Film
animasi, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di dunia, masih sering dianggap
sebagai “film kelas dua” jika dibanding film live action. Lihat saja di
ajang penghargaan Oscar, kategori Best Animated Feature baru ada di
tahun 2021 di mana Shrek menjadi pemenangnya, meski ajang Academy Award
dimulai sejak tahun 1929 dan film pertama Walt Disney di bioskop ada sejak
tahun 1937.
Sementara
di Indonesia sendiri, film animasi terbaik pertama kali diraih oleh film Sang
Suporter di ajang Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2013, sementara ajang FFI
sendiri telah ada sejak tahun 1955. Memang, sebelum tahun tersebut, ruang untuk
film animasi tayang di bioskop masihlah sangat minim. Tayangan animasi pada
masa itu masih lebih marak sebatas di televisi. Barulah di tahun 2009, ada film
animasi musikal di bioskop berjudul Meraih Mimpi.
Itu
jika kita bicara medium penayangan dan dari segi apresiasi atau ajang
penghargaan. Belum lagi soal jumlah film animasi yang diproduksi dan tayang di
bioskop. Di tahun 2024, Lembaga
Sensor Film Indonesia mencatat ada 285 film nasional yang tayang di bioskop.
Dari ratusan film itu, hanya ada 1 film animasi yang tayang, yaitu Si Juki
The Movie: Harta Pulau Monyet.
Bukan
hanya dari segi jumlah film yang diproduksinya saja, dari jumlah penontonnya
pun belum bisa dikatakan membanggakan. Penonton terbanyak diraih oleh film Si
Juki The Movie: Panitia Hari Akhir (2017) yang ditonton lebih dari 600 ribu
penonton (tidak sampai 700 ribu).
Namun,
kehadiran Jumbo menjadi angin segar bagi industri film secara umumnya
dan animasi secara khususnya. Mendapat total lebih dari 10 juta jumlah penonton
dalam kurun waktu lebih dari 100 hari penayangan, telah menjadikan Jumbo film
terlaris nomor 1 di Indonesia sepanjang masa.
Pencapaian
Jumbo, telah menjadi sejarah yang menaruh tonggak baru perjalanan film
animasi di Indonesia. Langkahnya yang begitu jauh, menjadi harapan, bahwa film
animasi ke depannya bisa lebih bersinar lagi.
Jumbo dan Film Animasi yang Menggugat Hierarki
Melihat
perjalanan panjangnya film animasi untuk dipertimbangkan dalam panggung
apresiasi bergengsi, telah membuatnya termarginalisasi dalam waktu yang lama.
Film
animasi, bukan sekadar “bentuk lain” dari film, tapi juga setara dengan film live
action. Film animasi bisa memiliki kekuatan naratif, estetika, dan teknis
yang sama penting dan kompleksnya dengan live action.
Mengasosiasikan
film animasi sebatas hiburan ringan untuk anak-anak, tidak adanya "kamera
nyata", "pencahayaan nyata", hingga "akting nyata"
membuat kedudukannya menjadi terdegradasi, teralienasi, dan berada “di bawah”
film live action, yang dinilai digarap dengan serius.
Menurut
Alan Choloddenko dalam esainya “‘First Principles’ of Animation” dalam
buku Animating Film Theory (2014), animasi tidak terbatas pada film,
karena ia juga adalah ide, konsep, proses, pertunjukan, dan medium.
Karena
itulah, sudah selayaknya film animasi tidak lagi dipandang sebelah mata. Dengan
kompleksitas yang dikandunganya, film animasi bisa punya tingkat “keutuhan”
yang sama dan sejajar dengan film live action.
Animasi
dan live action adalah dua format dalam film, bukan berarti animasi menjadi
subkategori atau cabang dari live action. Kesejajaran dua bentuk film
ini bisa dilihat dari segi artistik, teknis, karakter, maupun kekuatan
naratifnya.
Film Jumbo tampak betul dibuat dengan kompleksitas produksi dan teknis yang mumpuni, yang bahkan bisa jadi lebih rumit dari pembuatan film live action. Penonton akan melihat bagaimana karakter Don, Nurman, Mae, Meri, dan Atta ditampilkan dari berbagai sudut, serta lingkungan dan dunia di sekitarnya. Desain karakter harus lengkap dengan ekspresi, kostum, gestur, hingga warna yang konsisten. Belum dari segi voice over, kita melihat bagaimana sinkronisasi antara ekspresi dan gerakan mulut karakter di film Jumbo sangat sesuai. Dari sisi produksi, kerumitan tentu terasa karena melibatkan banyak orang, Jumbo sendiri dikerjakan oleh lebih dari 420 kreator di dalamnya.
