Posthumanisme dan Saintifik Animisme di Film Budi Pekerti: Menyoroti Tuhan Artifisial dalam Kehidupan Manusia sebagai Digital Being
Foto: Imdb.com
Di tengah timbul tenggelamnya eksistensi manusia di dunia digital, di mana menjadi yang dipuja dan dihina bisa silih berganti dalam sekelebat, lantas apa yang tersisa dari kemanusiaan? Hilangnya subjek dalam kebisingan dunia digital, masihkan menawarkan manusia sebagai pemegang kendali?
Bu Prani (Sha Ine Febriyanti) mendapatkan hujatan usai video ia marah-marahnya di tempat penjual putu menjadi viral. Ia yang berprofesi sebagai guru, dianggap tak elok melontarkan kata-kata yang terdengar sebagai “asu” (anjing), walau yang sebetulnya ia ucap adalah “ah, suwi” (ah, lama) dalam bahasa Jawa. Kemarahan Bu Prani dipicu karena seseorang menyerobot antrean putunya. Akibat viralnya video tersebut, Bu Prani mendapatkan kemalangan beruntun hingga ia kehilangan pekerjaannya.
Jika menonton filmnya, mungkin kita akan berpikir bahwa isu yang diangkat film Budi Pekerti sebatas persoalan moral yang sudah semakin tipis di tengah masyarakat yang menormalisasikan penyelewengan. Namun, dengan pembacaan lebih lanjut kita akan menemukan hal berkaitan yang lebih jauh dari itu, bagaimana teknologi dan dunia digital membuat kita mempertanyakan ulang, apa yang tersisa dari kemanusiaan?
Film Budi Pekerti yang ditulis dan disutradarai oleh Wregas Bhanuteja ini, alih-alih menjadi pelajaran penuh muatan pesan moral yang menggurui orang untuk berbudi pekerti yang baik, sesungguhnya juga mempertanyakan konsep kehendak bebas atau free will yang menjadi bagian dari hakikat manusia.
Posthumanisme, Mempertanyakan Ulang Konsep Manusia sebagai Subjek
Sepanjang film kita akan disuguhkan tentang bagaimana Bu Prani tampak tidak punya pilihan (selain meminta maaf dan klarifikasi) untuk bisa membela dirinya di tengah gempuran tuduhan yang dilayangkan padanya terkait video viral dirinya. Isu pun bergulir bak bola liar, yang awalnya Bu Prani dibilang misuh, dituduh menularkan covid ke Mbok Rahayu karena setelah insiden viral videonya Mbok Rahayu tidak berjualan, hingga label Bu Prani begitu kejam karena memberikan “refleksi” pada Gora (Omara N. Esteghlal) untuk menggali kuburan.
Penonton melihat bagaimana Bu Prani tidak punya kuasa dan kehilangan dirinya sebagai subjek, terutama subjek yang memiliki kehendak bebas, terutama lagi – di dunia digital. Fenomena yang dialami Bu Prani ini sejalan dengan konsep posthumanisme. Namun, untuk sampai ke sana, ketika pembuka tulisan ini mempertanyakan manusia sebagai subjek dan seperti apa kemanusiaan itu kini, kita terlebih dulu berangkat dari konsep humanisme.
Paham humanisme dimulai sekitar pada masa Renaisans di abad ke-14 sebagai reaksi atas abad pertengahan dan dominasi gereja, di mana saat itu dogma agama begitu kental mengontrol kehidupan manusia. Karena itulah, seperti yang dijelaskan dalam buku yang ditulis Corliss Lamont, The Philosophy of Humanism, humanisme menitikberatkan pandangan bahwa manusia bisa menggunakan kecerdasan secara bebas tanpa bergantung pada hal yang supernatural.
Secara historis, pandangan ini pun berkembang ke zaman pencerahan, di mana aliran rasionalisme dimulai. Pada aliran humanisme, manusia mulai ditempatkan di pusat. Pada aliran rasionalisme, kebebasan berpikir yang digagas di humanisme lebih dikembangkan lagi dengan fokus pada logika dan akal sebagai sumber pengetahuan, – menjauhi teologi.
Lalu, belakangan ini, lahirlah posthumanisme, yang berbeda dari humanisme, rasionalisme, hingga antihumanisme. Jika pandangan humanisme berfokus pada manusia sebagai pusat dari segala sesuatu, antihumanisme merupakan pandangan yang menolak humanisme terutama tentang subjektivitas dan otonomi individu.
Sementara posthumanisme, seperti yang dijelaskan Rosi Braidotti, dalam bukunya The Posthuman (2013), merupakan pemikiran yang menelusuri kerangka diskursif yang berbeda dari humanisme dan anti humanisme, dengan lebih melihat ke arah alternatif baru untuk mengonseptualisasikan subjek manusia.
Posthumanisme memperluas konsep humanisme terutama dalam entitas non-manusia, di mana manusia dan teknologi dapat saling terintegrasi dan mengeksplorasi potensi manusia untuk berevolusi melampaui batasan biologis dan kognitif.
Sementara itu, Cary Wolfe, dalam bukunya What is Posthumanism? (2010) memaparkan bahwa posthumanisme biasanya diawali dengan desentralisasi manusia dalam kaitannya dengan ekologi dan teknologi. Menarik melihat bagaimana posthumanisme dapat menjadi perluasan integrasi teknologi dalam manusia sekaligus menjadikan manusia tidak lagi menjadi sentralnya.
