Selasa, 29 September 2020

Resensi Buku Sains “Religius”, Agama “Saintifik”: Dua Jalan yang Punya Kebenarannya Masing-Masing



Sains dan agama sudah sejak lama dalam pandangan (beberapa) orang, ibarat air dan minyak atau bumi dan langit. Senantiasa dianggap berseberangan, berlawanan. Tapi, apakah memang keduanya seekstrim itu berjauhan? Memangnya tidak bisa kalau mereka saling hidup bersisian, bersinggungan dan beririsan lalu punya hubungan yang begitu mesra?


Saya pikir setelah membaca buku Sains “Religius” dan Agama “Saintifik”: Dua Jalan Mencari Kebenaran yang ditulis oleh Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla yang diterbitkan oleh Mizan Publishing, saya bisa mendapatkan sedikit jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Karena selain judulnya begitu menarik, gambar sampulnya juga ciamik. Ada dua buah lempeng berbentuk sabit yang masing-masing ujungnya saling bersentuhan. Ya, seolah-olah membicarakan pertemuan antara dua kutub yang begitu berbeda; agama dan sains.


Sayangnya, setelah membaca habis satu buku tersebut, saya masih belum mendapat gambaran yang cukup jelas tentang seperti apakah sains yang religius itu? Dan seperti apa jugakah agama yang saintifik itu? Isinya tidak berisi esensi yang sungguh-sungguh menjadi representasi dari judulnya (dan gambar sampulnya).


Padahal Haidar Bagir di bagian awal buku ini menuliskan, “Di satu sisi kita kewalahan dengan pengikut agama yang mau menang sendiri dan mengafir-ngafirkan sains dan filsafat. Tetapi di sisi lain, kita dapati ada juga pemuja sains yang menafikan filsafat dan membodoh-bodohkan pemikiran agama. Kapan manusia benar-benar bisa bebas dari para bigot dan ekstremis yang ada di berbagai kelompok ini?” (Hal 31). Sungguh sebuah paragraf yang menggugah pembaca untuk ingin tahu bagaimana mereka yang bertentangan ini bisa berdamai pada akhirnya.


Memang ia pun memaparkan solusinya yaitu bahwa ia percaya yang kita butuhkan adalah reintegrasi antara sains, filsafat dan agama. Ya di dalam buku ini Haidar Bagir juga membahas cukup banyak tentang filsafat.


Walaupun reintegrasi menurutnya bukanlah berarti mencampuradukkan ketiganya, tapi menggabungkan dengan jernih dan tetap mempertahankan batas wilayah masing-masing. Selain itu juga mempertanggung-jawabkan kebenaran-kebenaran yang diperoleh sehingga pengetahuan kita akan lengkap dalam berbagai aspek. Tampak ideal sekali, ya? Tapi, sebenernya reintegrasinya itu seperti apa dalam pemahaman singkat dan mudahnya?


Saya kira saya akan menemukan benang merah antara sains dan agama atau keselarasannya karena saya menemukan sebaris kalimat di halaman 86 mengenai “hukum-hukum alam yang tak lain adalah Sunnah Allah di alam semesta”. Sayangnya tidak dijabarkan lebih jauh dan lebih mendalam lagi mengenai hal tersebut.


Sementara itu hubungan agama dan sains yang penuh konflik tentu sudah bukan rahasia lagi. Sangat mudah sekali menemukannya. Lantas bagaimana dengan hubungan yang harmonis? Apakah ada? Apakah cukup hanya sekadar mengetahui bahwa dalam sejarah, ada banyak tokoh cendekiawan muslim yang menjadi ilmuwan dan berkontribusi pada kemajuan sains modern? Rasanya para ekstrimis agama yang anti sains tak lantas jadi mencintai sains hanya sekadar diajarkan soal sejarah tersebut.


Hanya ada satu contoh yang dikemukan Haidar Bagir mengenai lahirnya sebuah penemuan karena terinspirasi kitab suci, yaitu tentang Prof Abdus Salam. Ia mengaku mendapatkan inspirasi penemuannya dalam penyusutan teori penyatuan gaya nuklir lemah dari Al-Quran. Tapi juga tidak jelas, dari surat apa dan ayat yang mana ia mendapatkan inspirasinya tersebut. Sementara contoh lainnya dikatakan adalah Albert Einstein yang mengemukakan teori relativitas dari imajinasi, dan sederet ilmuwan lainnya yang menemukan penemuan ilmiah juga dari imajinasi. Tapi, tentang yang diilhami kitab suci, contohnya hanya satu itu saja dan yang seperti saya katakan; tidak dijelaskan dengan lebih detail atau spesifik.


Tidak Ada Tuhan Itu Tidak Masuk Akal


Sementara itu Ulil menuliskan betapa “tidak masuk akal”, ketika sains, yang mengandalkan fondasi empiris (di mana sesuatu itu ada dan tidak harus dibuktikan dengan indera), sehingga sesederhana itu mengatakan bahwa Tuhan tidak ada. Bagi Ulil, ini sama tidak masuk akalnya dengan sains yang menjelaskan kemunculan kehidupan melalui teori evolusi di mana tidak adanya campur tangan Tuhan.


Ia katakan tidak masuk akal karena menurut perbandingan yang ia buat, yaitu dua contoh susunan huruf yang satu acak dan yang satunya tersusun dengan benar, maka berarti ada “penyusun huruf”. Rasanya, para ekstrimis sains yang anti agama tak lantas jadi mengindahkan agama hanya karena argumen “penyusun huruf” tersebut.


Padahal, andai tidak hanya sekadar tidak masuk akalnya kedua hal tersebut yang dibahas, tapi juga contoh-contoh betapa masuk akalnya agama, sehingga tidak perlu bertentangan dengan sains, mungkin pembahasannya akan jadi jauh lebih menarik lagi.


Jadi, intinya untuk kamu para pencari pesan moral dalam sebuah karya, maka pesan moral dari buku ini adalah: Jangan pertentangkan agama dan sains karena iman bukan lawan dari pengetahuan. Hanya ditekankan bahwa sains dan agama memang bukan musuh bebuyutan, tapi tidak juga dijelaskan dengan mendalam seperti apa jalinan persahabatannya?


Akhir kata, semoga kita bisa menghidupkan harapan di buku ini: senantiasa dihindari dari kepongahan dalam beragama, maupun dalam berilmu, - atau dalam keduanya.

 

Baca juga:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar