditulis Matthew Bevis, bahwa dalam komedi ada humor dan kecerdasan atau aspek kognitif, sedangkan humor lebih berkaitan dengan perasaan dan suara hati.

Singkatnya, komedi merupakan karya untuk membuat penonton tertawa, sementara humor merupakan elemen yang bisa membuat orang tertawa, baik dalam karya komedi, maupun dalam konteks apa pun.


Memformulasikan Tragicomedy dalam Aneka Bentuk Humor

Film Agak Laen meraup lebih dari 9 juta penonton yang menempatkannya menjadi film Indonesia terlaris ke-2 sepanjang masa setelah film KKN Desa Penari dan menjadi film terlaris pertama yang rilis di tahun 2024 sepanjang paruh ke-2 tahun ini berjalan.


Tentu bukan karena lucu dan menghibur saja, film ini berhasil mengangkat isu yang relevan dengan konteks sosial di masa sekarang serta menampilkannya lewat unsur-unsur di filmnya dengan sangat baik. Mulai dari premis, karakterisasi tokoh, setting, adegan, plot, diolah dalam estetika film yang pas sehingga penonton dapat menikmati dan mendapat kepuasan dari menonton film ini dari awal hingga akhir.


Sepanjang film kita terbuai dalam humor yang beragam. Jika biasanya suguhan humor kebanyakan dalam film komedi dimunculkan secara verbal, yakni melalui permainan kata di percakapan atau dialog antar tokohnya, pada film Agak Laen humor itu hadir dalam banyak bentuk.


Dalam dua film sebelumnya, Acho pun cukup banyak menempel humor pada dialog di film Ghost Writer 2 dan Gara-Gara Warisan. Lelucon hadir dari celetukan pada dialog, yang sayang sekali untuk ruang visual seluas film tentunya bisa digarap dengan lebih maksimal. Tampaknya Acho pun sangat berkembang dari karya sebelumnya. Kelucuan bukan semata dalam bentuk verbal saja, tapi hadir dalam berbagai adegan sepanjang keseluruhan film. Ada kematangan dalam mengemas komedi dalam pengadeganan.


Film Agak Laen bukan hanya kental dengan komedinya, tapi juga menggabungkan tragedi ke dalamnya. Tragicomedy menjadi hal yang cukup pas untuk menyebut genre film ini. Dalam buku kumpulan esai Early Modern Tragicomedy (2007) yang diedit Subha Mukherji dan Raphael Lyne, tragicomedy merupakan salah satu bentuk drama yang terpengaruh oleh konsep komedi dan tragedi dari Aristoteles.


Tragicomedy bukan hanya memengaruhi seni literasi dan pertunjukan, tapi juga film. Dalam bukunya Poetics (1819), Aristoteles mengungkap bahwa komedi adalah imitasi sesuatu yang menggelikan, suatu kelainan yang tidak menimbulkan penderitaan serius. Sementara tragedi merupakan peristiwa yang menimbulkan rasa kasihan karena adanya perubahan dari nasib baik menjadi kemalangan yang bukan disebabkan kejahatan, melainkan kesalahan.


Karena itulah tragicomedy, berarti menggabungkan keduanya, sesuatu yang menggelikan tapi juga melibatkan rasa kasihan karena kemalangan. Walau sebenarnya jika dilihat secara terpisah, terdapat perbedaan dari keduanya seperti dalam buku An Apology for Actors: In Three Books (1841) yang ditulis Thomas Heywood, bahwa terdapat hal yang berkebalikan antara komedi dengan tragedi. Jika komedi dimulai dengan kekacauan dan berakhir dengan kedamaian, tragedi justru dimulai dalam ketenangan dan berakhir dengan prahara.


Inilah formula yang ditampilkan dalam film Agak Laen, menggabungkan tragedi dan komedi yang saling tumpang tindih, serta sambung-menyambung secara berkesinambungan. Mari kita lihat bagaimana film Agak Laen menggarap humor dari peristiwa-peristiwa pelik yang dengan apik diperlihatkan dari berbagai unsur intrinsik dalam filmnya namun juga berkaitan erat dengan konteks sosial yang melingkupinya.


Adegan Pembuka: Waria Menjadi “Wahana”


Film ini bercerita tentang empat sekawan, Oki (Oki Rengga), Boris (Boris Bokir), Bene (Bene Dion Rajagukguk), dan Jegel (Indra Jegel) yang berupaya merenovasi wahana rumah hantu yang nyaris tutup di pasar malam tempat mereka bekerja, agar menjadi lebih seram sehingga menarik banyak pengunjung. Namun, ternyata ada orang meninggal di rumah hantu tersebut dan jadi hantu sungguhan, serta menimbulkan masalah baru bagi empat sekawan tersebut.

Film dibuka dengan adegan yang sangat mengesankan, yaitu Oki yang jadi salah satu “wahana” Lempar Kuyup di pasar malam Rawa Senggol. Oki duduk di atas kolam penuh air dengan dandanan perempuan, lengkap dengan rambut palsu dan baju seksi.

Pengunjung boleh melempar bola ke sebuah sasaran, jika terkena, maka tempat duduk Oki akan bergoyang dan Oki jatuh ke kolam. Saat Oki jatuh para pengunjung tertawa. Oki tampak tidak senang melakukannya, bahkan ia bilang ke pengunjung untuk berhenti melempar karena dia sedang tidak enak badan. Tapi hal itu tidak dihiraukan, ia pun tetap menjadi bahan guyonan.

Adegan pembuka ini juga menjadi “gerbang” bagi penonton untuk memasuki keseluruhan cerita dalam film ini, bahwa derita para tokohnya lah, terutama Oki akan penuh kemalangan hingga akhir film. Walau penonton belum diceritakan latar belakang hidup Oki, empati penonton kepada tokohnya dibangun sejak awal dengan baik.


Setting Pasar Malam: Rentetan Malapetaka di Tempat Hiburan

Foto: Pasar Malam Rawa Senggol di Film Agak Laen


Hal paling menarik yang utama dari film Agak Laen tentu adalah pemilihan konsep setting yang mengambil lokasi Rumah Hantu di Pasar Malam. Pasar Malam adalah tempat hiburan yang murah meriah bagi masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah. Dengan mengeluarkan uang yang tidak perlu banyak, ada berbagai wahana yang bisa dinikmati.

Dalam buku Film: A Critical Introduction (2005) yang ditulis oleh Maria Pramaggiore dan Tom Wallis dijelaskan bahwa fungsi utama setting adalah menunjukkan waktu, tempat, serta memperkenalkan ide, tema, dan menciptakan mood di setiap adegan pada keseluruhan film. Karena itulah, pemilihan setting yang tepat dapat turut membangun suasana yang lebih kuat atas setiap situasi dan peristiwa yang terjadi di film.


Pemilihan pasar malam sebagai lokasi di film Agak Laen turut membangun atmosfer yang menguatkan cerita. Menarik melihat lokasi bukan sekadar “tempelan” dalam cerita tapi juga membuat film ini menjadi lebih “bernyawa”.

Kunci yang menggerakkan cerita di film ini adalah ketika seorang calon anggota legislatif (caleg) dari Partai Bergerigi bernama Basuki Munandar (Arif Didu) yang punya penyakit jantung masuk ke rumah hantu dengan niat sembunyi karena takut ketahuan istrinya sedang bersama selingkuhannya, Intan (Indah Permatasari). Namun, naasnya, di rumah hantu tersebut ia terkena serangan jantung dan langsung meninggal di tempat, akibat ditakut-takuti oleh Oki, Boris, Bene, dan Jegel. Mereka takut melapor ke polisi karena Oki baru saja keluar dari penjara, alhasil mayatnya dikuburkan begitu saja di rumah hantu tersebut.

Pasar malam, sebagaimana taman bermain dengan beragam wahana permainan, identik dengan kesenangan dan kegembiraan. Menggunakan pasar malam sebagai lokasi matinya seseorang yang bahkan mayatnya dikuburkan di sana, menciptakan kontras tajam yang menarik, karena menempatkan kematian di tempat yang penuh keceriaan.

Memang, pemilihan taman bermain atau tempat hiburan sebagai lokasi kematian dalam film bukanlah hal yang baru. Sebut saja yang juga sangat mudah diingat adalah film Final Destination 3 yang mengambil setting di taman bermain, tepatnya di wahana roller coaster tempat kecelakaan terjadi. Meski bukan hal baru, Agak Laen tetap bisa membuat setting lokasi ini tetap otentik dan memorable. Karena pasar malam terasa “merakyat” dan relevan di masyarakat Indonesia.

Setting lokasi ini juga turut menyemarakkan kekontrasan pada peristiwa perselingkuhan Basuki dan Intan. Basuki, sebagai kader partai yang mencalonkan diri sebagai calon legislatif, pastilah orang yang lumayan berkecukupan. Alih-alih tempat yang mewah dan mahal, Basuki justru mengajak ketemu selingkuhannya di pasar malam, tempat hiburan rakyat jelata. Tapi, bisa jadi juga ide ia memilih tempat pertemuan yang tidak mainstream seperti itu sebagai suatu strategi agar tidak ketahuan oleh istrinya. Ia kira istrinya tidak akan menduga bahwa ia bertemu selingkuhan di pasar malam. Sayangnya, dugaan itu meleset, dan istrinya ternyata ada di sana juga di waktu yang sama.




Dumb Crime, antara Kejahatan yang Bodoh atau Kebodohan yang Jahat


Kebodohan empat sekawan ini ketika tidak sengaja menyebabkan kematian Basuki dan menguburkannya sembarangan mengantarkan mereka pada jeruji besi. Padahal, jelas terlihat bahwa dari empat orang tersebut tidak ada yang secara langsung atau berniat membunuh Basuki. Bahwa Basuki itu pada akhirnya meninggal karena sakit jantung, sebetulnya di luar kuasa dan kehendak mereka juga. Namun, karena kebodohan mereka yang sejak awal ditutupi oleh ketakutan akan berhadapan dengan pihak berwajib, ujungnya tetap membuat mereka dipenjara.

Tragedi yang menjadi inti cerita inilah yang paling menyedihkan dalam film Agak Laen. Bahwa orang bisa dipenjara tidak selalu karena melakukan kejahatan, tapi bisa juga karena kebodohan. Hal ini juga termuat dalam dialog Mamak Oki (
Rita Matu Mona) dengan Oki.


OKI
Mamak malu punya anak sepertiku, ya?

MAMAK OKI
Kok gitu bicaramu, Nak?

OKI
Dari dulu aku ngecewain mamak terus. Belum pernah ngebahagiain mamak sekali pun.

MAMAK OKI
Kok jadi kau yang lebih tahu perasaanku?

OKI
Aku ini narapidana, Mak. Penjahat aku, Mak

MAMAK OKI
Kau masuk penjara, itu karena kau bodoh, bukan karena kau jahat.

Dan itu kegagalanku. Maafkan mamak ya, Nak.


Foto: Mamak Oki di Film Agak Laen

Meski bukan penjahat, tapi jelas bahwa tindakan mereka termasuk dalam bentuk perilaku kriminal. Ini dijelaskan dalam akhir cerita yang menyebutkan tindak pidana yang mereka lakukan yaitu, “kelalaian yang mengakibatkan matinya orang dan mengubur mayat untuk menyembunyikan kematian orang yang dilakukan secara bersama-sama”. Karena tindakan kriminal itu, mereka dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun empat bulan.

Penonton mungkin hanya melihat bahwa tindakan empat tokoh itu adalah wujud kebodohan atau keanehan. Namun, tokoh Oki yang menyarankan tiga teman lainnya untuk mengubur mayat tersebut di rumah hantu, membuat tindakan kriminal ini jadi agak masuk akal. Oki diceritakan baru saja keluar penjara gara-gara narkoba. Tentu ada kecemasan berurusan lagi dengan polisi.

Dalam buku An Introduction to Criminological Theory (2009) karya Roger Hopkins Burke dijelaskan bahwa pikiran kriminal (criminal mind) bisa disebabkan oleh penyesuaian emosional yang tidak berfungsi, abnormal, atau sifat kepribadian menyimpang yang terbentuk selama sosialisasi awal dan perkembangan masa kanak-kanak.

Memang tidak dijelaskan tentang masa kanak-kanak Oki di film ini, tapi bisa terlihat penggalan dialog di atas, bahwa ibunya minta maaf pada Oki yang menyiratkan bahwa perilaku Oki yang menyebabkannya jadi narapidana itu juga ada andil dari cara ibunya mengasuhnya. Meski tidak dijelaskan masa kanak-kanaknya, tapi penonton dapat melihat bagaimana penyimpangan kepribadian Oki dan kesulitannya mengatasi emosi bahkan sejak awal film, di mana ada adegan Oki memukul Pelempar Bola (Ge Pamungkas) di wahana “Lempar Kuyup” karena terus-menerus membuatnya jatuh ke kolam.


Adegan pemukulan OKI tersebut, dan latar belakangnya sebagai mantan narapidana, serta dirinya yang terlihat sering mudah emosi bahkan ke teman-temannya, hingga Oki yang mencetuskan ide untuk menggadai sertifikat tanah milik ibunya, bahkan meminjam kuburan ibunya untuk mengubur mayat Basuki, – menambah rentetan yang menjadi penyebab masuk akal pemikiran kriminal bisa muncul dari dirinya. Namun, sayangnya, sebagai penjahat yang memang tidak profesional, kriminalitasnya pun tidak maksimal, – dan inilah yang menjadi letak kelucuannya.

Dumb crime atau kejahatan yang bodoh selalu menghadirkan hal yang menarik. Ini terjadi ketika kejahatan tidak berhasil dilakukan, atau dieksekusi tapi dengan tidak cerdas. Contoh dumb crime dalam film yang paling mudah dan cukup memorable dilihat pada dua tokoh pencuri di film Home Alone, bukan hanya tidak berhasil mencuri, tapi karena kebodohan-kebodohan mereka yang bisa dijebak oleh anak kecil membuatnya menjadi lucu.

Dumb crime memang dekat dengan komedi, secara beruntun diperlihatkan betapa empat tokoh di film Agak Laen ini tidak mengeksekusi rencana kejahatan dengan rapi. Mulai dari tertinggalnya barang bukti berupa topi kuning milik Basuki, mayat Basuki yang justru dikubur di rumah hantu dengan bentuk kuburan sungguhan bukan dibuang ke tempat yang jauh hingga tak terdeteksi, hingga saat mereka hendak memindahkan mayat tersebut ke kuburan ibu Oki, mereka justru meninggalkan peta menuju ke sana yang menjadi jejak yang mudah dilacak polisi. Ditambah lagi, kuburan ibu Oki tersebut ternyata berdekatan dengan pos polisi. Tampak jelas bahwa keempat pelaku kejahatan ini memang tidak benar-benar matang dalam melakukan kejahatan.



Membangun Empati pada Pelaku Kriminal


Dari empat karakter tokoh utama di film Agak Laen, tampak yang punya porsi paling besar dalam penggerak arah cerita adalah Oki. Empati kepada tokoh Oki yang jelas-jelas melakukan kebodohan yang mengarahkan mereka pada kejahatan telah dijelaskan sebelumnya bahwa dibangun kuat sejak pembukaan cerita.

Oki yang di awal jatuh tercebur ke kolam berulang kali saat menjadi wahana “Lempar Kuyup” itu seolah merangkum siklus nasibnya, di mana kejahatan memicu keberuntungan yang ternyata semu, dan selalu berujung naas, tampak tak ada habisnya hingga akhir cerita. Kisahnya yang penuh tragedi, membuat penonton tidak sulit untuk berempati.

Membangun empati pada pelaku kriminal mungkin bukan pertama kali dalam film. Contoh yang cukup populer adalah film Joker. Namun, kejahatan Joker, yaitu pembunuhan juga, ia lakukan bukan hanya pada orang yang bersalah tapi juga pada orang-orang yang tidak bersalah serta secara sengaja, yang tetap membuatnya menjadi tokoh villain yang sulit mendapat welas asih penuh dari penonton.

Sedikit berbeda dengan film Agak Laen, selain penonton sejak awal sudah kasihan dengan keempat tokoh karena masalah hidup mereka, tokoh yang dimatikan di film ini atau yang jadi korban bukanlah “orang baik”, melainkan caleg yang tukang selingkuh, yang seharusnya sebagai calon wakil rakyat memberi contoh baik bagi masyarakat. Ini tentu juga bukan formula baru, Si Pitung, dikisahkan juga mencuri harta orang Belanda (penjajah) untuk dibagi ke orang miskin. Ketika yang menjadi “korban” adalah orang yang layak mendapatkan ganjaran tersebut, penonton pun akan senang-senang saja.

