Kamis, 15 September 2022

Melihat yang Tak Terlihat dan Mendengar yang Tak Terdengar dari Tubuh Yuni

September 15, 2022 1

Foto: imdb.com

Kebebasan dan kemerdekaan tidak pernah menjadi sesuatu yang terberikan cuma-cuma atau begitu saja. Karena bukan pemberian, kebebasan dan kemerdekaan adalah suatu hal yang perlu diupayakan dan diperjuangan; tentu juga dirayakan – pada akhirnya.


See the Unseen, Hear the Unheard

Foto: imdb.com

Sejak awal menonton film Yuni, kita melihat hal-hal yang mungkin jarang ditampilkan di film Indonesia terutama film remajanya. Adegan film ini dibuka dengan Yuni (Arawinda Kirana) yang sedang memakai celana dalam dan bra. Belum lagi kita juga akan melihat bagaimana Yuni memakai pembalut di toilet sekolah. Kita melihat bagaimana pubertas pada remaja perempuan khususnya, berlangsung dalam tubuh Yuni.


Hanya saja, Yuni menjalani keremajaan itu dengan tantangan-tantangan yang di luar jangkauan usianya, yaitu pernikahan. Pernikahan yang tentunya terlalu dini untuk dialami oleh remaja seusia dirinya.


Ada satu contoh temannya, yaitu Tika (Anne Yasmine) yang sudah mengalaminya dan menceritakan betapa tidak mengenakkannya pernikahan dini yang ia jalani. Mulai dari sakit saat melahirkan, hingga suaminya yang tidak bantu mengurus anak, sampai dirinya yang tidak pernah merasakan orgasme.


Ini ia ungkapkan saat terjadi percakapan seputar seksualitas di rerumputan di mana Yuni dan teman-temannya berbaring sambil bercakap-cakap. Di situ Tika bilang tidak tahu seperti apa rasanya orgasme, dan dia menyarankan kalau mau tahu rasanya, coba untuk masturbasi. Dan informasi tentang "cara masturbasi untuk perempuan" pun dicari oleh Yuni saat dia di rumah dengan mencarinya di internet.  Yang langsung dipraktikkannya saat itu juga.


Nyaris semua dialog di film ini sungguh menegaskan kebingungan Yuni, yang sesungguhnya sangat khas remaja, terutama remaja yang akan lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) dan bingung akan cita-cita serta arah hidupnya. Tampak dari dialog Yuni dan Ibunya via telepon.


Yuni: Tadi Bu Lis tanya Yuni, mau terusin ke perguruan tinggi atau nggak. Katanya suruh diobrolin sama ibu bapak.

Ibu Yuni: Oh gitu. emang kamu mau terusin ke perguruan tinggi.

Yuni: Ya pengin sih.


Tapi keinginan Yuni ini tidak tampak sebagai sesuatu yang dia perjuangkan habis-habisan, melainkan masih tenggelam dalam kebingungan. Yang tentunya sangat lumrah sekali dialami oleh para remaja di mana buta akan kehidupan kuliah, bingung ingin pilih jurusan, dan langkah selanjutnya yang berkaitan dengan masa depan.


Seperti halnya dialog ini dilanjutkan sendiri oleh Yuni yang mempertegas kebingungan dirinya.

Yuni: Masih bingung juga. Soalnya kalo gak nerusin kuliah, terus ngapain?

Ibu Yuni: Bisa kerja di pabrik. atau ngajar PAUD Bu Ida.

Yuni: Selain itu?


Di sini ketika Yuni menanyakan adakah pilihan selain itu, ibunya justru tidak menjawab dan hanya mengatakan bahwa yang penting jangan jadi TKW (Tenaga Kerja Wanita), jangan jadi pembantu. Cukup ibu dan bapaknya yang kerja seperti itu. Ini sebetulnya menandakan bahwa orang tua Yuni tentu juga menginginkan Yuni memiliki masa depan yang lebih baik dari mereka, orang tuanya.


Lalu saat Yuni bertanya kalau bapaknya lebih ingin Yuni bagaimana, ibunya menjawab bapaknya ingin Yuni lanjut kuliah. Biar jadi pegawai. Ibunya juga sempat bertanya, “kalau mau jadi penyanyi harus sekolah musik, Yun?”


Dialog di telepon antara Yuni dengan ibunya ini saat Yuni sedang mencuci baju sebetulnya sesuatu yang menarik. Di satu sisi, keinginan kuliah Yuni didukung oleh bapaknya. Di satu sisi, ibunya juga mempertanyakan soal “menjadi penyanyi” yang berarti ibunya tahu apa kesenangan dan kebisaan Yuni.


Karena Yuni pun mengaku memang ingin kuliah antara jurusan Fisika atau Musik, di mana di dua bidang itulah dia punya nilai yang cukup mumpuni. Dialog ini sebenarnya terjadi dua arah, tidak ada pemaksaan dari pihak ibunya yang melarang betul-betul Yuni untuk melanjutkan kuliah, juga tidak ada singgungan sedikit pun soal menikah saja setelah lulus sekolah.


Ibunya masih membuka kemungkinan lain, kalaupun tidak kuliah, ya bekerja. Namun, hal itu perlahan berubah ketika para pria mulai tiba-tiba melamar Yuni. Karena ada pamali yang katanya kalau menolak lamaran sampai tiga kali akan susah kelak mendapatkan jodoh.


Diskursus yang Tidak Terwujud dalam Dialog

Ada dua adegan di mana Yuni bicara cukup Panjang dengan ibunya melalui telepon. Yang pertama adalah yang sudah dijelaskan di atas, ketika Yuni bingung mau kuliah atau apa. Yang kedua terjadi ketika Yuni tiba-tiba dilamar Iman, saudara Wa Tardi, tetangga depan rumahnya.


Seolah percakapan pertama di telepon itu menguap begitu saja bersama angin, tidak masuk ke dalam telinga ibunya Yuni.


Ibunya cuma bingung kenapa orang yang baru kenal Yuni langsung melamar. Begini dialog mereka.

Ibu Yuni: Lalu gimana? Kamu gak mau nikah?

Yuni: Yuni gak pernah mikirin nikah, Bu. Mikirin pacaran aja gak.

Ibu Yuni: Emangnya rencana kamu apa?


Di sini tampak betul bahwa ibu Yuni tidak pernah benar-benar peduli pada keinginan anaknya yang pernah diutarakan, walau memang tidak terlalu lantang.

Di sini juga Yuni tampak terdiam sejenak, dan hanya menjawab.

Yuni: Ya Yuni juga gak tau, Bu. Yuni masih ingin coba banyak hal. Mau lulus, mau nerusin sekolah lagi kayaknya.

Ibu Yuni: Tapi masih bingung kan mau masuk jurusan apa?


Kebingungan yang sebaiknya bisa dibantu atau diarahkan oleh orang tua, justru membuat remaja seperti Yuni semakin bingung dan tambah cluelessYuni balik bertanya lagi apakah ibu dan bapaknya memang ingin dia menikah. Ibunya cuma menjawab bahwa tidak menyangka anaknya akan dilamar secapat itu.

Ibunya pun memberikan kesempatan Yuni untuk memikirkan sendiri apa yang terbaik untuk Yuni. 

 

Belenggu yang Samar Tetaplah Sebuah Pasungan

Kita tidak melihat sosok pemuka agama yang radikal di film ini. Agama tampil tidak terlalu menonjol. Bahkan dari simbol-simbol yang dihadirkannya. Berbeda misalnya dengan film  Perempuan Berkalung Sorban yang memang bahkan dari judul serta posternya saja membawa atribut keagamaan tertentu.


Di film Yuni kita akan dengan mudahnya melihat bahwa unsur agama sebenarnya tidak sekental atau sedalam itu.


Seperti misalnya dari Yuni dan teman-temannya yang hanya pakai kerudung saat di sekolah atau dari nenek Yuni yang bahkan berkerudung dan juga merokok serta pakai daster lengan pendek.


Tapi, bahkan yang tampak tidak radikal pun bukan berarti tidak membahayakan. Terlihat bagaimana niatan Mang Dodi yang ingin poligami padahal sudah kakek-kakek. Belum lagi bagaimana dia memandang keperawanan sebagai sesuatu yang menambah "value" Yuni sebagai perempuan sampai dia mau menambah "harga" Yuni sebesar dua kali lipat dari mahar yang diberikan (total Rp50 juta) jika di malam pertama Yuni ternyata masih perawan.


Kerumitan yang dirasakan perempuan melalui tubuh, pikiran, dan perasaannya mungkin bisa juga kita temui dalam film seperti Pieces of a Woman (2020) atau Marriage Story (2019), hanya saja, tentu tantangan Yuni sebagai perempuan Indonesia jauh lebih berlapis.


Gempuran itu datang dari norma agama, sosial, adat, kepercayaan, dan lain sebagainya yang membuat kondisi seorang perempuan di Indonesia bisa sangat terepresi. Sedikit diangkat juga tentang bagaimana isu keperawanan mencuat ketika sekolah Yuni hendak mengadakan tes keperawanan, hingga Mang Dodi yang melipatgandakan mahar asalkan Yuni masih perawan. Sedangkan tokoh perempuan-perempuan di film luar negeri saat ini tentu tidak perlu mengalami perendahan harkat dan derajat hanya semata-mata "sudah tidak perawan".


Di film ini kita akan melihat beragam selubung samar itu menjadi tantangan bagi Yuni dan tokoh-tokoh perempuan lainnya di film ini, Tika yang menjadi ibu muda yang tidak dibantu oleh suaminya dalam mengurus anak dan belum pernah merasakan orgasme sejak menikah, Sarah yang dipaksa menikah muda dengan pacarnya oleh masyarakat yang memergoki mereka berduaan, Suci yang mengalami KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) oleh suaminya, juga Asih yang memilih menjadi pribadi dengan gender yang berbeda, tapi hidupnya terasingkan oleh keluarganya. Bahkan Bu Lilis, yang tidak didukung oleh Kepala Sekolah ketika ingin membantu muridnya (terutama perempuan) untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Kita melihat bagaimana Kepala Sekolah di sekolah Yuni menasihati Bu Lilis untuk tidak mengiming-imingi beasiswa kuliah kepada siswanya, terutama perempuan. Yuni, bukan hanya terbatasi oleh tidak adanya dukungan dari keluarga, tapi juga bahkan dari institusi pendidikan tempatnya menimba ilmu.

 

Ketika Yuni Berbicara Melalui Tubuhnya

Foto: imdb.com

Yuni gemar bernyanyi, tapi di sekolahnya kegiatan musik ditiadakan karena alasan suara adalah aurat. Suara di sini menjadi luas cakupannya, yaitu juga sebuah pendapat, gagasan, pikiran. Tentu tampak jelas bagaimana dari awal sampai akhir keinginan Yuni ingin kuliah seolah tak ada yang betul-betul mendengarnya.


Bicara soal bagaimana tubuh perempuan dan pengalaman perempuan yang berbeda dan perlu diangkat sebagai cara perempuan untuk bersuara, dilihat dan didengar, tentu tidak bisa lepas dari apa yang diperjuangkan oleh para feminis postmodern, salah satunya filsuf Helene Cixous.


Unheard dan unseen tidak jauh berbeda, menurut Cixous dalam bukunya, keduanya merupakan istilah untuk mengungkapkan "pembacaan" pada sesuatu yang "tidak terbaca", yang dapat terletak pada kerapuhan, namun itulah yang menjadi sebuah penemuan, invention (Cixous, 1998).


Di film Yuni, elemen-elemen seperti pembalut, celana dalam, dan bra yang ditampilkan secara lugas, turut membangun cerita, membantu “menjernihkan” hal-hal yang tampak “berkabut” sejak awal.


Ketika Yuni perlahan menemukan dirinya, dalam kalimatnya jelas, walau dia tidak tahu di masa depan dia ingin jadi apa, yang jelas tidak ingin suram. Hanya saja keinginan-keinginan itu tidak benar-benar dipahami oleh orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang-orang masih saja terus bertanya, “Yuni rencananya apa?”


Cixous juga menyebutkan dalam bukunya Laugh of Medusa (1976) tentang tubuh perempuan harus didengar, yang ia jabarkan dapat dilakukan dengan menulis, atau seksualitas. Karena tubuhnya itulah yang bisa dijadikan media perjuangannya. Di sini Yuni memang tidak berjuang melalui tulisan, tapi itulah yang dilakukan oleh Kamila Andini selaku sutradara dan penulis naskah film ini. Melalui karyanya inilah cara Kamila Andini juga “bersuara”.


Sementara tubuh Yuni jelas sekali dari beberapa adegan di film ini, mulai dari bagaimana dia menolak lamaran-lamaran, bagaimana dia dengan secara sadar dan sengaja berhubungan seksual dengan teman sekolahnya yang menaruh hati padanya, Yoga (Kevin Ardilova) di sebuah ruangan kosong.


Saat itu Yuni, menghampiri Yoga terlebih dulu, di mana Yoga hanya terdiam, dan Yuni juga yang mengarahkan tangan pria itu ke payudaranya. Ditambah juga adegan saat Yuni masturbasi. Di sini pemikiran Yuni akan kebebasan termanifestasi melalui tubuhnya. dengan menghancurkan sensor, ya Kamila bahkan mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Magdalene.co bahwa tidak ada yang dihilangkan dari naskahnya, dia berhasil mengartikulasikan limpahan makna yang mengalir ke segala arah.


Ketika hidup dalam lingkungan dengan budaya yang cenderung represif, diam tentu bukan menjadi jalan keluar. Yuni sudah mengupayakan banyak hal agar dirinya didengar, tapi orang-orang di sekitarnya masih saja menganggap Yuni sebagai hal yang tidak "terbaca".


Meski berbicara melalui tubuh dan aspek seksualitas, tubuh yang menjadi sarana Yuni untuk berbicara tidak menjadi suatu hal yang vulgar, melainkan puitis; poetic body dalam istilah Cixous), karena tubuh di sini menjadi sebuah penanda (signifier). Di sinilah bahasa menjadi sesuatu hal yang sublim.


Ketika tubuh yang menjadi narasi, menjadi teks yang bicara (speak) bukan lagi hanya terlihat (seen) tapi juga terdengar (heard).


Yuni yang tampak memakai celana dalam dan bra, Yuni yang terlihat mengenakan pembalut, Yuni yang masturbasi, Yuni yang menghampiri Yoga untuk berhubungan seksual, bukanlah adegan-adegan sensual yang semata “kosong” tetapi inilah cara Yuni “berbicara” melalui tubuhnya. Inilah jouissance seperti yang dikatakan oleh Cixous.


Cixous mengaitkan jouissance sebagai kesenangan atau gairah seksual perempuan, yang tergabung dalam aspek mental, fisik, dan spiritual, yang justru menjadi sumber kekuatan kreatif seorang perempuan untuk menemukan sepenuhnya "suara" mereka.


Usai berhubungan badan dengan Yoga, Yuni pun mengutarakan hal-hal yang ingin dia suarakan. Tentang keresahan dia. Bagaimana dia merespon soal pamali ketika hendak menolak lamaran kedua, dengan jelas dia bilang tidak mau dimadu, apalagi dengan kakek-kakek.


Dan bagaimana juga dia mengeluh tentang dirinya yang tidak bisa menceritakan semua itu kepada keluarga dan teman-temannya. Karena akan selalu ditanya balik, “apa cita-citanya”, di saat dia pun juga tidak tahu mau jadi apa, yang dia tahu pasti hanya tidak mau masa depannya suram.


Namun, di balik semua kebingungan Yuni, kita juga akan melihat dan mendengar, bagaimana dia menolak lamaran-lamaran itu dengan tegas. Kepada Iman, dia bilang dia tidak mau menikah dengan Iman. Kepada Mang Dodi, Yuni bilang dirinya sudah tidak perawan agar tidak dinikahi. Kepada Pak Damar, Yuni kabur dari rumahnya di saat acara pernikahan.


Semua keputusan itu diambil Yuni sendirian. Tidak ada bantuan dari keluarganya untuk ikut menolak lamaran tersebut. Menarik melihat bagaimana Yuni yang masih gamang soal masa depannya, tapi punya ketegasan yang dia bangun sendiri soal beragam lamaran yang tidak jelas tersebut.


Tubuh Yuni yang sudah sangat puitis sejak awal, sempurna puitisnya pada bagian ending film, berjalan sendiri di atas pasir. Di atas tanah yang penuh kerikil dan tampak tidak rata, dengan baju pengantin warna ungu serta diguyur hujan di tengah lapang sambil diiringi puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul Hujan Bulan Juni, sungguh mewakili tindakan Yuni saat itu. Di mana dia melangkah tanpa keraguan, dan tanpa perlu berucap apa-apa lagi.


Tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan Juni

Dirahasiakannya rintik rindunya

Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan Juni

dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan Juni

dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu

 

 Daftar Pustaka

Cixous, Helene, dan Derrida Jacques. 2002. Veils. California: Stanford University Press.

Cixous, Helene. 1976. The Laugh of Medusa. Chicago: The University of Chicago Press.



Kamis, 30 Desember 2021

Alvin Theodorus, Berjuang Memberikan Pendidikan Kesehatan Seksual dan Reproduksi yang Komprehensif kepada Anak Muda Melalui Tabu.id

Desember 30, 2021 0


Foto: https://www.instagram.com/tabu.id/


Pergerakan yang dilandasi ketulusan akan bertumbuh besar. Perjalanan yang diawali keinginan memberi manfaat untuk banyak orang, akan punya umur yang panjang. Keyakinan untuk melangkah tanpa keraguan akan membawa pada kemajuan. Itulah tiga hal yang saya pelajari dari seorang Alvin Theodorus, salah satu pendiri dari Tabu.id, sebuah platform atau media edukasi seputar kesehatan seksual dan reproduksi untuk anak muda.


Saya berkesempatan berbincang-bincang cukup panjang dengan Alvin melalui virtual meeting mengenai perjuangannya mendirikan dan membesarkan Tabu.id pada Kamis, 30 Desember 2021.

 

Meski Kalah dalam Perlombaan, Tapi Tetap Semangat Mewujudkan

Tabu.id didirikan oleh empat orang mahasiswa di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, yaitu Alvin Theodorus, Neira Ardaneshwari Budiono, Adelina Kumala, dan Patricia Agatha pada tahun 2018. Keempatnya berinisiatif membentuk Tabu.id untuk diikutsertakan pada sebuah lomba project inovasi kesehatan untuk masyarakat Indonesia yang diadakan di Solo.


Hanya saja Tabu.id tidak berhasil memenangkan kompetisi tersebut, namun mendapatkan feedback yang cukup positif dari para juri. Karena itu, keempatnya yakin untuk merealisasikan project tersebut menjadi kenyataan.


“Pendidikan seksual yang komprehensif masih sangat minim di Indonesia, padahal dampaknya cukup besar. Dari beberapa penelitian yang dilakukan di luar negeri, anak muda yang tidak mendapatkan pendidikan seksual yang komprehensif, tingkat kehamilan yang tidak diinginkan lebih tinggi, selain itu juga lebih rentan mengalami atau melakukan pelecehan dan kekerasan seksual. Karena itu, kami merasa sangat penting untuk membangun Tabu dengan serius,” ujar Alvin.


Melalui artikel ilmiah yang ditulis oleh Annisa Rizkianti dari Centre for Research and Development of Public Health Efforts, National Institute of Health Research and Development (NIHRD), Indonesia bersama rekan-rekan lainnya melakukan sebuah survei mengenai hubungan seksual pada remaja usia sekolah. Studi ini dipublikasikan di Journal of Preventive Medicine & Public Health pada tahun 2020.


Survei tersebut melibatkan 11.110 siswa dari 75 sekolah di Indonesia. Data yang ditemukan adalah 5,3% siswa pernah berhubungan seks. Dan dari jumlah tersebut, sebanyak 72,7% anak laki-laki dan 90,3% anak perempuan melakukan hubungan seks pertama kali sebelum usia 15 tahun. Temuan ini menurut para peneliti menjadi desakan kebutuhan untuk mengembangkan pendidikan kesehatan seksual yang lebih komprehensif serta efektif.


Para peneliti pun berkesimpulan bahwa dalam upaya menunda hubungan seksual dan mencegah infeksi menular seksual, remaja harus diberikan pendidikan kesehatan seksual selama masa pubertas. Hal ini penting agar remaja mendapat informasi yang baik tentang hubungan yang sehat dan bertanggung jawab.

 

Terbatasnya Sumber Daya, Tak Jadi Penghalang untuk Memberi Impact yang Besar

Foto: https://www.instagram.com/tabu.id


Ada banyak keterbatasan yang dialami Alvin dan para pendiri Tabu.id, mulai dari terbatasnya sumber daya manusia, finansial, dan waktu. Meski begitu, mereka tetap bertekad untuk bisa memberi impact yang besar. Karena itulah, platform media sosial Instagram dipakai Tabu.id sebagai media edukasi. “Instagram cukup populer di kalangan anak muda, sehingga bisa menjangkau lebih banyak orang meski dengan keterbatasan yang kami miliki,” jelas Alvin.


Sekitar satu tahun, Tabu.id fokus di Instagram saja, namun tetap konsisten untuk mengelolanya. Kini (per tanggal 30 Desember 2021) akun Instagram Tabu.id sudah memiliki lebih dari 118 ribu followers. Kini Tabu.id juga merambah ke platform lainnya yaitu dalam bentuk podcast di Spotify, serta media sosial lainnya seperti Tiktok dan Twitter.


Meski dikelola oleh para relawan, konten yang dibuat Tabu.id tidak main-main. Tim Tabu.id melakukan riset dalam membuat perencanaan konten, dan menyusunnya ke dalam tema serta topik yang dilengkapi dengan sumber-sumber yang valid dan relevan seperti dari jurnal ilmiah, textbook atau artikel yang dibuat oleh kalangan profesional.


Berawal dari Media Sosial dan Komunitas, Kini Menjadi Yayasan

Foto: https://www.linkedin.com/company/tabu-id/


Alvin melalui Tabu.id merupakan salah satu Penerima Apresiasi Satu Indonesia Awards 2021 Tingkat Provinsi dari DKI Jakarta di bidang Kesehatan. Ajang tersebut merupakan apresiasi yang diberikan oleh Astra kepada anak bangsa yang memberi manfaat bagi masyarakat.


Tim yang berada di naungan Tabu.id kini sudah berjumlah 90 orang, yang terdiri dari para relawan yang punya ketertarikan yang sama dan punya tujuan yang sama.


Tabu.id juga sudah berbentuk sebagai yayasan dan memiliki legalitas sebagai Yayasan Tabu Indonesia Berdaya yang berdiri di awal tahun 2021. Hal ini diperlukan untuk lebih memantapkan langkah Tabu dalam menjaga keberlangsungan dalam menjalankan program-program yang diusungnya.  


Tabu.id memiliki 3 program utama antara lain:

1. Bergerak di bidang pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi di berbagai media sosial.

2. Riset orisinal tentang topik kesehatan seksual dan reproduksi untuk diajukan ke konferensi atau jurnal ilmiah.

3. Pengembangan komunitas dengan melakukan kolaborasi dan kerja sama. Baik itu bersama komunitas atau organisasi lain, serta kerja sama dengan sekolah juga universitas untuk memberikan edukasi seputar kesehatan seksual dan reproduksi.

 


Tantangan Membangun Tabu.id

Foto: https://www.tiktok.com/@tabu.id


Mengelola tim yang terdiri dari 100% relawan yang punya kesibukan utama masing-masing, tentu menjadi tantangan tersendiri dalam mengelola Tabu.id dan menjalankan konsistensi program yang dicanangkan. Tentu dibutuhkan koordinasi yang sangat baik, agar setiap tim tetap berada dalam koridornya dan menjalankan perannya dengan maksimal. Selain itu, ada dua hal lainnya yang menjadi tantangan tersendiri bagi tim Tabu dalam memberikan pemahaman edukasi seksual.


1. Mengolah Bahasa Ilmiah Menjadi Format Informasi yang Menarik untuk Dibaca

Bicara soal seksualitas dan reproduksi dalam jurnal ilmiah tentu penuh istilah ilmiah yang membuat anak muda berjarak untuk membaca apalagi memahaminya. Tabu.id mengolah hal-hal tersebut dalam bentuk meme, video, yang relate dan relevan sehingga informasinya bisa lebih mudah sampai dan diterima. Ini adalah salah satu tantangan yang dihadapi Tabu.id.


2. Mendapat Pertentangan dan Kecaman Ketika Membahas Topik Sensitif

Berkecimpung di pendidikan seksual tentu mau tidak mau akan menyentuh ranah yang cukup sensitif. Tabu.id juga pernah mengalami respon yang cukup keras dan negatif dari netizen ketika kontennya mencoba mengangkat topik yang sifatnya sensitif, seperti misalnya persoalan persetujuan seksual, LGBTIQ (gay, bisexual, transgender, intersex, queer), HIV Aids, aborsi dan aktivitas seksual di luar pernikahan.


Untuk menghindari persepsi atau sentimen negatif, Tabu menyiasatinya dengan memberikan pesan yang memiliki nilai yang dapat dipegang secara universal, terlepas dari keyakinan politik, agama, atau budaya  tertentu, tapi melalui pendekatan yang netral.


Untuk itu Tabu.id membuat community guideline juga agar tercipta suasana yang kondusif dalam berdiskusi, sehingga terwujudnya ruang belajar yang nyaman untuk semua orang.

 

Membedah Masalah Krusial dalam Persoalan Pemahaman Seksualitas di Tengah Masyarakat

Dengan follower yang semakin banyak, jangkauan audiens yang juga semakin besar, Tabu.id pun mendapatkan insight berkaitan tentang masalah krusial seputar kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia, yaitu:


1. Kurangnya pemahaman mengenai tubuh diri sendiri, kurang mengenal dengan baik organ reproduksi yang dimiliki.


2. Kurangnya pemahaman tentang persetujuan. Persetujuan tentu penting dalam relasi apa pun, bukan hanya relasi seksual dan romantik, tapi juga dalam pertemanan dan keluarga. Ketika melakukan sesuatu yang melibatkan orang lain, perlu adanya persetujuan atau izin karena itu berkaitan erat dengan kekerasan fisik, psikis, dan seksual.

 


Apa Saja yang Kurang dari Pendidikan Seksual di Sekolah dan Keluarga?

Bicara soal pendidikan seksual, tentu tidak akan lepas dari pendidikan di institusi sekolah dan dalam keluarga. Alvin pun menyoroti apa saja yang kurang dari pendidikan seksual di Indonesia.


1. Kurangnya iklim komunikasi yang positif dalam keluarga untuk pembahasan aspek seksualitas. “Orangtua dan anak tidak tidak cukup terbuka, karena anak sudah cemas atau takut berhadapan dengan justifikasi atau penghakiman dari orangtuanya. Sementara orangtua juga banyak yang kesulitan tidak tahu bagaimana cara memulai bicara yang nyaman dengan anaknya terkait seksualitas,” papar Alvin.


2. Kurangnya sumber informasi yang terpercaya. Informasi terlalu banyak berseliweran, tapi tidak diimbangi dengan literasi digital yang baik, sehingga sulit memilah informasi mana yang bisa dipercaya dan mana yang tidak.


3. Kurangnya pengintegrasian topik kesehatan seksual dan reproduksi di sekolah. Pendidikan seksual tidak hanya seputar biologis saja yang perlu dibahas, tapi juga aspek sosial dan psikologisnya. “Seharusnya pendidikan seksual masuk ke dalam kurikulum dan wajib diajarkan oleh guru di sekolah,” lanjut Alvin

 
Dampak Minimnya Pendidikan Seksual pada Anak-anak dan Remaja

Foto: https://www.instagram.com/tabu.id

Tim Tabu.id pernah melakukan riset independen mengenai anak sekolah SMP di Jabodetabek dan ditemukan hasil bahwa sebagian besar mereka percaya jika vagina yang dicuci setelah berhubungan seksual bisa mencegah kehamilan, dan sperma akan mati jika perempuan mandi air panas setelah berhubungan seksual. “Ini dampak buruknya jika usia pubertas seperti remaja tidak memiliki pemahaman edukasi seksual yang baik. Mereka percaya konsepsi yang salah, ketika muncul gairah seksual, mereka melampiaskannya tanpa tahu risikonya,” ujar Alvin.


Selain itu, mereka juga akan bingung tentang apa yang terjadi dalam tubuh mereka ketika pubertas. "Contohnya, jika anak perempuan tidak diberikan informasi yang benar tentang menstruasi, dia bisa trauma ketika melihat dari vaginanya keluar darah dan mengira bahwa dia sakit atau terluka. Sementara untuk anak laki-laki, ketika mereka mimpi basah, jika yang ada di benak mereka bahwa itu adalah hal mesum dan tidak baik, maka mereka akan mengecap negatif terhadap aspek seksual diri mereka sendiri yang padahal adalah proses yang alami,” lanjut Alvin.

 


Rencana ke Depan dari Tabu.id


Foto: linkedin.com/company/tabu-id


Kini, Tabu.id memiliki 90 orang tim yang terbagi dalam 5 departemen, yaitu Departemen Program, Departemen Komunikasi, Depertamen Pengadaan Sumber Daya, Departemen Riset dan Pengembangan, Departemen Sumber Daya Manusia.


Dengan timnya tersebut, Tabu.id memiliki rencana ke depannya untuk membuat website, memperbanyak kunjungan ke sekolah dan universitas, membuka chapter Tabu di berbagai daerah terutama yang belum dapat mengakses media sosial dengan baik, juga membangun Pejuang Muda Tabu yang nantinya akan menjadi brand ambassador Tabu. Pejuang Muda Tabu ini akan diberikan serangkaian pelatihan dari para ahli di bidang kesehatan seksual dan reproduksi, aktivasi media sosial, dan social impact.

 

Melihat keseriusan pergerakan Alvin dan tim Tabu.id, dengan segala keterbatasan, tujuan mulia masih bisa menjadi penggerak meski dari segi pemasukan finansial belum terlihat. Terkadang memang Tabu.id juga menerima project dari pihak eksternal yang butuh dibuatkan konten. Ke depannya, selain mengikuti berbagai ajang lomba juga, Tabu.id akan fokus pada fundraising ke donatur yang memang punya concern di topik kesehatan seksual dan repsoduksi dan visi yang sejalan dengan tabu.id.


Jalan yang tidak mudah, sering kali menjadi jalan yang panjang. Karena itu, meski banyak tantangan, Alvin dan tim Tabu.id tidak lantas pantang menyerah. Alvin, yang memilih kuliah di jurusan Psikologi karena ketertarikannya kepada pikiran dan tingkah laku manusia, mengalihkan cita-citanya menjadi psikolog dengan jalan yang ia pilih sekarang, karena agar bisa menolong lebih banyak orang.


“Saya cukup beruntung memiliki akses informasi yang cukup dan keluarga yang memahami pentingnya pendidikan seksual. Karena itu saya ingin bagikan kesempatan yang sama ke lebih banyak orang. Saya percaya, orang yang diberikan informasi mumpuni yang baik, mereka juga akan bisa mengambil keputusan yang baik untuk diri mereka. Saya berharap para anak muda di Indonesia bisa lebih terbuka lagi bicara soal kesehatan seksual dan reproduksi. Tidak perlu malu, cari tahu dan banyaklah bertanya. Karena aspek seskualitas itu aspek integral kita sebagai manusia. Kalau kita mau jadi manusia seutuhnya, kita juga harus mau menerima dan memahami aspek seksual dari diri kita,” tutup Alvin.

 

 

 

 

Selasa, 31 Agustus 2021

Balada Sepasang Kekasih Gila: Ketika Tuhan Menjadi Solusi di Tengah Dehumanisasi

Agustus 31, 2021 1

Ketika kewarasan dan kegilaan melebur, kemanusiaan terkubur, ketuhanan justru menderas muncul. Itu yang tampak jelas dalam film berjudul Balada Sepasang Kekasih Gila yang diangkat dari novel berjudul sama yang ditulis oleh Han Gagas.


Film ini disutradarai oleh Anggy Umbara dan dibintangi oleh Denny Sumargo sebagai Jarot dan Sara Fajira sebagai Lastri. Jarot dan Lastri diceritakan sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang sudah tidak memiliki keluarga, tidak diterima masyarakat, kemudian saling jatuh cinta dan menikah, tapi sayangnya kisah romansa mereka harus berakhir tragis.


 

Ketimpangan Relasi Kuasa yang Membuat ODGJ Selalu Kalah

Tidak banyak film Indonesia yang mengangkat karakter ODGJ apalagi dijadikan sebagai peran utama. Mari kita lihat dari beberapa film yang rilis tidak jauh dari film Balada Sepasang Kekasih Gila yaitu Tak Ada yang Gila di Kota Ini (2019) dan film Selesai (2021).


Film Tak Ada yang Gila di Kota Ini merupakan karya sutradara Wregas Bhanuteja yang diadaptasi dari cerpen Eka Kurniawan. ODGJ dalam film ini terlihat disingkirkan sekaligus diperalat dengan menjadi objek pertunjukan yang memungut bayaran lumayan mahal dari para penontonnya yang mayoritas adalah turis asing.


Sementara di film Selesai, yang disutradari oleh Tompi, isu gangguan jiwa memang tidak menjadi isu utama dalam filmnya, hanya saja tokoh utama diperlihatkan berada di rumah sakit jiwa karena tekanan batin akibat ulah suami yang selalu selingkuh. ODGJ selalu menjadi orang yang kalah, berada di level yang lebih rendah dari orang-orang “normal”.


Untuk melengkapi pengalaman menonton Balada Sepasang Kekasih Gila, saya rasa penonton perlu menonton film dokumenter berjudul Memory of My Face (2019) produksi Elemental Productions.


Dalam film itu, sosok Bambang seorang ODGJ pengidap schizoaffective disorder bercerita tentang pengalamannya bagaimana dia awalnya sakit mental, yaitu ketika putus cinta dari cinta pertamanya, dan bagaimana dia juga memiliki keinginan untuk sembuh serta ingin mencari uang untuk membelikan buku untuk anaknya agar anaknya gemar membaca karena menurut Bambang hal itu penting untuk masa depan anaknya.


Film dokumenter ini menceritakan adanya sebuah upaya, kesadaran dari ODGJ untuk memiliki kehidupan yang normal yang sayangnya itu tidak ditemukan di film Balada Sepasang Kekasih Gila. Memang keduanya memiliki muatan isu yang agak berbeda.


Tapi, bukankah berakar dari kepedulian yang sama? Bahwa ODGJ punya derajat yang sama, bahwa kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan untuk bisa menerima ODGJ di lingkungannya, dan bahwa ODGJ perlu diperlakukan dengan manusiawi seperti layaknya manusia lainnya.  


Selalu ada kenyataan yang sengaja "dihidupkan" dalam sebuah film, demi realitas yang dibutuhkan untuk dibangun, bahkan dalam film dokumenter sekalipun. Sayangnya, kenyataan dalam film Balada Sepasang Kekasih Gila tidak berupaya untuk memberi harapan bahwa ODGJ punya harapan atau punya kesempatan untuk bisa memperbaiki hidupnya. Agar ODGJ tidak melulu ditampilkan sebagai orang yang hanya bisa kalah.


Padahal, sepertinya bisa cukup menarik jika ada sedikit cerita bagaimana Jarot dan Lastri mencoba untuk tidak melulu kalah. Apalagi Jarot yang sudah dinyatakan sembuh dengan jelas. Mungkin akan semakin menarik jika diperlihatkan adanya upaya mereka untuk bisa diterima di masyarakat atau pun upaya dari pihak masyarakat yang mencoba menerima mereka.

 

Sejak awal, sampai film berakhir, diskursus antar keduanya tidak pernah ada, karena yang tampil hanya selalu benturan dan pertentangan antara Jarot dan Lastri yang ODGJ dengan masyarakat yang “normal”. Bukankah akan lebih baik dan juga menarik jika diperlihatkan adanya tujuan kuat dari karakter serta perkembangan karakter, begitu pun perkembangan dunia di sekitarnya yang terus menerus melawan dan menolak mereka. Akan tetapi, itu tidak tampak dalam film ini.

 

Hanya ada satu adegan di mana segelintir orang mau mengakui mereka, yaitu ketika mereka hendak menikah di hadapan penghulu. Mereka dinikahkan sebagaimana mestinya. Mungkin, apakah memang hanya orang beragama yang punya nurani untuk berbuat kebaikan terhadap mereka? Rasanya, film ini masih menyimpan kenaifan semacam itu.

 

Padahal, sejak awal, diperlihatkan bagaimana Jarot kelaparan di jalan, tapi tidak ada yang mau memberikannya makan dan sampai akhir tidak jelas bagaimana Jarot keluar dari masalah kelaparannya itu. Seolah ketika dia menikah dengan Lastri, dia tidak lagi pusing soal rasa lapar lagi.

 

Tapi ya balik lagi misinya mungkin memang ingin memperlihatkan bahwa mereka yang sudah terpinggir akan terus terusir. Bahkan ketika mereka tinggal di kuburan di mana itu adalah tempatnya orang mati, masih saja mereka harus tergusur.

 

Jadi, tidak perlu heran jika kedua orang yang jelas-jelas kalah di awal cerita terlihat hanya akan terus menerus kalah sampai akhir cerita. Satu-satunya yang berhasil mereka menangkan adalah mereka berhasil bertemu lagi setelah sempat terpisah, mereka bisa bersama bahkan menikah. Mungkin kemenangan lainnya adalah kedua pasangan ini bahagia di alam yang lain karena tampak gambar Jarot dan Lastri yang bergandengan tangan dengan bahagia, di penutup film.

 

Kebahagiaan yang didapat di alam lain ini diperkuat dengan suara narator (yang sejak awal dikisahkan sebagai anaknya yang ternyata adalah anak yang tidak sempat terlahirkan ke dunia) ketika adegan Jarot dan Lastri yang (sepertinya) meninggal di kuburan yang menjadi tempat tinggal mereka itu, mengatakan, “kami pun sadar bahwa hal ini adalah yang terbaik untuk kita semua demi mendapatkan kebahagian sejati, nanti.” Bagian ini juga semakin menekankan aspek spiritualitas dan ketuhanan yang memang ditampilkan dari kedua karakter dalam film ini.

 


Kentalnya Spiritualitas dan Konsep Ketuhanan di Tengah Kebanalan

Sulit sekali rasanya membayangkan Jarot dan Lastri adalah dua manusia tak berakar yang lepas dari segala bentuk ikatan masa lalu dan latar belakangnya. Karena berbagai atribut identitas masih begitu melekat dari berbagai potongan dialog dan gestur karakter yang menurut saya amat disayangkan tidak ada penjelasan tentang bagasi seperti apa yang mereka bawa. Mungkin tidak penting bagi pembuat film karena pastinya akan sangat memperpanjang durasi.

 

Lastri mengaku dirinya beragama Kristen dan menyimpan Alkitab, sementara Jarot ketika ingin menolong Lastri dari orang-orang yang memaksanya kembali ke tempat pelacuran mengatakan, “Menyelamatkan satu manusia itu sama halnya dengan menyelamatkan seribu umat manusia, itu kata bapakku”. Kalimat ini merupakan bagian dari tafsir Al Quran Surat Al-Ma’idah Ayat 32. Jarot juga memilih menikahi Lastri karena dia takut berdosa kalau zina.

 

Konsep ketuhanan semakin kental terasa ketika suara narator yang sejak awal sampai akhir terdengar seperti ceramah. Narator mengucapkan kata-kata yang kurang lebih berbunyi “ketika kita mengenal diri kita berarti kita mengenal Tuhan kita”, ketika Jarot kelaparan menyusuri gang-gang sempit dan diusir pemilik warung yang bahkan lebih memilih memberi makan kucing dibanding dirinya. Jarot terus berjalan sampai dia di hutan berdialog dengan “Pelayan Tuhan” dan di sawah  merasa bisa melihat Tuhan.

 

Berbagai unsur ini semakin memperlihatkan bahwa di tengah dehumanisasi yang menimpa Jarot dan Lastri, ketuhanan masih menjadi sandaran yang diandalkan. Entah mengapa solusi dari kemanusiaan yang biadab masih dimuarakan pada persoalan ketuhanan. Seolah dengan bersandar pada pengalaman ketuhanan maka permasalahan dehumanisasi yang dialami ODGJ dapat selesai.

 


Masih Menyimpan Stigma

Sekalipun nilai kemanusiaan disorot begitu tajam, sayangnya, film ini masih menyimpan stigma negatif ODGJ. Padahal, film sebagai produk budaya menjadi tidak hanya menjadi perekam jejak peradaban sebuah bangsa baik secara gamblang maupun metaforik yang tidak selalu melulu ditarik ke realitas karena film bisa mencipta realitasnya sendiri yang bisa menggoyahkan kemapanan pemikiran sehingga ada tatanan baru yang bisa terbentuk.


Film ini belum menjadi film yang memiliki muatan perlawanan besar terhadap stigma. Sejak awal penonton akan mendengar Jarot yang teriak-teriak di rumah sakit jiwa karena dikurung dalam ruang isolasi yang sempit atau Lastri yang ngamuk ketika diganggu oleh anak-anak kecil. Memang aksi mereka ini merupakan sebuah reaksi dari pengalaman tidak menyenangkan yang mereka alami, tapi hal ini yang membuat Lastri diusir dari lingkungannya karena dianggap meresahkan warga sekitar.


Kemudian Lastri juga diperlihatkan membunuh para pemerkosanya. Sebuah tindakan yang memang sangat beralasan kuat, namun tetap saja menempatkan sosok ODGJ sebagai sosok pembunuh. Apalagi ketika membunuh, Lastri juga diperlihatkan sambil tertawa-tawa seolah begitu menikmatinya. Jarot pun diceritakan juga pernah membunuh orang yang jahat padanya, walau tidak dijelaskan terlalu rinci perbuatan jahat apa yang dilakukan orang tersebut sampai dia membunuhnya.


Stigma bahwa ODGJ menjadi rentan berbuat jahat atau tindakan kriminal masih melekat. Sepertinya permasalahan ini bukan hanya menjadi tantangan di film Indonesia, tapi juga di luar negeri. Dr. Stacy L. Smith, seorang Founder dan Director di Media, Diversity, and Social Change Initiative di Annenberg School for Communication & Journalism, University of Southern California, pernah mengungkap mengenai kecenderungan stigma ODGJ dalam film melalui penelitiannya yang berjudul Mental Health Conditions in FIlm & TV: Potrayals that Dehumanize and Trivialize Characters pada bulan Mei 2019 yang dapat dilihat di Annenberg.usc.edu


Dalam penelitian tersebut, Smith mengungkapkan bahwa kondisi kesehatan mental sangat jarang ditampilkan di film dan acara tv popular. Dari 4.598 karakter dalam 100 film terlaris yang tayang di tahun 2016, hanya sekitar 1,7% atau 76 karakter yang menggambarkan kondisi kesehatan mental. Bahkan ketika ditampilkan pun masih membawa stigma negatif.


Dalam tulisannya tersebut Smith lebih jauh mengungkap bahwa sekitar 47% karakter ODGJ di film selalu diremehkan dan dihina atau menjadi bahan ejekan berbalut humor. Sebagian besarnya  juga ditampilkan sebagai pelaku kekerasan. Sekitar 46% karakter ODGJ di film tampil agresi dan "berbahaya" bagi masyarakat yang diperkuat dalam penggambaran di film.


Melalui penelitiannya tersebut, Smith berharap bahwa pembuat konten dalam hal ini film dan televisi dapat berkolaborasi dengan para ahli untuk menggambarkan kondisi kesehatan mental dan pengalaman terkait dengan menghadirkan cerita yang tidak memberikan stigma dengan cara menjadikan cerita dan karakter bernuansa kompleks yang menggambarkan tantangan, kemenangan, kekuatan mereka dalam memperjuangkan kesehatan mental serta penyembuhan juga pencarian dukungan. Sehingga cerita dapat memperluas kesadaran kolektif penonton dan masyarakat.


Jika bercermin di Indonesia, jumlah film yang menampilkan ODGJ tentu lebih sedikit lagi, ditambah belum ada yang cukup siginifikan mengangkat jenis-jenis kondisi mental tertentu. Sehingga ODGJ yang digambarkan masih saja sama dan seragam, yaitu berantakan, kotor, sering meracau, mengacau dan semacamnya. Padahal kondisi mental atau gangguan jiwa ada banyak jenisnya. ODGJ dalam film masih rentan mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari sekitarnya.


Semoga dengan memperlihatkan betapa hinanya perlakukan manusia "normal" pada ODGJ di film ini mampu menyadarkan penonton untuk memperlakukan ODGJ dengan lebih baik dalam dunia nyata. Karena tampaknya mengangkat cerita tentang perlakuan manusiawi kepada ODGJ dalam sinema Indonesia masih butuh upaya dan perjalanan yang cukup panjang.