Bicara soal teknologi dalam pandangan posthuman, bukan semata tentang robot, cyborg, kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang dicemaskan akan menggantikan manusia. Tapi posthumanisme juga mencakup gagasan tentang manusia yang "hidup" dalam lanskap digital, mencakup evolusi dalam cara kita berinteraksi, berkomunikasi, dan membentuk masyarakat, yang dipengaruhi oleh kecanggihan teknologi.
Konsep posthumanisme juga memicu pertanyaan tentang pendefinisian ulang identitas manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Isu inilah yang juga kita temukan dalam film Budi Pekerti. bagaimana tokoh-tokoh dalam film ini tampak tarik menarik antara berupaya melawan, tapi juga ikut melebur dalam membangun serta membentuk identitas dalam hidup di dunia nyata dan maya serta bagaimana teknologi berkontribusi dalam pergeseran nilai yang dianut.
Kisah Bu Prani melahirkan sebuah pertanyaan besar, masihkah Bu Prani memiliki kuasa untuk mengendalikan arah hidupnya di tengah gempuran masyarakat internet dan dunia digital yang memiliki tatanannya tersendiri?
Gestur “I'm Watching You” sebagai Bentuk Peringatan
Kita melihat bagaimana gestur membentuk dua jari yang diarahkan dari mata Bu Prani ke muridnya menjadi ciri khas tokoh ini. Gestur yang ditampilkan biasa digunakan untuk merepresentasikan “I’m watching you” yang bisa menjadi tanda sebuah peringatan bahwa orang tersebut diawasi agar tidak membuat masalah.
Nyatanya, bukan sekadar Bu Prani yang menjadi “pengawas” murid-muridnya, melainkan dirinya juga “diawasi” oleh banyak mata di luar sana, terutama ketika videonya viral. Gestur itu pun mencerminkan perilaku warga internet atau netizen di film ini.
Konsep diawasi ini semakin mempertegas pergeseran subjek, terutama di era digital. Setiap manusia, dengan kebebasannya, nyatanya hanya menjadi sebatas objek juga bagi manusia lainnya dan objektifikasi itu pun kian terfasilitasi dengan adanya teknologi. Kita dengan jelas melihat bagaimana Bu Prani menjadi objek yang tidak berdaya ketika narasi yang digulirkan dalam video tersebut adalah dirinya yang yang seorang guru malah misuh-misuh mengumpat kasar kepada orang tua di tempat umum.
Ring Light dan Kamera Ponsel: Pemegang Kuasa di antara Pengawas serta Pengintai
Foto: YouTube.com/Rekata Studio
Gestur i’m watching you yang dijelaskan sebelumnya dibentuk dari dua jari Bu Prani yang diarahkan ke muridnya itu, juga direpresentasikan melalui ring light dan kamera ponsel yang banyak muncul di film ini.
Sepertinya Wregas memang cukup tertarik dengan elemen cahaya. Dalam film sebelumnya yakni Penyalin Cahaya, Wregas menghadirkan mesin fotokopi. Di film Budi Pekerti, Wregas kembali bermain dengan cahaya melalui ring light.
Dan sama halnya dengan mesin fotokopi di film Penyalin Cahaya, ring light di film Budi Pekerti juga punya peranan penting seolah seperti menjadi salah satu “tokoh” dalam cerita. Sepertinya Wregas memang punya kesenangan menghadirkan benda mati, yang dengan pendekatan simbolis, meski bukan sebagai entitas hidup, tetap memainkan peran penting dalam narasi.
Ring light merupakan alat pencahayaan berbentuk lingkaran yang biasa digunakan dalam fotografi dan videografi. Selain membuat tampilan menjadi lebih terang, ring light juga bisa membuat cahaya lebih merata dan menonjolkan detail, dalam subjek atau objek yang difoto atau direkam. Karena itulah, fungsi utama ring light adalah menciptakan sorotan.
Sorotan cahaya ini tidak hanya satu warna. Ada adegan di mana Bu Prani yang telah melakukan klarifikasi ditemani anaknya Muklas, lalu memainkan tombol ring light hingga tampak warna cahaya yang berganti-ganti. Pada adegan ini, penonton seperti diajak masuk menyelami layer-layer warna emosi di dalam diri Bu Prani.
Kita ketahui, video viral Bu Prani saat emosi dan direkam di lapak putu Mbok Rahayu, ia dalam keadaan sadar dan tahu bahwa ia direkam. Ia tidak diambil gambarnya secara diam-diam oleh orang di pasar itu. Sebagai seorang guru, yang juga punya anak influencer, dan pastinya paham betul bagaimana sebuah video bisa di-framing sedemikian rupa, konsekuensi yang ia terima bukankah sebetulnya cukup terbayangkan.
Alih-alih menahan diri, demi memberantas penyerobotan antrean, Bu Prani membiarkan emosinya kelepasan. Karena meski sebutannya ah, suwi, dan bukan asu pun, Bu Prani memang jelas sedang marah-marah.
Memang ini pun menjadi masuk akal, karena marahnya Bu Prani terasa bukan hanya pada orang yang menyelak antrean itu, tapi sudah terpicu setelah telepon dari teman atau saudaranya, yang memperingati dirinya untuk tegas kepada suaminya. Orang ditelepon itu menasihati Bu Prani jika nanti naik jabatan jadi Wakasek Kesiswaan dan naik gaji, jangan sampai uangnya dipakai untuk bisnis tidak jelas suaminya lagi.
Pada adegan itu, orang yang menelepon Bu Prani bicara agak tidak mengenakan dengan mengatakan bahwa Bu Prani bisa tegas ke murid tapi nggak bisa tegas ke suami sendiri. Tampak setelah panggilan telepon selesai dan Bu Prani menghela napas panjang, emosinya mulai memuncak perlahan, lalu semakin menjadi ketika melihat orang menyerobot antrean.
Kemarahan itu pun sebenarnya terjalin sejak lebih awal lagi. Saat anak-anaknya tidak ada yang mau dimintai tolong untuk membelikan putu. Ternyata sampai di sana harus antre panjang, bicara dengan orang di telepon malah bikin tambah emosi, dan puncaknya, antrean Bu Prani diselak. Jadi, bisa juga dibilang Bu Prani sedang marah bukan hanya kepada pria penyerobot antrean, tapi lebih dari itu, – ia marah pada hidupnya sendiri.
Kehadiran cahaya di film ini cukup banyak menentukan suasana cerita. Ada lampu merah ketika Bu Prani di kamarnya bersama suami, ada cahaya kebiruan saat Muklas dimarahi warga karena menyiram Bu Prani, ada cahaya kuning di ruang tengah rumah Bu Prani.
Belum lagi pergantian cahaya merah, biru, hijau di ring light yang menyorot Bu Prani usai klarifikasi, begitu menarik. Karena, ternyata Wregas menggunakan ring light berukuran 1,5 meter untuk menciptakan efek pencahayaan ini, seperti diketahui dari kanal YouTube Rekata Studio, yang memproduksi film ini. Menarik melihat adegan di mana Bu Prani mengganti-ganti warna cahaya yang menimpa wajahnya, menyiratkan dirinya yang punya beragam warna emosi. Menjadi semakin menarik bahwa warna-warna Bu Prani dalam adegan itu menyiratkan bagaimana emosinya yang begitu beragam, dipantik dan diterpa oleh hal-hal lain di luar dirinya hingga terserap dalam dirinya dan dipancarkan lagi keluar olehnya.
Blain Brown, dalam bukunya Cinematography, Theory & Practice: Imagemaking for Cinematographer & Directors (2016) mengatakan, “tanpa cahaya, gambar dalam film akan kehilangan keajaibannya.” Pencahayaan dapat menciptakan kontras yang kuat, bukan hanya menggambarkan karakter dengan jelas tapi juga menonjolkan figurnya.
Lebih lanjut Brown menjelaskan di bukunya itu, dalam visual storytelling, elemen cahaya dan warna memiliki peranan kuat karena kemampuannya untuk menjangkau emosi penonton, kedua elemen tersebut dapat memengaruhi penonton di level tertentu, sementara otak sadar mereka menafsirkan cerita pada tingkat kesadaran yang berbeda.
Dua hal ini juga yang menjadi kekuatan dalam film Budi Pekerti. Wregas dengan apik mengombinasikan cahaya dan warna dalam filmnya. Ring light yang begitu banyak hadir di film ini, sebagai sumber cahaya, punya kuasa menentukan “warna” subjek atau objek yang disinarinya.
Ring light hadir sebagai penyorot, pemberi spotlight yang juga mengintai kemana pun, ini berkaitan dengan gestur I’m Watching You yang dijelaskan sebelumnya. Sorotan ini nyatanya tidak selalu diharapkan, karena tentu tidak semua orang senang atau nyaman menjadi sorotan, menjadi pusat perhatian.
Ring light sebagai lampu sorot biasanya memiliki pencahayaan yang dominan dan minim adanya cahaya dari sumber lain, serta dirancang untuk memancarkan cahaya dengan spektrum tertentu. Karena itu, jika ditilik dari sifat refleksi cahaya, ketika objek memantulkan cahaya yang diterima dari sumber seperti ring light dengan warna tertentu, objek akan memantulkan warna cahaya tersebut dan tampak berwarna serupa dengan warna cahaya yang dipancarkan.
Sementara itu, kamera ponsel yang mengambil gambar, dalam bentuk foto dan video dapat dimanipulasi sedemikian rupa untuk tujuan tertentu dengan tambahan-tambahan narasi yang meyakinkan.
Jika ring light sebagai sumber cahaya, maka kamera ponsel bekerja menghasilkan gambar juga dengan bantuan elemen cahaya. Tanpa cahaya, kamera tidak akan bisa menangkap gambar dengan baik.
Karena itulah ring light sebagai simbol penyorot juga sepaket dan bekerja sama dengan kamera ponsel, seolah menjadi simbol “pengawas” atau “pengintai” yang tidak sekadar memberi sorotan tapi juga memiliki kuasa untuk menentukan sudut pandang.
Tatanan masyarakat digital yang mengawasi dan mengintai Bu Prani ini diwakilkan oleh ring light sebagai pemberi spotlight yang menentukan “warna” Bu Prani, serta kamera ponsel yang melalui lensanya, seperti menjadi perpanjangan “mata” netizen.
Kamera ponsel bukan hanya dengan sigap terangkat saat warga pasar merekam aksi misuh Bu Prani di lapak putu Mbok Rahayu, tapi juga dalam berbagai adegan, seperti ketika Uli, mantan murid Bu Prani yang mengenggam ponsel dan mengarahkan kamera ke Bu Prani saat ia bilang Bu Prani masuk ke rumahnya tanpa izin, dan orang-orang di Gaung Tinta yang langsung mengarahkan kamera ponsel saat Tita (Prilly Latuconsina) hendak melempar gelas.
Namun, kombinasi ring light dan kamera ponsel yang dikaitkan dengan gestur i’m watching you itu, tidak selalu tampak sebagai pengintai atau pengawas yang mengerikan. Nyatanya, kamera ponsel ini hadir beberapa kali juga dalam adegan Muklas (Angga Yunanda) yang mempromosikan barang-barang yang dia endorse. Tampak Muklas begitu menikmati hal tersebut, menjadi seseorang yang ditonton, menjadi “sesuatu yang diawasi” – dengan senang hati.
Mencari “Hope” di tengah Riuhnya “Hype”
Media sosial telah menjadi sebuah alternatif harapan untuk mewujudkan impian dan menjawab hasrat-hasrat terpendam seseorang. Kita tentu sudah tidak asing dengan profesi influencer, selebgram, Youtuber, Tiktoker, streamer, dan lainnya.
Film Budi Pekerti turut menghadirkan profesi tersebut melalui tokoh Muklas yang punya nama akun Muklas Animalia di media sosial. Ia merupakan influencer media sosial dengan jumlah pengikut yang disebutkan yaitu 100 ribu. Tampak ia juga sering membuat video endorse dari berbagai brand di film ini.
Meski viralnya Bu Prani menjadi contoh kemalangan karena jejak digital, Muklas sejak awal justru digambarkan mendulang keuntungan dengan eksis di dunia maya.
Apa yang trending, viral, atau yang bisa dikatakan sedang “hype”, meski dapat mendatangkan kesialan, seperti yang dialami Bu Prani, juga menawarkan harapan.
Bukan hanya berguna mencari pundi-pundi uang, tapi juga untuk menemukan orang hilang. Kita tentu tahu, sejak masanya Twitter do your magic, (sekarang X), ada banyak orang yang terbantu ketika meminta pertolongan di sana, termasuk mencari orang hilang.
Ini juga yang diusulkan oleh Muklas ketika ayah mereka, Didit (Dwi Sasono) tidak ada di rumah dan tidak pulang-pulang. Ia memohon kepada ibunya untuk membuat dan mengunggah video klarifikasi, meminta maaf pada netizen dan orang yang dituduhnya menyerobot guna menarik simpati lalu meminta bantuan netizen untuk mencari ayahnya.
Era digital tentu menawarkan kehidupan dan kebiasaan baru. Kita pastinya sudah sangat terbiasa dengan rapat secara online, belanja online, komunikasi online, dan lain sebagainya. Bukan hanya belajar, bekerja, dan belanja, dunia digital menawarkan lebih dari sekadar kebiasaan baru, tapi juga harapan, dan lebih dari itu – kehidupan.
Hal ini sesuai seperti yang dinyatakan Sherry Turkle dalam bukunya yang berjudul The Second Self: Computers and The Human Spirit (2005), bahwa hubungan manusia dengan teknologi (dalam bukunya ia sebut sebagai komputer) dapat memengaruhi konsepsi manusia terhadap diri mereka, pekerjaan mereka dan hubungan mereka dengan orang lain, juga dengan cara mereka berpikir tentang proses-proses sosial yang menjadi dasar ritual baru dan bentuk budaya baru.
Lebih dari sekadar kebiasaan baru, dalam artikel Sherry Turkle yang berjudul “The Tethered Self: Technology Reinvents Intimacy and Solitude” yang dimuat di jurnal Continuing Higher Education Review tahun 2011, ia menyatakan bahwa kita bisa menciptakan kembali (re-create) diri kita untuk membuat persona online di dunia virtual, yang memberikan kita tubuh yang baru.
Istilah “tubuh yang baru” atau "new bodies" merujuk pada cara kerja teknologi, khususnya yang berkaitan dengan komunikasi seperti ponsel, komputer, dan media sosial, telah mengubah cara kita memandang dan mengalami tubuh kita sendiri serta tubuh orang lain.
Tubuh baru inilah yang membuat konsepsi tertentu tentang manusia dapat berganti. Masih sejalan dengan pandangan posthuman yang telah dijelaskan di awal, “tubuh baru” yang membentuk kita sebagai manusia dalam konsep dan era posthumanisme tidaklah menjadi akhir dari kemanusiaan. Disebutkan dalam buku How We Became Posthuman: Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics (1999) yang ditulis N. Katherine Hayles, posthumanisme lebih kepada menandakan akhir dari konsepsi tertentu tentang manusia, – konsepsi yang berkaitan dengan otonomi dan pilihan.
Otonomi dan pilihan inilah yang memang berakhir dalam kasus Bu Prani di film Budi Pekerti. Bu Prani menjelma “tubuh baru” yang tercipta dari sederet rentetan angka dalam bentuk data-data digital, yang dibentuk dan direkayasa sesuka hati oleh masyarakat internet.
Kita melihat bahwa Bu Prani yang saat pertama kali tersandung keviralan itu, mendapat dukungan dari mantan muridnya, termasuk Uli yang bekerja di Koalisi Akar Pikir. Namun, dukungan itu berbalik, ketika Uli tahu bahwa Bu Prani pernah memberikan “refleksi” pada Gora untuk menggali kuburan. Menarik melihat Bu Prani seolah terombang-ambing dalam gelombang naik turun antara hujatan dan cacian yang silih berganti dan cepat sekali berubah.
Suara Netizen, Suara AI, dan Suara Hati
Suara netizen diperlihatkan melalui komentar-komentar di postingan video viral Bu Prani, netizen yang membuat video parodinya, hingga media-media yang mengangkatnya menjadi berita. Hal ini bahkan memengaruhi orang di sekitar Bu Prani, mulai dari Uli mantan muridnya yang berbalik haluan dari mendukung menjadi tidak peduli, hingga guru-guru di sekolah Bu Prani mengajar, yang dengan kondisinya itu, membuat Bu Prani sampai sulit untuk naik jabatan, karena dianggap tidak bisa mengontrol emosinya dan membuat kegaduhan di masyarakat.
Suara AI (Artificial Intelligence) diperdengarkan melalui ketikan Bu Prani yang disuarakan oleh AI di awal film dimulai, “bodoh, tolol, pethuk, ubur-ubur”. Suara ini direkam dan Bu Prani yang meminta muridnya untuk mengucapkan kata tersebut berulang-ulang kepada tanaman sebagai bahan refleksi. Hasilnya, tanaman yang berulang kali dikatakan “bodoh, tolol, petuk, ubur-ubur”, nyatanya sama saja pertumbuhannya dengan tanaman yang tidak terpapar kata-kata tersebut.
Jika tanaman tampak tidak terpengaruh dengan kata-kata buruk, lain halnya dengan manusia. Hasil rekaman itu justru juga didengarkan sendiri secara berulang-ulang oleh Bu Prani pada sebuah adegan sebelum tidur, semacam sebagai bentuk “refleksi” pada dirinya sendiri. Karena saat itu ia merasa terhimpit dengan masalahnya yang bertubi-tubi dan tak kunjung usai. Tampak pergolakan emosi dari ekspresi wajah Bu Prani saat mendengarkan kata “bodoh, tolol, pethuk, ubur-ubur” dari suara AI.
Bentuk refleksi diri yang dilakukan Bu Prani ini juga berkaitan dengan kata-kata Muklas perihal pentingnya mendengarkan suara jantung sendiri agar mendapatkan ketenangan. Untuk mendengarnya diawali dengan menutup telinga menggunakan ear plug untuk menghindari suara bising dari sekitar.
Bu Prani pun melakukan hal ini beberapa kali, termasuk salah satunya pada adegan di akhir film ketika ia dan Gora di kolam sekolahnya. Dalam diamnya, tanpa sedikit pun kata yang diucapkan, para penonton dapat ikut bisa merasakan yang dirasakan Bu Prani melalui ekspresi yang ditunjukkannya.
Saintifik Animisme, “Penyembahan” pada Tuhan Artifisial
Ring light dan kamera ponsel yang memegang kuasa penuh lalu membangun kolaborasi antara penyorot dan perpanjangan mata netizen yang mewujud pengawas serta pengintai – juga penghakiman, ditambah konsep pencarian harapan (hope) di tengah gemuruh hype, pada akhirnya film Budi Pekerti menunjukan konsep “tuhan-tuhan baru” yang bersifat artifisial.
Erik Davis, dalam bukunya Techgnosis: Myth, Magic, Mysticism in the Age of Information (1998) menyoroti bagaimana sibernetika melalui komputer mensimulasi proses evolusi manusia hingga replikasi yang pada akhirnya berkaitan juga dengan saintifik anismisme, karena kemampuan komputer bertindak sebagai "dewa" pencipta.
Ketika posthumanisme menantang gagasan tradisional tentang apa artinya menjadi manusia, konteks "tuhan-tuhan baru" melalui kekuatan teknologi mendominasi eksistensi manusia secara meluas. Seperti halnya internet sebagai sumber informasi yang mirip dengan kitab suci agama atau ponsel yang begitu melekat tak terpisahkan dengan keseharian aktivitas manusia.
Di film Budi Pekerti, "tuhan-tuhan baru" itu tampil diwakilkan melalui ring light, kamera ponsel, suara berisik netizen, yang mengarahkan hidup para tokohnya tanpa mereka sadari. Bahkan, adegan Muklas saat berdialog bahwa mereka perlu pertolongan netizen untuk mencari ayahnya yang hilang digambarkan dirinya sambil menatap ke arah genting rumah yang bolong dengan adanya secercah cahaya yang masuk. Bahwa netizen, sebagai biang onar dari semua kekacauan yang mereka hadapi juga diharapkan menjadi “penyelamat” atas kebuntuan yang mereka temui.
“Tuhan baru” yang bersifat artifisial ini erat juga berkaitan dengan pandangan saintifik animisme. Ini merujuk pada pemahaman bahwa konsep spiritual mengarah pada perspektif ilmiah dan dapat ditarik juga ke kehidupan digital yang bisa dilihat sebagai bentuk modern dari animisme dalam konteks teknologi.
Jika dalam animisme tradisional benda-benda alam dianggap memiliki roh atau kekuatan spiritual, dalam konteks modern, ponsel dan teknologi digital bisa dianggap sebagai entitas dengan kekuatan yang besar. Mirip dengan cara manusia menganggap dewa-dewa atau roh sebagai penguasa kehidupan mereka.
Dalam konteks di mana ponsel atau teknologi menjadi pusat kehidupan manusia, bisa dianggap bahwa teknologi telah mencapai status seperti "tuhan". Kita mengandalkan teknologi untuk hampir segalanya—informasi, hiburan, petunjuk arah, dan masih banyak lagi.
Teknologi di film Budi Pekerti yang direpresentasikan melalui hal yang sudah disebutkan sebelumnya (ring light, kamera ponsel, dan suara berisik netizen) menjadi simbol kekuatan pengendali kehidupan sehari-hari. Karena, pada akhirnya mirip sebagai konsep Tuhan sebagai pengontrol nasib, netizen beserta lanskap digital yang melingkupinya di film ini juga menjadi penentu takdir Bu Prani.
Menyoroti Kematian Rasionalitas dan Kehendak Bebas Manusia
Selain ring light, kamera ponsel, Wregas juga bermain-main dengan beragam narasi simbolik yang ditunjukkan dalam filmnya. Kita melihat tulisan Cogito Ergo Sum ada sebagai latar video orang tua murid pada saat upacara bendera di sekolah Bu Prani.
Cogito Ergo Sum adalah konsep terkenal dari filsuf asal Perancis, Rene Descartes yang dimaknai sebagai “Aku berpikir maka aku ada”. Descartes sendiri merupakan salah satu filsuf yang mempelopori rasionalisme di abad Pencerahan. Konsep ini juga berkaitan dengan pandangan humanisme yang menekankan manusia sebagai pusat.
Fokus Descartes adalah pada kesadaran dan pikiran individu sebagai pengetahuan yang tidak berkaitan dengan otoritas eksternal. Descartes menegaskan pentingnya otonomi dan kebebasan manusia untuk berpikir, bertindak, dan menentukan maknanya sendiri.
Descartes, juga menghargai kemampuan manusia untuk mencapai kebenaran melalui pemikiran yang rasional. Rasionalitas ini memberi manusia peran sentral dalam memahami dan mengarahkan dunia, mirip dengan pandangan humanistik yang menempatkan manusia dan kemampuan intelektualnya sebagai kekuatan utama.
Konsep "aku yang berpikir" menurut Descartes yang berfokus pada eksistensi manusia sebagai subjek berpikir melibatkan akal dan kehendak sebagai bagian dari diri manusia.
Dalam buku yang ditulis Descartes berjudul Meditations on First Philosophy dan diterjemahkan oleh Michael Moriarty pada tahun 2008, Descartes menyebutkan konsep free will atau kehendak bebas ini sama dengan kemampuan untuk memilih.
Bicara soal free will, mari kita tengok juga pandangan filsuf asal Inggris, Thomas Hobbes dan filsuf asal Skotlandia, David Hume. Meski Hobbes dan Hume sedikit berbeda dengan Descartes, karena pemikiran Hobbes dan Hume sudah masuk di era filsafat modern.
Hobbes dalam bukunya Leviathan (1651), mengungkapkan bahwa kehendak bebas berarti lebih kepada tidak adanya halangan atau hambatan eksternal dalam melakukan apa yang diinginkan. Namun, kehendak cenderung berasal dari suatu sebab, sehingga tindakan bebas manusia pun seperti rantai berkesinambungan dalam hubungan sebab-akibat.
Hume menyepakati apa yang disebut Hobbes mengenai konsep sebab-akibat atau kerangka deterministik. Namun, dalam bukunya An Enquiry concerning Human Understanding yang diedit oleh Peter Millican pada tahun 2007, Hume lebih lanjut menyebut free will atau liberty lebih kepada kekuatan dorongan hasrat internal untuk bertindak atau tidak bertindak.
Hobbes bukan rasionalis murni seperti Descartes dan lebih cenderung materialisme sementara Hume merupakan seorang empiris yang fokus pada pengalaman inderawi sebagai sumber pengetahuan. Namun konsep free will yang mereka sebutkan memiliki benang merah. Ketiganya sepakat bahwa manusia adalah subjek yang mampu membuat pilihan.
Rasionalitas Bu Prani sebagai subjek yang berpikir serta konsep free will yang dimilikinya inilah yang dimatikan dalam film Budi Pekerti, karena berbenturan dengan dunia eksternal, dalam hal ini masyarakat internet yang memegang kendali.
Hyperreality, Hyperconnectivity, dan Virality
Dalam buku Simulacra and Simulation yang ditulis Jean Baudrillard dan diterjemahkan Sheila Faria Glaser pada tahun 1994, tidak ada lagi subjek, hanya informasi. Teknologi membuat manusia bermutasi menjadi data; dari yang nyata menjadi yang hyperreal.
Baudrillard dalam bukunya itu juga melanjutkan bahwa tubuh itu sendiri tidak lain hanyalah media, dan teknologi merupakan perluasan dari tubuh. Media, teknologi, komunikasi, dan hal-hal serba virtual lainnya dikatakan Baudrillard sebagai sebuah hyperreality atau hiperrealitas, kenyataan yang melebihi kenyataan (more real than real). Ketika yang virtual tampil melebihi kenyataan, maka yang nyata itulah terhapuskan.
Kondisi hiperrealitas melahirkan keadaan lain yang juga masih berkaitan, yaitu hyperconnectivity. Istilah hyperconnectivity ini dikemukakan oleh Anabel Quan-Haase dan Barry Wellman dalam esainya yang berjudul “Local Virtuality in an Organization: Implications for Community Practice” di buku Communities and Technologies (2005). Menurut Quan-Haase dan Wellman dalam esainya tersebut, hyperconnectivity merupakan ketersediaan instan dari orang-orang untuk berkomunikasi di mana pun dan kapan pun.
Dalam berbagai hal, tentu ini telah menjadi bagian dari kehidupan digital kita. Hyperconnectivity menghilangkan batasan geografis, dan memberikan konektivitas tak terbatas untuk saling berinteraksi melalui berbagai aplikasi atau platform digital lainnya tanpa terputus.
Salah satu contohnya kehadiran aplikasi konferensi video atau platform komunikasi video (Zoom, Microsoft Teams, Google Meet, Skype, dan lain-lain). Aplikasi ini digunakan untuk pertemuan online, webinar, pembelajaran jarak jauh, dan berbagai keperluan komunikasi lainnya yang melibatkan audio dan video secara real-time.
Pola pembelajaran jarak jauh juga ditunjukkan beberapa kali di film Budi Pekerti. Memang tampak suasana di film itu sedang dibuat di masa pandemi. Terlihat dari masker yang sering dikenakan para tokohnya.
Itu hanya salah satu contoh dari hyperconnectivity. Contoh lainnya adalah yang menjadi inti dari cerita film ini adalah fenomena virality atau "viralitas."
Virality mengacu pada penyebaran informasi atau konten baik itu dalam bentuk gambar atau video yang cepat dan luas melalui internet, terutama melalui media sosial.
Hyperconnectivity memainkan peran penting dalam proses viralitas karena memungkinkan konten untuk dengan mudah dibagikan dan dilihat oleh banyak orang dalam waktu singkat.
Lebih lanjut lagi, Luciano Floridi, menggambarkan entitas manusia dalam infosphere di bukunya The Fourth Revolution: How the Infosphere is Reshaping Human Reality (2014).
Infosfer merupakan konsep realitas yang ditafsirkan sebagai hal yang informasional. Jadi apa yang disebut kenyataan adalah sesuatu yang informasional dan begitu pula sebaliknya; sesuatu yang informasional itulah kenyataan.
Transformasi kesetaraan antara realitas dan informasi inilah yang menjadi masalah menantang untuk dihadapi. Pada akhirnya kita semua menjadi angka, yang dalam sistem perangkat berbasis algoritma dan data, secara hakiki, – mudah dimanipulasi.
Di film Budi Pekerti, kita melihat bagaimana video Bu Prani yang misuh begitu cepat viral setelah diunggah oleh vlogger turis asing di channel-nya Matthew Mukbang, dan bagaimana orang-orang dengan cepat membagikannya secara aktif bahkan memparodikannya.
Viralnya Bu Prani memang terformulasi dengan cukup pas. Usaha putu itu sedang viral karena katanya enak dan legendaris, Bu Prani misuh padahal seorang guru BP, misuh kepada orang yang sudah lebih tua yaitu penjual putu.
Namun, virality Bu Prani tak berhenti sampai situ. Seolah tak mau reda, Bu Prani kian trending usai Gora mengungkap dirinya pernah diberi refleksi karena suka berkelahi dengan menggali kuburan selama dua bulan. Beragam media menyorotnya bahkan Gaung Tinta sampai mewawancarai pakar kejiwaan, yang tentunya semua sudut pandang pastinya menyudutkan Bu Prani. Ditambah lagi, Gora rutin mengunjungi psikolog sehingga netizen kian berasumsi bahwa Gora ke psikolog karena trauma akibat refleksi yang diberikan Bu Prani tersebut.
Virality memang bisa memberikan keuntungan besar, seperti ketenaran hingga keuntungan finansial, terlihat dari bagaimana putu itu bisa laris dan membuat antrean pembeli. Namun virality yang didapat Bu Prani bukan hanya menimbulkan kontroversi tapi juga kerugian, secara materil dan imateril.
Manusia sebagai Subjek: Human Being yang Lebur Menjadi Digital Being
Foto: Instagram.com/wregas_bhanuteja
Tarik menarik antara konsep manusia yang berpikir dengan manusia yang terpinggirkan karena teknologi di film Budi Pekerti pada akhirnya berujung pada satu muara, yaitu kematian kehendak bebas dari Bu Prani, yang dengan apik Wregas tunjukkan melalui adegan ketika Bu Prani dan Gora berendam di kolam sekolah. Adegan itu sendiri dijelaskan oleh Wregas di laman Instagramnya terinspirasi dari lukisan berjudul Ophelia karya John Everett Millais di abad ke-18.
Melansir laman resmi galeri Tate di London, Inggris, tempat tersimpannya koleksi Ophelia, dijelaskan bahwa Ophelia merupakan karakter di drama Hamlet karya William Shakespeare yang menderita karena kesedihan dan kegilaan ketika ayahnya Polonius, dibunuh oleh kekasihnya, Hamlet.
Lukisan karya Millais itu menggambarkan kematian tragis Ophelia saat ia jatuh ke sungai dan tenggelam, yang sebenarnya dalam drama panggungnya tidak ditampilkan. Peristiwa kematian Ophelia di panggung hanya disebutkan dalam percakapan antara Ratu Gertrude dan saudara laki-laki Ophelia, Laertes. Gertrude menggambarkan kematian Ophelia yang jatuh ke sungai saat memetik bunga dan perlahan tenggelam sambil bernyanyi.
Wregas menyatakan dalam postingan Instagramnya itu bahwa ada kesamaan rasa antara nuansa Ophelia dengan nuansa Bu Prani. Jika Ophelia mati secara harfiah, Bu Prani mati secara simbolis. Ia dikalahkan konsepsi, paradigma, dan fenomena yang berada di luar kuasanya.
Bu Prani yang sejak awal mempertahankan subjektivitasnya sebagai human being yang kokoh pada rasionalitas serta kebenaran yang diyakininya, harus mengalah pada Bu Prani yang menjadi digital being, yang telah terolah dan terproses sedemikian rupa menjadi rangkaian informasi yang berefek bola salju, – bertambah buruk dari waktu ke waktu.
Konsep human being merujuk pada manusia sebagai entitas biologis, sosial, dan moral yang memiliki kemampuan berpikir, merasa, serta bertindak. Manusia sebagai human being sering kali dikaitkan dengan sifat kemanusiaan, yang mencakup aspek-aspek seperti kesadaran diri, kemampuan untuk membuat keputusan moral, serta memiliki kebutuhan fisik, emosional, dan sosial.
Aristoteles, dapat dikatakan sebagai salah satu filsuf paling awal yang membahas konsep hakikat manusia ini. Aristoteles mengidentifikasi manusia sebagai "animal rationale" (hewan yang rasional), yang unik karena kemampuannya untuk berpikir dan memiliki akal budi.
Aspek kesadaran berpikir, akal, serta kehendak bebas yang telah dijelaskan baik dalam pandangan Descartes, Hobbes dan Hume, dicoba dipertanyakan ulang dalam film Budi Pekerti dengan menghadapkannya pada konsep manusia sebagai digital being.
Manusia sebagai digital being yang dielaborasi dari pemahaman hidup di era hyperreal seperti yang dikatakan Jean Baudrillard, pandangan posthuman Katherine Hayles dan Rosi Braidotti, hingga infosphere menurut Luciano Floridi menggambarkan bagaimana eksistensi manusia tidak terbatas pada dunia fisik, tetapi juga berkembang di ruang digital. Konsep manusia sebagai digital being adalah ketika identitas, interaksi, dan eksistensi manusia diperluas serta dipengaruhi oleh teknologi, yang berimplikasi pada cara manusia menjalani hidup.
Manusia sebagai human being dengan manusia sebagai digital being inilah yang bukan sekadar dibenturkan, tapi juga ditantang oleh Wregas dalam film Budi Pekerti, bahwa ke-“Ada”-an manusia sebagai subjek bukan lagi berpijak pada “Aku yang berpikir”, melainkan adanya intervensi eksternal yaitu dari masyarakat internet (netizen) yang pada akhirnya merebut otonomi dan kehendak bebas Bu Prani hingga nasibnya terombang-ambing dalam tuntutan gelombang kehendak netizen yang berubah-ubah.
DAFTAR PUSTAKA
Baudrillard, Jean. 1994. Simulacra and Simulation. (S. F. Glaser, Trans.). Ann Arbor: The University of Michigan Press
Besselaar, P.V.D., Michelis, G.D., Preece, J., Simone, C. (Eds). 2005.
Communities and Technologies. New York: Springer
Braidotti, Rosi. 2013. The Posthuman. Cambridge: Polity Press.
Brown, Blain. 2016. Cinematography, Theory & Practice: Imagemaking for Cinematographer & Directors. New York: Routledge.
Davis, Erik. 2015. Techgnosis: Myth, Magic, Mysticism in the Age of Information. Berkeley: North Atlantic Books.
Descartes, René. 2008. Meditations on First Philosophy. (M. Moriarty, Trans.). New York: Oxford University Press.
Floridi, Luciano. 2014. The Fourth Revolution: How the Infosphere is Reshaping Human Reality. Oxford: Oxford University Press.
Hayles, N. Katherine. 1999. How We Became Posthuman: Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics. Chicago: The University of Chicago Press.
Hobbes, Thomas. 1651. Leviathan or the Matter, Forme and Power of a Commonwealth Ecclesiastical and Civil. London: Andrew Crooke
Hume, David. 2007. An enquiry concerning human understanding (P. Millican, Ed.). New York: Oxford University Press.
Lamont, Corliss. 1997. The Philosophy of Humanism. New York: Humanist Press.
Turkle, Sherry. 2005. The Second Self: Computers and The Human Spirit.
Cambridge: MIT Press.
Wolfe, Cary. 2010. What is Posthumanism?. London: University of Minnesota Press.
Jurnal
Turkle, Sherry. 2011. The Tethered Self: Technology Reinvents Intimacy and
Solitude. Continuing Higher Education Review, Volume 75 Hal 28 – 31.
Medium menonton: OTT-Netflix