Namun, meski bukan hal baru pun, pengolahan dan pembangunan rasa empati penonton dikemas dengan beragam gaya yang komedik, sehingga rasa kasihan atas derita para tokohnya justru membuat penonton menertawakannya juga.

Empati penonton juga dibangun dari niat-niat baik para tokohnya, meski niatan itu dieksekusi dengan cara yang buruk. Oki ingin merenovasi rumah hantu agar bisa punya uang untuk berobat ibunya, tapi ia menggadaikan sertifikat tanah milik ibunya diam-diam. Boris yang ingin jadi tentara untuk menyenangkan hati ibunya, tapi harus menyuap oknum dan berbohong pada ibunya dengan pakai baju tentara saat video call. Kita bisa melihat Oki dan Boris adalah orang yang begitu sayang pada ibunya. Sementara Bene butuh uang banyak untuk menikahi kekasihnya dan Jegel semata ingin melunasi utang-utangnya.

Awalnya, hal itu berjalan baik-baik saja. Keuntungan dari rumah hantu itu pun bisa membuat Oki menebus kembali sertifikat tanah ibunya yang ia gadai. Boris membuat ibunya percaya kalau anaknya sungguhan jadi tentara, Bene juga berhasil meyakinkan keluarga pacarnya untuk menikah. Jegel pun sudah lunas semua utangnya. Karena rasa empati dibangun dengan baik, tak heran penonton rela menunggu hingga akhir film bagaimana keempat tokoh ini, mendapatkan ganjarannya sekaligus menjemput bahagianya.



Humor yang Absurd: Menabrakkan Hal Banal dan Sakral

Kematian hingga proses ritual penguburan di banyak tradisi dan kepercayaan merupakan hal yang sakral. Dalam agama Islam misalnya saja, orang yang meninggal akan dimandikan jenazahnya lalu disalatkan, setelah dikubur tidak lupa dibacakan doa-doa lagi. Di film Agak Laen, orang yang meninggal justru dikubur asal-asalan, dijadikan properti dan bagian atraksi, serta dikencingi guna memanggil arwah untuk menambah keseraman dari rumah hantu itu.

Memang wisata makam, atau kuburan tokoh dijadikan sebagai “objek” wisata telah lumrah adanya. Namun, bentuk kebanalan itu secara maksimal dihadirkan ketika Jegel, yang tugasnya sebagai hantu jenis pocong di rumah hantu tersebut yang mengencingi makam Basuki. Jadi seperti pocong bohongan mengencingi pocong sungguhan. Dari situ suasana mencekam begitu kental karena seolah “arwah” atau “hantu” dari Basuki jadi hadir setelah makamnya dikencingi.

Kencing di makam seseorang dianggap dalam budaya masyarakat kita sebagai tindakan yang tindakan yang tidak sopan, dan sering kali dianggap pamali, karena dapat menimbulkan hal-hal negatif baik bagi pelakunya maupun orang lain di sekitarnya.

Selain itu, hal ini juga dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap orang yang telah meninggal dan keluarganya. Pamali sendiri merupakan kepercayaan yang berhubungan dengan larangan-larangan tertentu yang jika dilanggar, diyakini akan membawa kesialan atau akibat buruk lainnya. Nah, di film ini hal-hal itulah yang jelas-jelas diterabas, dan menjadikannya menarik.

Dalam humor, ini bisa dikatakan sebagai humor yang absurd. Menurut Martin Esslin dalam bukunya The Theatre of the Absurd (1961), absurd disebut sebagai hal yang tidak masuk akal, konyol, dan tidak beralasan. Dalam humor absurd, lelucon dihadirkan melalui unsur-unsur yang tampak berlawanan, atau tidak sesuai dengan realitas sehari-hari, dan bertentangan dengan logika. Adegan mengencingi makam agar arwahnya datang dalam film Agak Laen termasuk humor absurd, karena situasi ini menggabungkan elemen yang tidak masuk akal dan bertentangan dengan norma-norma sosial, serta melibatkan perilaku yang aneh dan tidak logis.

Dalam konteks humor absurd di film Agak Laen, kombinasi hal kontras seperti kuburan dengan air kencing ditabrakan dan mengejutkan penonton, tetapi justru itulah yang membuatnya lucu. Reaksi yang tak terduga atau irasional dari karakter dalam situasi seperti ini mencirikan humor absurd.

Di film ini, humor absurd terjalin dengan baik. Kita disodorkan keganjilan tindakan empat sekawan itu mengubur begitu saja mayat orang yang mereka tidak kenal di rumah hantu, bahkan lengkap dengan gundukan tanah dan batu nisan. Mungkin maksud dan tujuannya agar tampak menyatu dengan rumah hantu tersebut, sehingga orang berpikir itu hanyalah bagian dari properti wahana, seperti halnya properti kerangka tengkorak yang juga ada di sana.

Keanehan semakin meningkat ketika kuburan tersebut dikencingi untuk memanggil arwahnya. Lalu kian memuncak ketika mayat tersebut digali kembali kuburannya untuk dipindahkan ke kuburan milik ibu Oki. Dengan kelihaian pembuat filmnya, semua keanehan, absurditas dan ketidakmasukakalan yang ditunjukkan itu, tampak sah-sah saja dan membuat kelucuan menjadi maksimal.


Bermain dengan Ambiguitas Saksi Bisu dalam Balutan Humor Slapstick

Ambiguitas terjadi ketika sebuah kata atau frasa memiliki lebih dari satu makna. Dalam buku Semantic Mechanisms of Humor (1985) yang ditulis Victor Raskin, dijelaskan bahwa ambiguitas sering terjadi disebabkan kata-kata polisemi dan homonim.

Polisemi merujuk pada kata yang memiliki beberapa makna yang terkait atau berhubungan. Contoh kata "kepala" bisa berarti bagian tubuh manusia atau pemimpin suatu organisasi.

Sementara homonim adalah kata-kata yang memiliki kesamaan bentuk (ejaan atau pengucapan) tetapi memiliki makna yang berbeda dan tidak terkait satu sama lain. Contoh kata "bisa" dapat berarti "racun" atau "mampu".

Inilah juga yang dituangkan Acho ke dalam konteks humornya di Film Agak Laen melalui tokoh Obet, seorang petugas kebersihan di Pasar Malam Rawa Senggol yang juga jadi “saksi bisu” yang benar-benar bisu atas kejahatan Oki dan kawan-kawan.

Dalam film Agak Laen kita akan menemukan bagaimana frasa “saksi bisu” yang biasanya ada dalam konteks tindakan kejahatan dimaknai secara harfiah juga. “Saksi bisu” sebagai kiasan merujuk pada benda atau objek yang berada di tempat kejadian dan "menyaksikan" kejahatan tersebut tanpa dapat berbicara atau memberikan kesaksian.

Muhadkly Acho menempatkan kiasan frasa tersebut dalam wujud sebenarnya, yaitu Obet, seorang saksi yang bisu (tuna wicara) yang diperankan oleh Sadana Agung.

Memang Obet tidak menjadi saksi langsung saat kematian Basuki, namun ia mendengar percakapan keempat tokoh ketika hendak merencanakan pemindahan mayat tersebut. Ambiguitas ini juga dilekatkan pada adegan ketika empat tokoh itu ingin menyuap Obet agar tidak buka mulut. Namun aksi kejar-kejaran antara keempatnya dengan Obet memberikan sensasi kelucuan tersendiri.

Di sinilah humor slapstick yang klasik dihadirkan, konsep lelucon yang melibatkan kekerasan dan kepedihan. Sederhananya slapstick merupakan kekerasan dan rasa sakit yang dialami orang lain yang direspons dengan tawa, – sebuah konsep kegembiraan atas kemalangan orang lain. Biasanya konsep ini dimainkan dalam seni pertunjukan.

Contoh gampangnya adalah ketika ada orang terpeleset, dan kita menertawakannya. Di satu sisi, adegan ini mungkin saja bisa membuat orang menilai bahwa tokoh Obet yang jatuh dari bianglala sebagai lelucon yang dangkal atau humor yang tidak bermoral, sudahlah bisu, dibuat celaka pula. Tapi, memang karena film ini bertabur berbagai kebanalan, jadi tentu agak terlalu jauh jika dikaitkan ke persoalan moral.

Karena, di satu sisi juga, slapstick memang masih digemari. Louise Peacock menjelaskan dalam bukunya Slapstick and Comic Performance: Comedy and Pain (2014), bahwa mengapa orang menyukai slapstick karena itu naluriah, dan memang sudah tertanam sejak dini. Ia contohkan dengan bagaimana sebagai anak-anak, kita menertawakan Tom and Jerry. Itulah mengapa ia katakan sebagai bentuk hiburan, slapstick memang masih menarik, Louise Peacock menambahkan dalam buku itu bahwa sebagai orang dewasa, menonton slapstick dapat mengingatkan kita pada masa kecil, sehingga menontonnya saat dewasa diwarnai nuansa nostalgia; kita tertawa saat ini, tapi kita juga mengingat tawa diri kita sewaktu masih anak-anak.

Namun, menariknya, Acho mengolah slapstick tanpa ada tokoh yang mencelakai atau menyakiti Obet. Tidak ada adegan pukul-pukulan atau kekerasan yang dilakukan oleh keempat sekawan tersebut. Jatuhnya Obet semata karena dirinya sendiri yang begitu panik manjat bianglala hingga terjatuh sendiri.

Situasi kesalahpahaman yang memunculkan ketakutan di diri Obet juga dapat dipahami, karena tampak keempat sekawan membawa perkakas yang tampak “mencurigakan”. Sehingga, wajar bagi Obet untuk merasa takut dihampiri dan dikejar oleh para pelaku kejahatan. Tujuan Obet naik bianglala semata tidak mau celaka. Namun, kenyataan berkata lain.

Adegan humor slapstick yang cukup memorable itu dilanjutkan secara apik dengan meleburkan ambiguitas “saksi bisu” pada tokoh Obet. Sebagai saksi yang bisu, tentu Obet sebenarnya masih bisa memberikan kesaksiannya. Hanya saja Obet terjatuh dari bianglala yang mengakibatkan nyaris seluruh tubuhnya diperban, sehingga tidak bisa dimintai keterangan apa pun. Ini membuatnya yang tadinya “saksi bisu” secara harfiah, menjadi “saksi bisu” yang kiasan.


Memotret Satir dan Parodi dalam Impian Jadi Tentara

Satir dalam komedi, sederhananya adalah humor yang mengandung kritik sosial. Ini juga dihadirkan di film Agak Laen melalui adegan Boris yang menyuap oknum untuk memuluskan jalannya menjadi tentara. Adegan seperti ini termasuk humor satir karena mengkritik atau menyindir perilaku, institusi, atau situasi sosial yang dianggap salah atau tidak etis.

Namun, alih-alih menciptakan standar moral tinggi yang menyindir praktik suap-menyuap dalam instansi, di film ini, adegan itu bukan untuk “berteriak” ingin mengubah situasi, namun mengajak penonton, untuk menertawakannya.

Karena, tokoh oknum tentara (Soleh Solihun) memaparkan ujian praktik seperti jauh-jauhan meludah untuk bisa lulus, hingga perlunya tambahan uang lagi jika Boris ingin dibangunkan saat pelatihan tentara dengan cara baik-baik. Sindiran ini dikemas dengan baik menjadi sesuatu yang lucu. Tidak bisa dimungkiri memang menjadi tentara masih jadi impian bagi sebagian orang dan masih banyak juga yang percaya bahwa praktik-praktik penyogokan dapat memuluskan jalan masuk menjadi tentara. Mirisnya, masih ada juga yang mempercayai penyogokan tersebut seperti halnya Boris di film ini.

Humor berbentuk parodi juga hadir dan terkait dengan impian Boris menjadi tentara ini. Dalam sebuah adegan ketika Boris melakukan video call dengan ibunya, bukan hanya berbohong memakai baju tentara saat itu agar ibunya percaya, tapi untuk lebih meyakinkan, ia juga meminta Bene dan Jegel memakai baju tentara juga dan berlagak seolah-olah sedang latihan baris-berbaris. Saat ibunya meminta Boris memberi perintah pada Jegel dan Bene yang dikatakan sebagai anak buahnya, Boris pun mengiyakan. Boris memerintahkan mereka untuk saling tampar.

Ini menjadi bagian dari humor parodi. Dalam buku The Language of Humour (1998) yang ditulis Alison Ross, parodi merupakan peniruan bentuk gaya yang dibesar-besarkan atau didistorsi. Konteks lucunya ada pada kepura-puraan ketiganya menjadi tentara dan Bene dan Jegel yang nurut perintah Boris untuk saling menampar seolah mengolok-ngolok pelatihan militer. Seperti kita ketahui, pendidikan militer rentan dengan penggemblengan fisik. Peniruan situasi militer dengan adegan yang dibuat-buat itu, jadi khas humor parodi yang mengundang tawa.


Ironi, Kontradiksi Harapan dan Realitas

Buku The Concept of Irony, with Continual Reference to Socrates (1990) yang ditulis Søren Kierkegaard, menjelaskan mengenai ironi, yang berayun antara "Aku" yang ideal dan "Aku" yang empiris. Bahwa ada benturan antara subjektivitas dan objektivitas, antara kenyataan dan harapan. Hal ini seperti yang dialami empat tokoh di film Agak Laen yang menganggap bahwa tindakan mereka adalah hal yang tepat, dari mengubur mayat, menjadikannya atraksi, hingga memindahkannya, nyatanya membawa konsekuensi yang jelas tidak mereka diinginkan.

Kita melihat satu per satu keinginan yang awalnya tampak berjalan mulus, perlahan terbentur dengan kenyataan yang menghadang di depan mata. Boris yang sudah membayar sejumlah uang kepada oknum untuk jadi tentara, Oki yang berhasil menebus surat tanah ibunya yang digadainya, Bene yang selangkah lagi menikahi pujaan hati, serta Jegel yang berpikir akan menjadi manusia bebas utang, nyatanya jalan keempatnya berakhir di penjara.

Sama seperti dalam konsep ironi di buku Kierkegaard, ironi di film ini menggambarkan ketidaksesuaian antara apa yang diyakini seseorang dengan kenyataan yang sebenarnya. Keempat tokoh dalam film Agak Laen berusaha melarikan diri dari konsekuensi kejahatan mereka dengan cara yang tidak konvensional, tetapi justru menjadi lebih terjerat dalam konsekuensi yang lebih parah.

Ironi tidak hanya terletak pada ketidaksesuaian antara tindakan dan hasil, tetapi juga pada pemahaman yang terbatas dan sering kali salah dari para tokoh tentang kemampuan mereka untuk mengendalikan situasi.

Tindakan irasional dari keempat tokoh hingga ketimpangan antara harapan dan kenyataan yang mereka alami, menghadirkan efek lucu yang unik. Ketika kejahatan, kemalangan, dan hukuman, sambung-menyambung dirangkai dalam adegan-adegan yang absurd, berhasil memantik gelak tawa beruntun.

Meski tampak begitu menghibur, namun film ini juga menghadirkan konteks sosial yang relevan yang mendorong kita untuk berefleksi secara kritis. Mulai dari kebodohan yang mengantarkan pada kejahatan dan hukuman, tokoh calon wakil rakyat yang tidak memberi contoh baik bagi masyarakat, hingga oknum instansi yang melanggengkan praktik penyelewengan, serta bagaimana kesakralan dan kebanalan ditabrakan dan sudah kian tidak diindahkan dalam keseharian.


Penutup

Premis yang jelas, cerita yang menarik, setting yang apik, dan plot yang epik sayangnya kurang didukung akting yang mumpuni dari para pemainnya. Mungkin karena pada dasarnya mereka memang para standup comedian yang belum lama berpengalaman sebagai aktor. Terlihat masih ada kekakuan dalam berdialog dan beradegan yang untungnya tertutupi oleh kekuatan lainnya dalam film ini. Namun, tentunya jalan mereka untuk terus berlatih dan berproses serta menimba pengalaman sebagai aktor masih panjang dan jauh terbentang.

Melihat film Agak Laen yang sukses dari segi cerita dan jumlah penonton, tampaknya ada harapan bagi film Indonesia untuk membuat film bergenre komedi horor lainnya yang sama bagus atau lebih bagus lagi, yang tentunya juga bisa dinikmati banyak orang.

Menggabungkan beragam tipe humor yang saling bertumpang tindih menjadikan film Agak Laen sebagai film komedi dengan sajian humor yang lengkap. Tentu ini layak membuatnya mendapat jumlah penonton yang banyak hingga dinanti sekuelnya oleh masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA


    Aristoteles. 1819. Aristotle's Poetics: Literally Translated, with Explanatory Notes and An Analysis. London: G. and W.B. Whittaker.

    Bevis, Matthew. 2013. Comedy: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press.

    Burke, Roger Hopkins. 2009. An Introduction to Criminological Theory. Cullompton: Willan Publishing.

    Esslin, Martin. 1961. The Theatre of the Absurd. New York: Anchor Books.

    Heywood, Thomas. 1841. An Apology for Actors: In Three Books. London: Shakespeare Society.

    Kierkegaard, Søren. 1990. The Concept of Irony, with Continual Reference to Socrates. Princeton: Princeton University Press.

    Mukherji, Subha & Lyne, Raphael. (Eds.). 2007. Early Modern Tragicomedy. Cambridge: D.S. Brewer.

    Peacock, Louise. 2014. Slapstick and Comic Performance: Comedy and Pain. London: Palgrave Macmillan.

    Raskin, Victor. 1985. Semantic Mechanisms of Humor. Dordrecht: D. Reidel Publishing.

    Ross, Alison. 1998. The Language of Humour. London: Routledge.






Kamis, 15 September 2022

Melihat yang Tak Terlihat dan Mendengar yang Tak Terdengar dari Tubuh Yuni

September 15, 2022 1

Foto: imdb.com

Kebebasan dan kemerdekaan tidak pernah menjadi sesuatu yang terberikan cuma-cuma atau begitu saja. Karena bukan pemberian, kebebasan dan kemerdekaan adalah suatu hal yang perlu diupayakan dan diperjuangan; tentu juga dirayakan – pada akhirnya.


See the Unseen, Hear the Unheard

Foto: imdb.com

Sejak awal menonton film Yuni, kita melihat hal-hal yang mungkin jarang ditampilkan di film Indonesia terutama film remajanya. Adegan film ini dibuka dengan Yuni (Arawinda Kirana) yang sedang memakai celana dalam dan bra. Belum lagi kita juga akan melihat bagaimana Yuni memakai pembalut di toilet sekolah. Kita melihat bagaimana pubertas pada remaja perempuan khususnya, berlangsung dalam tubuh Yuni.


Hanya saja, Yuni menjalani keremajaan itu dengan tantangan-tantangan yang di luar jangkauan usianya, yaitu pernikahan. Pernikahan yang tentunya terlalu dini untuk dialami oleh remaja seusia dirinya.


Ada satu contoh temannya, yaitu Tika (Anne Yasmine) yang sudah mengalaminya dan menceritakan betapa tidak mengenakkannya pernikahan dini yang ia jalani. Mulai dari sakit saat melahirkan, hingga suaminya yang tidak bantu mengurus anak, sampai dirinya yang tidak pernah merasakan orgasme.


Ini ia ungkapkan saat terjadi percakapan seputar seksualitas di rerumputan di mana Yuni dan teman-temannya berbaring sambil bercakap-cakap. Di situ Tika bilang tidak tahu seperti apa rasanya orgasme, dan dia menyarankan kalau mau tahu rasanya, coba untuk masturbasi. Dan informasi tentang "cara masturbasi untuk perempuan" pun dicari oleh Yuni saat dia di rumah dengan mencarinya di internet.  Yang langsung dipraktikkannya saat itu juga.


Nyaris semua dialog di film ini sungguh menegaskan kebingungan Yuni, yang sesungguhnya sangat khas remaja, terutama remaja yang akan lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) dan bingung akan cita-cita serta arah hidupnya. Tampak dari dialog Yuni dan Ibunya via telepon.


Yuni: Tadi Bu Lis tanya Yuni, mau terusin ke perguruan tinggi atau nggak. Katanya suruh diobrolin sama ibu bapak.

Ibu Yuni: Oh gitu. emang kamu mau terusin ke perguruan tinggi.

Yuni: Ya pengin sih.


Tapi keinginan Yuni ini tidak tampak sebagai sesuatu yang dia perjuangkan habis-habisan, melainkan masih tenggelam dalam kebingungan. Yang tentunya sangat lumrah sekali dialami oleh para remaja di mana buta akan kehidupan kuliah, bingung ingin pilih jurusan, dan langkah selanjutnya yang berkaitan dengan masa depan.


Seperti halnya dialog ini dilanjutkan sendiri oleh Yuni yang mempertegas kebingungan dirinya.

Yuni: Masih bingung juga. Soalnya kalo gak nerusin kuliah, terus ngapain?

Ibu Yuni: Bisa kerja di pabrik. atau ngajar PAUD Bu Ida.

Yuni: Selain itu?


Di sini ketika Yuni menanyakan adakah pilihan selain itu, ibunya justru tidak menjawab dan hanya mengatakan bahwa yang penting jangan jadi TKW (Tenaga Kerja Wanita), jangan jadi pembantu. Cukup ibu dan bapaknya yang kerja seperti itu. Ini sebetulnya menandakan bahwa orang tua Yuni tentu juga menginginkan Yuni memiliki masa depan yang lebih baik dari mereka, orang tuanya.


Lalu saat Yuni bertanya kalau bapaknya lebih ingin Yuni bagaimana, ibunya menjawab bapaknya ingin Yuni lanjut kuliah. Biar jadi pegawai. Ibunya juga sempat bertanya, “kalau mau jadi penyanyi harus sekolah musik, Yun?”


Dialog di telepon antara Yuni dengan ibunya ini saat Yuni sedang mencuci baju sebetulnya sesuatu yang menarik. Di satu sisi, keinginan kuliah Yuni didukung oleh bapaknya. Di satu sisi, ibunya juga mempertanyakan soal “menjadi penyanyi” yang berarti ibunya tahu apa kesenangan dan kebisaan Yuni.


Karena Yuni pun mengaku memang ingin kuliah antara jurusan Fisika atau Musik, di mana di dua bidang itulah dia punya nilai yang cukup mumpuni. Dialog ini sebenarnya terjadi dua arah, tidak ada pemaksaan dari pihak ibunya yang melarang betul-betul Yuni untuk melanjutkan kuliah, juga tidak ada singgungan sedikit pun soal menikah saja setelah lulus sekolah.


Ibunya masih membuka kemungkinan lain, kalaupun tidak kuliah, ya bekerja. Namun, hal itu perlahan berubah ketika para pria mulai tiba-tiba melamar Yuni. Karena ada pamali yang katanya kalau menolak lamaran sampai tiga kali akan susah kelak mendapatkan jodoh.


Diskursus yang Tidak Terwujud dalam Dialog

Ada dua adegan di mana Yuni bicara cukup Panjang dengan ibunya melalui telepon. Yang pertama adalah yang sudah dijelaskan di atas, ketika Yuni bingung mau kuliah atau apa. Yang kedua terjadi ketika Yuni tiba-tiba dilamar Iman, saudara Wa Tardi, tetangga depan rumahnya.


Seolah percakapan pertama di telepon itu menguap begitu saja bersama angin, tidak masuk ke dalam telinga ibunya Yuni.


Ibunya cuma bingung kenapa orang yang baru kenal Yuni langsung melamar. Begini dialog mereka.

Ibu Yuni: Lalu gimana? Kamu gak mau nikah?

Yuni: Yuni gak pernah mikirin nikah, Bu. Mikirin pacaran aja gak.

Ibu Yuni: Emangnya rencana kamu apa?


Di sini tampak betul bahwa ibu Yuni tidak pernah benar-benar peduli pada keinginan anaknya yang pernah diutarakan, walau memang tidak terlalu lantang.

Di sini juga Yuni tampak terdiam sejenak, dan hanya menjawab.

Yuni: Ya Yuni juga gak tau, Bu. Yuni masih ingin coba banyak hal. Mau lulus, mau nerusin sekolah lagi kayaknya.

Ibu Yuni: Tapi masih bingung kan mau masuk jurusan apa?


Kebingungan yang sebaiknya bisa dibantu atau diarahkan oleh orang tua, justru membuat remaja seperti Yuni semakin bingung dan tambah cluelessYuni balik bertanya lagi apakah ibu dan bapaknya memang ingin dia menikah. Ibunya cuma menjawab bahwa tidak menyangka anaknya akan dilamar secapat itu.