Foto: Instagram.com/visinemastudios |
Dari segi penyutradaraan misalnya. Mengarahkan aktor di film live action tentu lebih mudah, karena mengarahkan aktor secara langsung di lokasi, sementara sutradara film animasi bekerja dengan voice actor dan animator untuk membangun ekspresi dan akting karakter. Butuh kemampuan untuk menerjemahkan emosi manusia ke dalam gerakan visual, dan keterampilan teknis ini, tampaknya sangat dikuasai betul oleh Ryan Adriandhy, sutradara film Jumbo.
Akting dan Perkembangan Karakter Tokoh Animasi di Film Jumbo
Foto: Instagram.com/jumbofilm_id dan Imdb.com |
Dalam film live action, aktor menjadi salah satu hal sentral yang paling terlihat oleh penonton. Wajah, ekspresi, dan performa aktor adalah titik fokus utama yang membawa cerita, menyampaikan emosi, dan menghidupkan karakter.
Meski
tidak dilakukan secara langsung oleh aktor di depan kamera, akting tokoh animasi
dihasilkan melalui perpaduan antara suara (voice acting) dan gerakan
karakter yang dianimasikan.
Di
samping aktor dan aktris yang menjadi pengisi suara tokoh animasi, dalam buku The
Fundamentals of Animation (2016) yang ditulis Paul Wells dan Samantha Moore
disebutkan bahwa animatorlah yang menciptakan performance dari karakter
melalui visual, performance yang mengekspresikan pikiran dan emosi
tokohnya.
Diperlukan
kepaduan antara pengisi suara dalam menyampaikan dialog, emosi, artikulasi,
intonasi, yang sesuai dengan kepribadian tokoh yang juga sesuai dengan gerak
bibir, gerak tubuh, gestur, dan ekspresi yang dibuat oleh animator.
Bukan
hanya pada tokoh Don, sebagai tokoh utamanya yang memang harus kaya ekspresi
dan kekhasan yang mudah dikenali. Kita juga akan melihat ekspresi yang begitu
detail dari tokoh-tokoh lainnya. Kita bisa melihat karakterisasi yang berbeda
antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Kita bisa melihat layer emosi yang
berlapis, terutama pada tokoh Don dan Atta. Don yang dalam cerita ini menjadi
korban perundungan dari Atta, nyatanya tidak memiliki sifat yang hanya baik
saja, seperti tipikal korban pada umumnya. Don digambarkan juga sebagai anak
yang agak menyebalkan, dengan janji yang ia ingkari pada Meri untuk membantunya
mencari arwah orang tuanya setelah dibantu untuk pentas, dan bagaimana Don
diperlihatkan juga sebagai anak egois yang tidak mau mendengarkan omongan
teman-temannya.
Sementara
Atta, penonton akan dibuat bersimpati pada tokoh perundung yang satu ini.
Karena meski ia sering meledek Don, Atta sendiri menyimpan luka, yang
membuatnya mengenal emosi hanya dalam bentuk amarah yang ia lampiaskan dalam
bentuk penindasan kepada orang lain yang dianggap lebih lemah.
Kita
melihat dua karakter yang berkembang begitu menonjol dalam film ini, selain
tokoh utamanya yaitu Don, juga tokoh Atta. Don yang hanya mau didengar,
akhirnya belajar juga untuk mendengarkan. Sementara Atta, yang awalnya sering
meledek Don bahkan sampai mencuri buku dongeng Don agar bisa menghalangi Don
ikut pentas, akhirnya minta maaf pada Don dan membantu Don untuk ikut mencari
arwah orang tua Meri. Anak-anak tersebut berubah karena belajar dari apa yang
mereka alami dan rasakan, bukan bergerak atas suruhan atau perintah orang
dewasa di sekitar mereka.
Menggugah Stereotip Boy’s Don't Cry
Foto: Instagram.com/jumbofilm_id dan Tiktok.com/@visinemaid |
Jumbo, yang membicarakan childhood trauma, anak kecil yang kehilangan kedua orang tuanya, mengangkat persoalan penting, tentang bagaimana anak laki-laki menunjukkan emosinya dan kerapuhannya. Sekian lamanya, anak laki-laki diajari untuk jangan menangis, jangan rapuh,dan jangan menunjukkan kelemahan yang menurut Bell Hooks, feminis asal Amerika Serikat dalam bukunya The Will to Change: Men, Masculinity, and Love (2004) bukan hanya sekadar sebuah tradisi, tapi juga budaya patriarki, ketika anak laki laki diharuskan menyangkal serta menekan kesadaran emosional dan kapasitas mereka untuk merasa.
Pemikiran
patriarki seolah mendorong anak laki-laki mengklaim amarah menjadi jalan menuju
kejantanan, yang menurut pandangan Hooks sebagian besar amarah yang diungkapkan
tersebut merupakan respons terhadap tuntutan agar mereka tidak menunjukkan
emosi lain. Kemarahan ini, menurut Hooks biasanya menjadi tempat persembunyian
dari rasa takut dan sakit.
Persoalan
antara anak laki-laki dengan emosinya ini digambarkan begitu apik oleh Ryan
bukan hanya pada karakter Don, tapi Juga Atta.
Penonton
bisa dengan jelas melihat Don bisa sangat mudah mengekspresikan emosinya,
seperti menangis, sementara Atta hanya bisa tampak menjadi pembenci, untuk
mengekspresikan kesedihannya atas hidupnya yang tidak bahagia. Walau memang tampak
sedikit menggurui di bagian kakaknya Atta yaitu Acil yang mengatakan agar
jangan melampiaskan rasa marahnya kepada orang lain, tapi, karena ini film yang
memang berbicara pada anak-anak, terkadang pesan semacam itu memang harus
tersurat, bukan hanya tersirat.
Kisah anak laki-laki yang menunjukkan kerapuhannya dengan adanya adegan menangis mungkin beberapa kali juga kita temui di film animasi produksi Disney dan Pixar. Seperti Coco (2017) dan Elio (2025) misalnya. Kita melihat bagaimana anak laki-laki bergulat dengan rasa kesepian dan kesedihannya.
Pentingnya
laki-laki untuk merasakan dan menyalurkan emosinya bukan hanya tergambar oleh
karakternya saja, bahkan tercermin pada penggalan lirik lagu “Selalu Ada di
Nadimu” yang menjadi soundtrack filmnya.
“Sedikit
demi sedikit
Engkau
akan berteman pahit
Luapkanlah
saja bila harus menangis”
Sebuah
jalinan narasi yang saling berkelindan. Ini menegaskan peran lagu sebagai
penggerak dan nyawa dalam cerita. Sehingga tak heran soundtrack film ini
juga begitu membekas. Lagu “Selalu Ada di Nadimu” yang dinyanyikan oleh Bunga
Citra Lestari ini bukan hanya menjadi pengiring atau pelengkap adegan tertentu,
tapi juga menjadi pengisi cerita.
Lagu
ini lahir dari buku dongeng Pulau Gelembung yang dibuat oleh ibunya Don.
Terdapat sebuah partitur lagu di bagian belakang bukunya yang tersembunyi yang
ditemukan oleh Don. Lagu ini jugalah yang membuat pementasan Don semakin
memukau. Ibunya tidak hanya “mewariskan” dongeng dan cerita, tapi juga lagu
yang sarat makna.
Foto: Youtube.com/@ITSMEBCL |
Lagu ini pun punya ruangnya tersendiri untuk tumbuh besar dan menjalar lebih luas menjangkau banyak pendengar, baik yang sudah menonton filmnya, maupun mungkin yang belum menonton. Di YouTube sendiri, videonya sudah ditonton kurang lebih 26 juta kali sejak dirilis pertama kali di bulan Maret 2025 atau selama 3 bulan.
Ini
mengingatkan kita pada sebagian besar film animasi Disney yang soundtrack-nya
begitu memorable, seperti lagu “Let it Go” di film Frozen atau “A
Whole New World” di film Aladdin. Dengan lagunya yang begitu fenomenal,
maka tak heran jika meski film ini turun layar, lagunya mungkin masih
segar dalam ingatan. Menarik melihat bagaimana kekuatan musik menguatkan
filmnya, sekaligus membuka peluang untuk filmnya bisa terus dibicarakan
dalam waktu yang lebih lama.
Kembali kepada bagaimana film ini memotret anak laki-laki yang diberi ruang untuk merasakan emosinya, menariknya lagi, kerapuhan laki-laki ini bukan hanya diperlihatkan dari tokoh anak-anaknya saja, tapi juga pria dewasa yang ada di film ini. Tokoh Pak Kades (Kepala Desa) yang menjadi tokoh antagonis di film ini juga diperlihatkan menangis ketika makam istrinya harus digusur. Meski pada akhirnya kesedihan itu berujung pada dendam yang melahirkan bahaya bagi Don dan kawan-kawan. Pada tataran level tertentu, memang ada hal-hal di luar kendali serta ekspektasi yang bisa menjadi konsekuensi buruk dari sebuah perasaan.