Ibunya pun memberikan kesempatan Yuni untuk memikirkan sendiri apa yang terbaik untuk Yuni. 

 

Belenggu yang Samar Tetaplah Sebuah Pasungan

Kita tidak melihat sosok pemuka agama yang radikal di film ini. Agama tampil tidak terlalu menonjol. Bahkan dari simbol-simbol yang dihadirkannya. Berbeda misalnya dengan film  Perempuan Berkalung Sorban yang memang bahkan dari judul serta posternya saja membawa atribut keagamaan tertentu.


Di film Yuni kita akan dengan mudahnya melihat bahwa unsur agama sebenarnya tidak sekental atau sedalam itu.


Seperti misalnya dari Yuni dan teman-temannya yang hanya pakai kerudung saat di sekolah atau dari nenek Yuni yang bahkan berkerudung dan juga merokok serta pakai daster lengan pendek.


Tapi, bahkan yang tampak tidak radikal pun bukan berarti tidak membahayakan. Terlihat bagaimana niatan Mang Dodi yang ingin poligami padahal sudah kakek-kakek. Belum lagi bagaimana dia memandang keperawanan sebagai sesuatu yang menambah "value" Yuni sebagai perempuan sampai dia mau menambah "harga" Yuni sebesar dua kali lipat dari mahar yang diberikan (total Rp50 juta) jika di malam pertama Yuni ternyata masih perawan.


Kerumitan yang dirasakan perempuan melalui tubuh, pikiran, dan perasaannya mungkin bisa juga kita temui dalam film seperti Pieces of a Woman (2020) atau Marriage Story (2019), hanya saja, tentu tantangan Yuni sebagai perempuan Indonesia jauh lebih berlapis.


Gempuran itu datang dari norma agama, sosial, adat, kepercayaan, dan lain sebagainya yang membuat kondisi seorang perempuan di Indonesia bisa sangat terepresi. Sedikit diangkat juga tentang bagaimana isu keperawanan mencuat ketika sekolah Yuni hendak mengadakan tes keperawanan, hingga Mang Dodi yang melipatgandakan mahar asalkan Yuni masih perawan. Sedangkan tokoh perempuan-perempuan di film luar negeri saat ini tentu tidak perlu mengalami perendahan harkat dan derajat hanya semata-mata "sudah tidak perawan".


Di film ini kita akan melihat beragam selubung samar itu menjadi tantangan bagi Yuni dan tokoh-tokoh perempuan lainnya di film ini, Tika yang menjadi ibu muda yang tidak dibantu oleh suaminya dalam mengurus anak dan belum pernah merasakan orgasme sejak menikah, Sarah yang dipaksa menikah muda dengan pacarnya oleh masyarakat yang memergoki mereka berduaan, Suci yang mengalami KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) oleh suaminya, juga Asih yang memilih menjadi pribadi dengan gender yang berbeda, tapi hidupnya terasingkan oleh keluarganya. Bahkan Bu Lilis, yang tidak didukung oleh Kepala Sekolah ketika ingin membantu muridnya (terutama perempuan) untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Kita melihat bagaimana Kepala Sekolah di sekolah Yuni menasihati Bu Lilis untuk tidak mengiming-imingi beasiswa kuliah kepada siswanya, terutama perempuan. Yuni, bukan hanya terbatasi oleh tidak adanya dukungan dari keluarga, tapi juga bahkan dari institusi pendidikan tempatnya menimba ilmu.

 

Ketika Yuni Berbicara Melalui Tubuhnya

Foto: imdb.com

Yuni gemar bernyanyi, tapi di sekolahnya kegiatan musik ditiadakan karena alasan suara adalah aurat. Suara di sini menjadi luas cakupannya, yaitu juga sebuah pendapat, gagasan, pikiran. Tentu tampak jelas bagaimana dari awal sampai akhir keinginan Yuni ingin kuliah seolah tak ada yang betul-betul mendengarnya.


Bicara soal bagaimana tubuh perempuan dan pengalaman perempuan yang berbeda dan perlu diangkat sebagai cara perempuan untuk bersuara, dilihat dan didengar, tentu tidak bisa lepas dari apa yang diperjuangkan oleh para feminis postmodern, salah satunya filsuf Helene Cixous.


Unheard dan unseen tidak jauh berbeda, menurut Cixous dalam bukunya, keduanya merupakan istilah untuk mengungkapkan "pembacaan" pada sesuatu yang "tidak terbaca", yang dapat terletak pada kerapuhan, namun itulah yang menjadi sebuah penemuan, invention (Cixous, 1998).


Di film Yuni, elemen-elemen seperti pembalut, celana dalam, dan bra yang ditampilkan secara lugas, turut membangun cerita, membantu “menjernihkan” hal-hal yang tampak “berkabut” sejak awal.


Ketika Yuni perlahan menemukan dirinya, dalam kalimatnya jelas, walau dia tidak tahu di masa depan dia ingin jadi apa, yang jelas tidak ingin suram. Hanya saja keinginan-keinginan itu tidak benar-benar dipahami oleh orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang-orang masih saja terus bertanya, “Yuni rencananya apa?”


Cixous juga menyebutkan dalam bukunya Laugh of Medusa (1976) tentang tubuh perempuan harus didengar, yang ia jabarkan dapat dilakukan dengan menulis, atau seksualitas. Karena tubuhnya itulah yang bisa dijadikan media perjuangannya. Di sini Yuni memang tidak berjuang melalui tulisan, tapi itulah yang dilakukan oleh Kamila Andini selaku sutradara dan penulis naskah film ini. Melalui karyanya inilah cara Kamila Andini juga “bersuara”.


Sementara tubuh Yuni jelas sekali dari beberapa adegan di film ini, mulai dari bagaimana dia menolak lamaran-lamaran, bagaimana dia dengan secara sadar dan sengaja berhubungan seksual dengan teman sekolahnya yang menaruh hati padanya, Yoga (Kevin Ardilova) di sebuah ruangan kosong.


Saat itu Yuni, menghampiri Yoga terlebih dulu, di mana Yoga hanya terdiam, dan Yuni juga yang mengarahkan tangan pria itu ke payudaranya. Ditambah juga adegan saat Yuni masturbasi. Di sini pemikiran Yuni akan kebebasan termanifestasi melalui tubuhnya. dengan menghancurkan sensor, ya Kamila bahkan mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Magdalene.co bahwa tidak ada yang dihilangkan dari naskahnya, dia berhasil mengartikulasikan limpahan makna yang mengalir ke segala arah.


Ketika hidup dalam lingkungan dengan budaya yang cenderung represif, diam tentu bukan menjadi jalan keluar. Yuni sudah mengupayakan banyak hal agar dirinya didengar, tapi orang-orang di sekitarnya masih saja menganggap Yuni sebagai hal yang tidak "terbaca".


Meski berbicara melalui tubuh dan aspek seksualitas, tubuh yang menjadi sarana Yuni untuk berbicara tidak menjadi suatu hal yang vulgar, melainkan puitis; poetic body dalam istilah Cixous), karena tubuh di sini menjadi sebuah penanda (signifier). Di sinilah bahasa menjadi sesuatu hal yang sublim.


Ketika tubuh yang menjadi narasi, menjadi teks yang bicara (speak) bukan lagi hanya terlihat (seen) tapi juga terdengar (heard).


Yuni yang tampak memakai celana dalam dan bra, Yuni yang terlihat mengenakan pembalut, Yuni yang masturbasi, Yuni yang menghampiri Yoga untuk berhubungan seksual, bukanlah adegan-adegan sensual yang semata “kosong” tetapi inilah cara Yuni “berbicara” melalui tubuhnya. Inilah jouissance seperti yang dikatakan oleh Cixous.


Cixous mengaitkan jouissance sebagai kesenangan atau gairah seksual perempuan, yang tergabung dalam aspek mental, fisik, dan spiritual, yang justru menjadi sumber kekuatan kreatif seorang perempuan untuk menemukan sepenuhnya "suara" mereka.


Usai berhubungan badan dengan Yoga, Yuni pun mengutarakan hal-hal yang ingin dia suarakan. Tentang keresahan dia. Bagaimana dia merespon soal pamali ketika hendak menolak lamaran kedua, dengan jelas dia bilang tidak mau dimadu, apalagi dengan kakek-kakek.


Dan bagaimana juga dia mengeluh tentang dirinya yang tidak bisa menceritakan semua itu kepada keluarga dan teman-temannya. Karena akan selalu ditanya balik, “apa cita-citanya”, di saat dia pun juga tidak tahu mau jadi apa, yang dia tahu pasti hanya tidak mau masa depannya suram.


Namun, di balik semua kebingungan Yuni, kita juga akan melihat dan mendengar, bagaimana dia menolak lamaran-lamaran itu dengan tegas. Kepada Iman, dia bilang dia tidak mau menikah dengan Iman. Kepada Mang Dodi, Yuni bilang dirinya sudah tidak perawan agar tidak dinikahi. Kepada Pak Damar, Yuni kabur dari rumahnya di saat acara pernikahan.


Semua keputusan itu diambil Yuni sendirian. Tidak ada bantuan dari keluarganya untuk ikut menolak lamaran tersebut. Menarik melihat bagaimana Yuni yang masih gamang soal masa depannya, tapi punya ketegasan yang dia bangun sendiri soal beragam lamaran yang tidak jelas tersebut.


Tubuh Yuni yang sudah sangat puitis sejak awal, sempurna puitisnya pada bagian ending film, berjalan sendiri di atas pasir. Di atas tanah yang penuh kerikil dan tampak tidak rata, dengan baju pengantin warna ungu serta diguyur hujan di tengah lapang sambil diiringi puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul Hujan Bulan Juni, sungguh mewakili tindakan Yuni saat itu. Di mana dia melangkah tanpa keraguan, dan tanpa perlu berucap apa-apa lagi.


Tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan Juni

Dirahasiakannya rintik rindunya

Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan Juni

dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan Juni

dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu

 

 Daftar Pustaka

Cixous, Helene, dan Derrida Jacques. 2002. Veils. California: Stanford University Press.

Cixous, Helene. 1976. The Laugh of Medusa. Chicago: The University of Chicago Press.



Kamis, 30 Desember 2021

Alvin Theodorus, Berjuang Memberikan Pendidikan Kesehatan Seksual dan Reproduksi yang Komprehensif kepada Anak Muda Melalui Tabu.id

Desember 30, 2021 0


Foto: https://www.instagram.com/tabu.id/


Pergerakan yang dilandasi ketulusan akan bertumbuh besar. Perjalanan yang diawali keinginan memberi manfaat untuk banyak orang, akan punya umur yang panjang. Keyakinan untuk melangkah tanpa keraguan akan membawa pada kemajuan. Itulah tiga hal yang saya pelajari dari seorang Alvin Theodorus, salah satu pendiri dari Tabu.id, sebuah platform atau media edukasi seputar kesehatan seksual dan reproduksi untuk anak muda.


Saya berkesempatan berbincang-bincang cukup panjang dengan Alvin melalui virtual meeting mengenai perjuangannya mendirikan dan membesarkan Tabu.id pada Kamis, 30 Desember 2021.

 

Meski Kalah dalam Perlombaan, Tapi Tetap Semangat Mewujudkan

Tabu.id didirikan oleh empat orang mahasiswa di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, yaitu Alvin Theodorus, Neira Ardaneshwari Budiono, Adelina Kumala, dan Patricia Agatha pada tahun 2018. Keempatnya berinisiatif membentuk Tabu.id untuk diikutsertakan pada sebuah lomba project inovasi kesehatan untuk masyarakat Indonesia yang diadakan di Solo.


Hanya saja Tabu.id tidak berhasil memenangkan kompetisi tersebut, namun mendapatkan feedback yang cukup positif dari para juri. Karena itu, keempatnya yakin untuk merealisasikan project tersebut menjadi kenyataan.


“Pendidikan seksual yang komprehensif masih sangat minim di Indonesia, padahal dampaknya cukup besar. Dari beberapa penelitian yang dilakukan di luar negeri, anak muda yang tidak mendapatkan pendidikan seksual yang komprehensif, tingkat kehamilan yang tidak diinginkan lebih tinggi, selain itu juga lebih rentan mengalami atau melakukan pelecehan dan kekerasan seksual. Karena itu, kami merasa sangat penting untuk membangun Tabu dengan serius,” ujar Alvin.


Melalui artikel ilmiah yang ditulis oleh Annisa Rizkianti dari Centre for Research and Development of Public Health Efforts, National Institute of Health Research and Development (NIHRD), Indonesia bersama rekan-rekan lainnya melakukan sebuah survei mengenai hubungan seksual pada remaja usia sekolah. Studi ini dipublikasikan di Journal of Preventive Medicine & Public Health pada tahun 2020.


Survei tersebut melibatkan 11.110 siswa dari 75 sekolah di Indonesia. Data yang ditemukan adalah 5,3% siswa pernah berhubungan seks. Dan dari jumlah tersebut, sebanyak 72,7% anak laki-laki dan 90,3% anak perempuan melakukan hubungan seks pertama kali sebelum usia 15 tahun. Temuan ini menurut para peneliti menjadi desakan kebutuhan untuk mengembangkan pendidikan kesehatan seksual yang lebih komprehensif serta efektif.


Para peneliti pun berkesimpulan bahwa dalam upaya menunda hubungan seksual dan mencegah infeksi menular seksual, remaja harus diberikan pendidikan kesehatan seksual selama masa pubertas. Hal ini penting agar remaja mendapat informasi yang baik tentang hubungan yang sehat dan bertanggung jawab.

 

Terbatasnya Sumber Daya, Tak Jadi Penghalang untuk Memberi Impact yang Besar

Foto: https://www.instagram.com/tabu.id


Ada banyak keterbatasan yang dialami Alvin dan para pendiri Tabu.id, mulai dari terbatasnya sumber daya manusia, finansial, dan waktu. Meski begitu, mereka tetap bertekad untuk bisa memberi impact yang besar. Karena itulah, platform media sosial Instagram dipakai Tabu.id sebagai media edukasi. “Instagram cukup populer di kalangan anak muda, sehingga bisa menjangkau lebih banyak orang meski dengan keterbatasan yang kami miliki,” jelas Alvin.


Sekitar satu tahun, Tabu.id fokus di Instagram saja, namun tetap konsisten untuk mengelolanya. Kini (per tanggal 30 Desember 2021) akun Instagram Tabu.id sudah memiliki lebih dari 118 ribu followers. Kini Tabu.id juga merambah ke platform lainnya yaitu dalam bentuk podcast di Spotify, serta media sosial lainnya seperti Tiktok dan Twitter.


Meski dikelola oleh para relawan, konten yang dibuat Tabu.id tidak main-main. Tim Tabu.id melakukan riset dalam membuat perencanaan konten, dan menyusunnya ke dalam tema serta topik yang dilengkapi dengan sumber-sumber yang valid dan relevan seperti dari jurnal ilmiah, textbook atau artikel yang dibuat oleh kalangan profesional.


Berawal dari Media Sosial dan Komunitas, Kini Menjadi Yayasan

Foto: https://www.linkedin.com/company/tabu-id/


Alvin melalui Tabu.id merupakan salah satu Penerima Apresiasi Satu Indonesia Awards 2021 Tingkat Provinsi dari DKI Jakarta di bidang Kesehatan. Ajang tersebut merupakan apresiasi yang diberikan oleh Astra kepada anak bangsa yang memberi manfaat bagi masyarakat.


Tim yang berada di naungan Tabu.id kini sudah berjumlah 90 orang, yang terdiri dari para relawan yang punya ketertarikan yang sama dan punya tujuan yang sama.


Tabu.id juga sudah berbentuk sebagai yayasan dan memiliki legalitas sebagai Yayasan Tabu Indonesia Berdaya yang berdiri di awal tahun 2021. Hal ini diperlukan untuk lebih memantapkan langkah Tabu dalam menjaga keberlangsungan dalam menjalankan program-program yang diusungnya.  


Tabu.id memiliki 3 program utama antara lain:

1. Bergerak di bidang pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi di berbagai media sosial.

2. Riset orisinal tentang topik kesehatan seksual dan reproduksi untuk diajukan ke konferensi atau jurnal ilmiah.

3. Pengembangan komunitas dengan melakukan kolaborasi dan kerja sama. Baik itu bersama komunitas atau organisasi lain, serta kerja sama dengan sekolah juga universitas untuk memberikan edukasi seputar kesehatan seksual dan reproduksi.

 


Tantangan Membangun Tabu.id

Foto: https://www.tiktok.com/@tabu.id


Mengelola tim yang terdiri dari 100% relawan yang punya kesibukan utama masing-masing, tentu menjadi tantangan tersendiri dalam mengelola Tabu.id dan menjalankan konsistensi program yang dicanangkan. Tentu dibutuhkan koordinasi yang sangat baik, agar setiap tim tetap berada dalam koridornya dan menjalankan perannya dengan maksimal. Selain itu, ada dua hal lainnya yang menjadi tantangan tersendiri bagi tim Tabu dalam memberikan pemahaman edukasi seksual.


1. Mengolah Bahasa Ilmiah Menjadi Format Informasi yang Menarik untuk Dibaca

Bicara soal seksualitas dan reproduksi dalam jurnal ilmiah tentu penuh istilah ilmiah yang membuat anak muda berjarak untuk membaca apalagi memahaminya. Tabu.id mengolah hal-hal tersebut dalam bentuk meme, video, yang relate dan relevan sehingga informasinya bisa lebih mudah sampai dan diterima. Ini adalah salah satu tantangan yang dihadapi Tabu.id.


2. Mendapat Pertentangan dan Kecaman Ketika Membahas Topik Sensitif

Berkecimpung di pendidikan seksual tentu mau tidak mau akan menyentuh ranah yang cukup sensitif. Tabu.id juga pernah mengalami respon yang cukup keras dan negatif dari netizen ketika kontennya mencoba mengangkat topik yang sifatnya sensitif, seperti misalnya persoalan persetujuan seksual, LGBTIQ (gay, bisexual, transgender, intersex, queer), HIV Aids, aborsi dan aktivitas seksual di luar pernikahan.


Untuk menghindari persepsi atau sentimen negatif, Tabu menyiasatinya dengan memberikan pesan yang memiliki nilai yang dapat dipegang secara universal, terlepas dari keyakinan politik, agama, atau budaya  tertentu, tapi melalui pendekatan yang netral.


Untuk itu Tabu.id membuat community guideline juga agar tercipta suasana yang kondusif dalam berdiskusi, sehingga terwujudnya ruang belajar yang nyaman untuk semua orang.

 

Membedah Masalah Krusial dalam Persoalan Pemahaman Seksualitas di Tengah Masyarakat

Dengan follower yang semakin banyak, jangkauan audiens yang juga semakin besar, Tabu.id pun mendapatkan insight berkaitan tentang masalah krusial seputar kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia, yaitu:


1. Kurangnya pemahaman mengenai tubuh diri sendiri, kurang mengenal dengan baik organ reproduksi yang dimiliki.


2. Kurangnya pemahaman tentang persetujuan. Persetujuan tentu penting dalam relasi apa pun, bukan hanya relasi seksual dan romantik, tapi juga dalam pertemanan dan keluarga. Ketika melakukan sesuatu yang melibatkan orang lain, perlu adanya persetujuan atau izin karena itu berkaitan erat dengan kekerasan fisik, psikis, dan seksual.

 


Apa Saja yang Kurang dari Pendidikan Seksual di Sekolah dan Keluarga?

Bicara soal pendidikan seksual, tentu tidak akan lepas dari pendidikan di institusi sekolah dan dalam keluarga. Alvin pun menyoroti apa saja yang kurang dari pendidikan seksual di Indonesia.


1. Kurangnya iklim komunikasi yang positif dalam keluarga untuk pembahasan aspek seksualitas. “Orangtua dan anak tidak tidak cukup terbuka, karena anak sudah cemas atau takut berhadapan dengan justifikasi atau penghakiman dari orangtuanya. Sementara orangtua juga banyak yang kesulitan tidak tahu bagaimana cara memulai bicara yang nyaman dengan anaknya terkait seksualitas,” papar Alvin.


2. Kurangnya sumber informasi yang terpercaya. Informasi terlalu banyak berseliweran, tapi tidak diimbangi dengan literasi digital yang baik, sehingga sulit memilah informasi mana yang bisa dipercaya dan mana yang tidak.


3. Kurangnya pengintegrasian topik kesehatan seksual dan reproduksi di sekolah. Pendidikan seksual tidak hanya seputar biologis saja yang perlu dibahas, tapi juga aspek sosial dan psikologisnya. “Seharusnya pendidikan seksual masuk ke dalam kurikulum dan wajib diajarkan oleh guru di sekolah,” lanjut Alvin

 
Dampak Minimnya Pendidikan Seksual pada Anak-anak dan Remaja

Foto: https://www.instagram.com/tabu.id

Tim Tabu.id pernah melakukan riset independen mengenai anak sekolah SMP di Jabodetabek dan ditemukan hasil bahwa sebagian besar mereka percaya jika vagina yang dicuci setelah berhubungan seksual bisa mencegah kehamilan, dan sperma akan mati jika perempuan mandi air panas setelah berhubungan seksual. “Ini dampak buruknya jika usia pubertas seperti remaja tidak memiliki pemahaman edukasi seksual yang baik. Mereka percaya konsepsi yang salah, ketika muncul gairah seksual, mereka melampiaskannya tanpa tahu risikonya,” ujar Alvin.


Selain itu, mereka juga akan bingung tentang apa yang terjadi dalam tubuh mereka ketika pubertas. "Contohnya, jika anak perempuan tidak diberikan informasi yang benar tentang menstruasi, dia bisa trauma ketika melihat dari vaginanya keluar darah dan mengira bahwa dia sakit atau terluka. Sementara untuk anak laki-laki, ketika mereka mimpi basah, jika yang ada di benak mereka bahwa itu adalah hal mesum dan tidak baik, maka mereka akan mengecap negatif terhadap aspek seksual diri mereka sendiri yang padahal adalah proses yang alami,” lanjut Alvin.

 


Rencana ke Depan dari Tabu.id


Foto: linkedin.com/company/tabu-id


Kini, Tabu.id memiliki 90 orang tim yang terbagi dalam 5 departemen, yaitu Departemen Program, Departemen Komunikasi, Depertamen Pengadaan Sumber Daya, Departemen Riset dan Pengembangan, Departemen Sumber Daya Manusia.


Dengan timnya tersebut, Tabu.id memiliki rencana ke depannya untuk membuat website, memperbanyak kunjungan ke sekolah dan universitas, membuka chapter Tabu di berbagai daerah terutama yang belum dapat mengakses media sosial dengan baik, juga membangun Pejuang Muda Tabu yang nantinya akan menjadi brand ambassador Tabu. Pejuang Muda Tabu ini akan diberikan serangkaian pelatihan dari para ahli di bidang kesehatan seksual dan reproduksi, aktivasi media sosial, dan social impact.

 

Melihat keseriusan pergerakan Alvin dan tim Tabu.id, dengan segala keterbatasan, tujuan mulia masih bisa menjadi penggerak meski dari segi pemasukan finansial belum terlihat. Terkadang memang Tabu.id juga menerima project dari pihak eksternal yang butuh dibuatkan konten. Ke depannya, selain mengikuti berbagai ajang lomba juga, Tabu.id akan fokus pada fundraising ke donatur yang memang punya concern di topik kesehatan seksual dan repsoduksi dan visi yang sejalan dengan tabu.id.


Jalan yang tidak mudah, sering kali menjadi jalan yang panjang. Karena itu, meski banyak tantangan, Alvin dan tim Tabu.id tidak lantas pantang menyerah. Alvin, yang memilih kuliah di jurusan Psikologi karena ketertarikannya kepada pikiran dan tingkah laku manusia, mengalihkan cita-citanya menjadi psikolog dengan jalan yang ia pilih sekarang, karena agar bisa menolong lebih banyak orang.


“Saya cukup beruntung memiliki akses informasi yang cukup dan keluarga yang memahami pentingnya pendidikan seksual. Karena itu saya ingin bagikan kesempatan yang sama ke lebih banyak orang. Saya percaya, orang yang diberikan informasi mumpuni yang baik, mereka juga akan bisa mengambil keputusan yang baik untuk diri mereka. Saya berharap para anak muda di Indonesia bisa lebih terbuka lagi bicara soal kesehatan seksual dan reproduksi. Tidak perlu malu, cari tahu dan banyaklah bertanya. Karena aspek seskualitas itu aspek integral kita sebagai manusia. Kalau kita mau jadi manusia seutuhnya, kita juga harus mau menerima dan memahami aspek seksual dari diri kita,” tutup Alvin.