Namun,
tulisan ini tidak hendak mengarah ke sana, tapi lebih kepada bagaimana keunikan
pengalaman laki-laki, baik anak-anak maupun dewasa, yang tidak melulu harus
menjadi yang kuat dan tangguh, tentu boleh saja juga untuk menjadi yang lemah
dan rapuh.
![]() |
Foto: Youtube.com/@VisinemaPictures |
Kerapuhan
ini juga tampak terwakili oleh gambar gelembung dan ide cerita Pulau Gelembung dalam
buku yang ditulis ibunya Don. Jika kisah dongeng dinominasi oleh kisah seorang
putri yang perlu diselamatkan oleh pangeran, kisah dongeng Pulau Gelembung, bercerita
tentang Ksatria Kecil yang ditinggal oleh ayah dan ibunya untuk menenangkan
awan dan kilat-kilatan petir. Ksatria Kecil itu hanya ditemani oleh ombak dan
teman-teman gelembungnya. Gelembung, menjadi teman-teman khayalan untuk Ksatria
Kecil.
Gelembung,
begitu ringkih, tapi juga menguatkan dan melindungi Don. Kita melihat bagaimana
gelembung ini menghibur Ksatria Kecil dan juga bermunculan di panggung pentas Kampung
Seruni saat Don dan Meri bernyanyi bersama.
Gelembung
itu menjadi sebuah simbol, tentang keindahan yang sementara dan kesenangan yang
rapuh, serta perlindungan yang menenangkan.
Solipsisme: Don dalam Dunia Gelembung
Jika
tulisan di atas dijelaskan gelembung dalam perspektif yang indah, rapuh, dan
melindungi, kita juga dihadapkan lagi pada makna gelembung lain yang juga
tersirat dan agak bergeser. Gelembung dalam dunia Don dapat dimaknai pada
keterbatasan Don yang hanya dapat memahami dirinya sendiri tanpa mampu memahami
“dunia di luar gelembungnya.
Dalam
algoritma internet misalnya, kita mengetahui ada istilah filter bubble,
di mana algoritma dipersonalisasi berdasarkan riwayat pencarian, interaksi dan
informasi dari pengguna, sehingga konten yang disajikan kepada kita sudah
terasing hanya yang relevan dan kita sukai, ini menciptakan
"gelembung" informasi yang terbatas pada kita. Masih dalam dunia
digital, filter bubble ini bisa berdampak pada echo chamber,
sebuah ruang gema di mana seseorang hanya terpapar informasi yang sejalan
dengan keyakinannya sendiri, sehingga mengabaikan dan menghindari informasi
yang berbeda.
Kedua hal
ini mengantarkan kita pada paham solipsisme, pandangan yang percaya bahwa hanya
diri kita yang benar-benar ada, sementara orang lain, di dunia luar tidak
terakui eksistensinya sehingga kita dapat terjebak pada "dunia
gelembung". Dunia yang memerangkap kita pada keyakinan, pemahaman dan persepsi
kita sendiri.
Inilah
yang juga terjadi pada Don. Don hanya berkutat pada keinginannya untuk tidak
dirundung lagi, keinginannya untuk tampil baik di pentas, sehingga dia tidak
memedulikan Meri yang perlu mencari orang tuanya di rentang waktu yang semakin
mepet dan terbatas, Don juga berpusat hanya pada dukanya sendiri, kehilangan
orang tua tanpa mencoba memahami bagaimana jika itu terjadi pada Meri, yang
juga harus terpisah dengan orang tuanya (walau sudah menjadi arwah). Don juga sudah
tampak terbiasa selalu ditemani dan dibela oleh Nurman dan Mae, selain itu Don
juga punya nenek yang selalu diandalkannya meski ia sudah yatim piatu.
Semua
itu, membuat Don kesulitan mendengarkan sudut pandang orang lain serta sukar
untuk berempati dan membayangkan pengalaman batin orang lain. Kita dapat
merasakan bahwa gelembung ini adalah batasan dunia Don yang berkutat hanya pada
diri dan pikirannya sendiri yang sejatinya hanyalah ilusi.
A.J
Ayer dalam bukunya Language, Truth and Logic (1936), menjelaskan bahwa
seorang solipsis, berpendapat bahwa tidak ada orang lain selain dirinya yang
ada, atau setidaknya tidak ada alasan yang kuat untuk menganggap bahwa ada
orang lain selain dirinya sendiri. Ini karena anggapan bahwa pengalaman orang
lain tidak mungkin menjadi bagian dari pengalamannya sendiri, sehingga ia tidak
memiliki dasar sedikit pun untuk mempercayai keberadaan orang lain.
Seorang
solipsis memang tidak mengakui eksistensi orang lain sebagai subjek yang nyata.
Mungkin, karena Don tahu memang Meri bukanlah sosok yang nyata, sehingga dengan
mudahnya Don mengabaikannya begitu saja. Akan tetapi, karena Meri yang kecewa,
perlahan membuat Don kehilangan "teman nyata" yang selalu ada
untuknya, yaitu Nurman dan Mae. Terlebih ketika Mae berkata pada Don yang
menyudutkan Don bahwa dirinya hanya mau didengar tapi tidak mau mendengarkan
orang lain.
Doktrin
solipsistik ini menurut Ayer adalah hal yang salah dan ia keberatan serta
menyangkalnya. Bagi Ayer, untuk mencapai keyakinan yang memiliki dasar
rasional, sering kali perlu dicapai melalui cara yang tidak rasional,
berdasarkan fakta bahwa terdapat kemiripan yang nyata antara perilaku orang
lain dan perilaku saya sendiri dapat membenarkan keyakinan akan keberadaan
orang lain yang pengalamannya tidak dapat saya amati secara kasat mata, yang ia
ibaratkan bayi yang memperoleh keyakinan akan keberadaan orang lain secara
intuitif.
Don pun
mulai memahami dan berempati pada Meri dengan proses yang melibatkan intuisi.
Don yang awalnya berkeras hati enggan membantu Meri meski dirinya telah dibantu
duluan karena mementingkan tampil kedua kalinya di pentas, secara intuitif memutuskan
untuk menolong Meri ketika ia merasa ikut serta kehilangan teman yang lainnya,
yaitu Nurman dan Mae yang membuatnya kembali memeluk rasa kesepian yang memang
telah ada sejak dirinya kehilangan kedua orang tuanya.
Pada
momen ini, kita akan melihat titik balik dari sang tokoh utama. Bagaimana Don,
keluar dari "dunia gelembung" yang hanya berisi dia dan pikirannya,
untuk mulai menyadari dan memahami orang lain. Keluarnya Don dari gelembung
sempitnya itu menjadi jembatan yang sepertinya terhubung kembali ke pembahasan
awal soal film ini, tentang bagaimana film Jumbo sebagai film animasi,
mencoba menggugat hierarki industri. Bagaimana Don melihat Meri yang tidak
nyata itu, yang hanya sesosok roh dan bukan manusia, mendapat tempat juga dalam
pikiran Don untuk terakui eksistensinya. Sama halnya bagaimana film animasi,
yang terbuat dari aktor, dan penyusun elemen film lainnya — yang dianggap tidak
“nyata” mempunyai ruang dalam tatanan kesadaran yang setingkat dengan film yang
unsur estetikanya dianggap “lebih nyata” — film live action.
Pada akhirnya,
film Jumbo menjadi film animasi yang fenomenal, bukan hanya sekadar karena
kualitas gambarnya sudah menyamai film produksi Disney atau Pixar, tapi karena
memiliki kekuatan naratif, teknis, dan artistik yang dibangun dengan kematangan
yang membuatnya sangat layak, – dirayakan berjuta-juta pasang mata.
Karena
itulah juga, sudah selayaknya kembali kepada kalimat di atas, yaitu tidak
memasukkan film animasi dalam subkategori film live action, dalam ajang
penghargaan atau apresiasi, ada baiknya film animasi, seperti Jumbo ini
misalnya, tidak hanya dikompetisikan dalam satu kategori dengan sesama film animasi
saja, tapi dipertimbangkan untuk dinilai bersama dengan film live action
lainnya dan pantas untuk diperhitungkan serta dinilai seluruh elemen sinematik
di dalamnya.
Daftar
Pustaka
Ayer,
Alfred Jules. 1936. Language, Truth, and Logic. London: Penguin Books
Beckman,
Karen, (editor). 2014. Animating Film Theory. Durham: Duke University
Press.
Hooks,
Bell. 2004.The Will to Change: Men, Masculinity, and Love. New York:
Atria Books
Wells,
Paul, and Samantha Moore. 2016. The Fundamentals of Animation. New York:
Bloomsbury Publishing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar