Minggu, 20 Juli 2025

Jumbo dan Pergeseran Tonggak Film Animasi: dari Pinggiran Menuju Sorotan

 

Film animasi, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di dunia, masih sering dianggap sebagai “film kelas dua” jika dibanding film live action. Lihat saja di ajang penghargaan Oscar,  kategori Best Animated Feature baru ada di tahun 2021 di mana Shrek menjadi pemenangnya, meski ajang Academy Award dimulai sejak tahun 1929 dan film pertama Walt Disney di bioskop ada sejak tahun 1937.


Sementara di Indonesia sendiri, film animasi terbaik pertama kali diraih oleh film Sang Suporter di ajang Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2013, sementara ajang FFI sendiri telah ada sejak tahun 1955. Memang, sebelum tahun tersebut, ruang untuk film animasi tayang di bioskop masihlah sangat minim. Tayangan animasi pada masa itu masih lebih marak sebatas di televisi. Barulah di tahun 2009, ada film animasi musikal di bioskop berjudul Meraih Mimpi.


Itu jika kita bicara medium penayangan dan dari segi apresiasi atau ajang penghargaan. Belum lagi soal jumlah film animasi yang diproduksi dan tayang di bioskop. Di tahun 2024, Lembaga Sensor Film Indonesia mencatat ada 285 film nasional yang tayang di bioskop. Dari ratusan film itu, hanya ada 1 film animasi yang tayang, yaitu Si Juki The Movie: Harta Pulau Monyet


Bukan hanya dari segi jumlah film yang diproduksinya saja, dari jumlah penontonnya pun belum bisa dikatakan membanggakan. Penonton terbanyak diraih oleh film Si Juki The Movie: Panitia Hari Akhir (2017) yang ditonton lebih dari 600 ribu penonton (tidak sampai 700 ribu).


Namun, kehadiran Jumbo menjadi angin segar bagi industri film secara umumnya dan animasi secara khususnya. Mendapat total lebih dari 10 juta jumlah penonton dalam kurun waktu lebih dari 100 hari penayangan, telah menjadikan Jumbo film terlaris nomor 1 di Indonesia sepanjang masa.


Pencapaian Jumbo, telah menjadi sejarah yang menaruh tonggak baru perjalanan film animasi di Indonesia. Langkahnya yang begitu jauh, menjadi harapan, bahwa film animasi ke depannya bisa lebih bersinar lagi.


Jumbo dan Film Animasi yang Menggugat Hierarki

Melihat perjalanan panjangnya film animasi untuk dipertimbangkan dalam panggung apresiasi bergengsi, telah membuatnya termarginalisasi dalam waktu yang lama.


Film animasi, bukan sekadar “bentuk lain” dari film, tapi juga setara dengan film live action. Film animasi bisa memiliki kekuatan naratif, estetika, dan teknis yang sama penting dan kompleksnya dengan live action.


Mengasosiasikan film animasi sebatas hiburan ringan untuk anak-anak, tidak adanya "kamera nyata", "pencahayaan nyata", hingga "akting nyata" membuat kedudukannya menjadi terdegradasi, teralienasi, dan berada “di bawah” film live action, yang dinilai digarap dengan serius.


Menurut Alan Choloddenko dalam esainya  “‘First Principles’ of Animation” dalam buku Animating Film Theory (2014), animasi tidak terbatas pada film, karena ia juga adalah ide, konsep, proses, pertunjukan, dan medium.


Karena itulah, sudah selayaknya film animasi tidak lagi dipandang sebelah mata. Dengan kompleksitas yang dikandunganya, film animasi bisa punya tingkat “keutuhan” yang sama dan sejajar dengan film live action.


Animasi dan live action adalah dua format dalam film, bukan berarti animasi menjadi subkategori atau cabang dari live action. Kesejajaran dua bentuk film ini bisa dilihat dari segi artistik, teknis, karakter, maupun kekuatan naratifnya.


Film Jumbo tampak betul dibuat dengan kompleksitas produksi dan teknis yang mumpuni, yang bahkan bisa jadi lebih rumit dari pembuatan film live actionPenonton akan melihat bagaimana karakter Don, Nurman, Mae, Meri, dan Atta ditampilkan dari berbagai sudut, serta lingkungan dan dunia di sekitarnya. Desain karakter harus lengkap dengan ekspresi, kostum, gestur, hingga warna yang konsisten. Belum dari segi voice over, kita melihat bagaimana sinkronisasi antara ekspresi dan gerakan mulut karakter di film Jumbo sangat sesuai. Dari sisi produksi, kerumitan tentu terasa karena melibatkan banyak orang, Jumbo sendiri dikerjakan oleh lebih dari 420 kreator di dalamnya.

Foto: Instagram.com/visinemastudios

Dari segi penyutradaraan misalnya. Mengarahkan aktor di film live action tentu lebih mudah, karena mengarahkan aktor secara langsung di lokasi, sementara sutradara film animasi bekerja dengan voice actor dan animator untuk membangun ekspresi dan akting karakter. Butuh kemampuan untuk menerjemahkan emosi manusia ke dalam gerakan visual, dan keterampilan teknis ini, tampaknya sangat dikuasai betul oleh Ryan Adriandhy, sutradara film Jumbo.


Akting dan Perkembangan Karakter Tokoh Animasi di Film Jumbo

Foto: Instagram.com/jumbofilm_id dan Imdb.com

Dalam film live action, aktor menjadi salah satu hal sentral yang paling terlihat oleh penonton. Wajah, ekspresi, dan performa aktor adalah titik fokus utama yang membawa cerita, menyampaikan emosi, dan menghidupkan karakter.


Meski tidak dilakukan secara langsung oleh aktor di depan kamera, akting tokoh animasi dihasilkan melalui perpaduan antara suara (voice acting) dan gerakan karakter yang dianimasikan.


Di samping aktor dan aktris yang menjadi pengisi suara tokoh animasi, dalam buku The Fundamentals of Animation (2016) yang ditulis Paul Wells dan Samantha Moore disebutkan bahwa animatorlah yang menciptakan performance dari karakter melalui visual, performance yang mengekspresikan pikiran dan emosi tokohnya. 


Diperlukan kepaduan antara pengisi suara dalam menyampaikan dialog, emosi, artikulasi, intonasi, yang sesuai dengan kepribadian tokoh yang juga sesuai dengan gerak bibir, gerak tubuh, gestur, dan ekspresi yang dibuat oleh animator.


Bukan hanya pada tokoh Don, sebagai tokoh utamanya yang memang harus kaya ekspresi dan kekhasan yang mudah dikenali. Kita juga akan melihat ekspresi yang begitu detail dari tokoh-tokoh lainnya. Kita bisa melihat karakterisasi yang berbeda antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Kita bisa melihat layer emosi yang berlapis, terutama pada tokoh Don dan Atta. Don yang dalam cerita ini menjadi korban perundungan dari Atta, nyatanya tidak memiliki sifat yang hanya baik saja, seperti tipikal korban pada umumnya. Don digambarkan juga sebagai anak yang agak menyebalkan, dengan janji yang ia ingkari pada Meri untuk membantunya mencari arwah orang tuanya setelah dibantu untuk pentas, dan bagaimana Don diperlihatkan juga sebagai anak egois yang tidak mau mendengarkan omongan teman-temannya. 


Sementara Atta, penonton akan dibuat bersimpati pada tokoh perundung yang satu ini. Karena meski ia sering meledek Don, Atta sendiri menyimpan luka, yang membuatnya mengenal emosi hanya dalam bentuk amarah yang ia lampiaskan dalam bentuk penindasan kepada orang lain yang dianggap lebih lemah.


Kita melihat dua karakter yang berkembang begitu menonjol dalam film ini, selain tokoh utamanya yaitu Don, juga tokoh Atta. Don yang hanya mau didengar, akhirnya belajar juga untuk mendengarkan. Sementara Atta, yang awalnya sering meledek Don bahkan sampai mencuri buku dongeng Don agar bisa menghalangi Don ikut pentas, akhirnya minta maaf pada Don dan membantu Don untuk ikut mencari arwah orang tua Meri. Anak-anak tersebut berubah karena belajar dari apa yang mereka alami dan rasakan, bukan bergerak atas suruhan atau perintah orang dewasa di sekitar mereka.

 

Menggugah Stereotip Boy’s Don't Cry

FotoInstagram.com/jumbofilm_id dan Tiktok.com/@visinemaid

Jumbo, yang membicarakan childhood trauma, anak kecil yang kehilangan kedua orang tuanya, mengangkat persoalan penting, tentang bagaimana anak laki-laki menunjukkan emosinya dan kerapuhannya. Sekian lamanya, anak laki-laki diajari untuk jangan menangis, jangan rapuh,dan jangan menunjukkan kelemahan yang menurut Bell Hooks, feminis asal Amerika Serikat dalam bukunya The Will to Change: Men, Masculinity, and Love (2004) bukan hanya sekadar sebuah tradisi, tapi juga budaya patriarki, ketika anak laki laki diharuskan menyangkal serta menekan kesadaran emosional dan kapasitas mereka untuk merasa.


Pemikiran patriarki seolah mendorong anak laki-laki mengklaim amarah menjadi jalan menuju kejantanan, yang menurut pandangan Hooks sebagian besar amarah yang diungkapkan tersebut merupakan respons terhadap tuntutan agar mereka tidak menunjukkan emosi lain. Kemarahan ini, menurut Hooks biasanya menjadi tempat persembunyian dari rasa takut dan sakit.


Persoalan antara anak laki-laki dengan emosinya ini digambarkan begitu apik oleh Ryan bukan hanya pada karakter Don, tapi Juga Atta.


Penonton bisa dengan jelas melihat Don bisa sangat mudah mengekspresikan emosinya, seperti menangis, sementara Atta hanya bisa tampak menjadi pembenci, untuk mengekspresikan kesedihannya atas hidupnya yang tidak bahagia. Walau memang tampak sedikit menggurui di bagian kakaknya Atta yaitu Acil yang mengatakan agar jangan melampiaskan rasa marahnya kepada orang lain, tapi, karena ini film yang memang berbicara pada anak-anak, terkadang pesan semacam itu memang harus tersurat, bukan hanya tersirat.


Kisah anak laki-laki yang menunjukkan kerapuhannya dengan adanya adegan menangis mungkin beberapa kali juga kita temui di film animasi produksi Disney dan Pixar. Seperti Coco (2017) dan Elio (2025) misalnya. Kita melihat bagaimana anak laki-laki bergulat dengan rasa kesepian dan kesedihannya.


Pentingnya laki-laki untuk merasakan dan menyalurkan emosinya bukan hanya tergambar oleh karakternya saja, bahkan tercermin pada penggalan lirik lagu “Selalu Ada di Nadimu” yang menjadi soundtrack filmnya. 


“Sedikit demi sedikit

Engkau akan berteman pahit

Luapkanlah saja bila harus menangis”


Sebuah jalinan narasi yang saling berkelindan. Ini menegaskan peran lagu sebagai penggerak dan nyawa dalam cerita. Sehingga tak heran soundtrack film ini juga begitu membekas. Lagu “Selalu Ada di Nadimu” yang dinyanyikan oleh Bunga Citra Lestari ini bukan hanya menjadi pengiring atau pelengkap adegan tertentu, tapi juga menjadi pengisi cerita. 


Lagu ini lahir dari buku dongeng Pulau Gelembung yang dibuat oleh ibunya Don. Terdapat sebuah partitur lagu di bagian belakang bukunya yang tersembunyi yang ditemukan oleh Don. Lagu ini jugalah yang membuat pementasan Don semakin memukau. Ibunya tidak hanya “mewariskan” dongeng dan cerita, tapi juga lagu yang sarat makna.

Foto: Youtube.com/@ITSMEBCL

Lagu ini pun punya ruangnya tersendiri untuk tumbuh besar dan menjalar lebih luas menjangkau banyak pendengar, baik yang sudah menonton filmnya, maupun mungkin yang belum menonton. Di YouTube sendiri, videonya sudah ditonton kurang lebih 26 juta kali sejak dirilis pertama kali di bulan Maret 2025 atau selama 3 bulan.


Ini mengingatkan kita pada sebagian besar film animasi Disney yang soundtrack-nya begitu memorable, seperti lagu “Let it Go” di film Frozen atau “A Whole New World” di film Aladdin. Dengan lagunya yang begitu fenomenal, maka tak heran jika meski film ini turun layar, lagunya mungkin masih segar dalam ingatan. Menarik melihat bagaimana kekuatan musik menguatkan filmnya, sekaligus membuka peluang untuk filmnya bisa terus dibicarakan dalam waktu yang lebih lama.


Kembali kepada bagaimana film ini memotret anak laki-laki yang diberi ruang untuk merasakan emosinya, menariknya lagi, kerapuhan laki-laki ini bukan hanya diperlihatkan dari tokoh anak-anaknya saja, tapi juga pria dewasa yang ada di film ini. Tokoh Pak Kades (Kepala Desa) yang menjadi tokoh antagonis di film ini juga diperlihatkan menangis ketika makam istrinya harus digusur. Meski pada akhirnya kesedihan itu berujung pada dendam yang melahirkan bahaya bagi Don dan kawan-kawan. Pada tataran level tertentu, memang ada hal-hal di luar kendali serta ekspektasi yang bisa menjadi konsekuensi buruk dari sebuah perasaan. 


Namun, tulisan ini tidak hendak mengarah ke sana, tapi lebih kepada bagaimana keunikan pengalaman laki-laki, baik anak-anak maupun dewasa, yang tidak melulu harus menjadi yang kuat dan tangguh, tentu boleh saja juga untuk menjadi yang lemah dan rapuh.

Foto: Youtube.com/@VisinemaPictures


Kerapuhan ini juga tampak terwakili oleh gambar gelembung dan ide cerita Pulau Gelembung dalam buku yang ditulis ibunya Don. Jika kisah dongeng dinominasi oleh kisah seorang putri yang perlu diselamatkan oleh pangeran, kisah dongeng Pulau Gelembung, bercerita tentang Ksatria Kecil yang ditinggal oleh ayah dan ibunya untuk menenangkan awan dan kilat-kilatan petir. Ksatria Kecil itu hanya ditemani oleh ombak dan teman-teman gelembungnya. Gelembung, menjadi teman-teman khayalan untuk Ksatria Kecil.


Gelembung, begitu ringkih, tapi juga menguatkan dan melindungi Don. Kita melihat bagaimana gelembung ini menghibur Ksatria Kecil dan juga bermunculan di panggung pentas Kampung Seruni saat Don dan Meri bernyanyi bersama.


Gelembung itu menjadi sebuah simbol, tentang keindahan yang sementara dan kesenangan yang rapuh, serta perlindungan yang menenangkan.

 

Solipsisme: Don dalam Dunia Gelembung


Jika tulisan di atas dijelaskan gelembung dalam perspektif yang indah, rapuh, dan melindungi, kita juga dihadapkan lagi pada makna gelembung lain yang juga tersirat dan agak bergeser. Gelembung dalam dunia Don dapat dimaknai pada keterbatasan Don yang hanya dapat memahami dirinya sendiri tanpa mampu memahami “dunia di luar gelembungnya.


Dalam algoritma internet misalnya, kita mengetahui ada istilah filter bubble, di mana algoritma dipersonalisasi berdasarkan riwayat pencarian, interaksi dan informasi dari pengguna, sehingga konten yang disajikan kepada kita sudah terasing hanya yang relevan dan kita sukai, ini menciptakan "gelembung" informasi yang terbatas pada kita. Masih dalam dunia digital, filter bubble ini bisa berdampak pada echo chamber, sebuah ruang gema di mana seseorang hanya terpapar informasi yang sejalan dengan keyakinannya sendiri, sehingga mengabaikan dan menghindari informasi yang berbeda.


Kedua hal ini mengantarkan kita pada paham solipsisme, pandangan yang percaya bahwa hanya diri kita yang benar-benar ada, sementara orang lain, di dunia luar tidak terakui eksistensinya sehingga kita dapat terjebak pada "dunia gelembung". Dunia yang memerangkap kita pada keyakinan, pemahaman dan persepsi kita sendiri.


Inilah yang juga terjadi pada Don. Don hanya berkutat pada keinginannya untuk tidak dirundung lagi, keinginannya untuk tampil baik di pentas, sehingga dia tidak memedulikan Meri yang perlu mencari orang tuanya di rentang waktu yang semakin mepet dan terbatas, Don juga berpusat hanya pada dukanya sendiri, kehilangan orang tua tanpa mencoba memahami bagaimana jika itu terjadi pada Meri, yang juga harus terpisah dengan orang tuanya (walau sudah menjadi arwah). Don juga sudah tampak terbiasa selalu ditemani dan dibela oleh Nurman dan Mae, selain itu Don juga punya nenek yang selalu diandalkannya meski ia sudah yatim piatu.


Semua itu, membuat Don kesulitan mendengarkan sudut pandang orang lain serta sukar untuk berempati dan membayangkan pengalaman batin orang lain. Kita dapat merasakan bahwa gelembung ini adalah batasan dunia Don yang berkutat hanya pada diri dan pikirannya sendiri yang sejatinya hanyalah ilusi.


A.J Ayer dalam bukunya Language, Truth and Logic (1936), menjelaskan bahwa seorang solipsis, berpendapat bahwa tidak ada orang lain selain dirinya yang ada, atau setidaknya tidak ada alasan yang kuat untuk menganggap bahwa ada orang lain selain dirinya sendiri. Ini karena anggapan bahwa pengalaman orang lain tidak mungkin menjadi bagian dari pengalamannya sendiri, sehingga ia tidak memiliki dasar sedikit pun untuk mempercayai keberadaan orang lain.


Seorang solipsis memang tidak mengakui eksistensi orang lain sebagai subjek yang nyata. Mungkin, karena Don tahu memang Meri bukanlah sosok yang nyata, sehingga dengan mudahnya Don mengabaikannya begitu saja. Akan tetapi, karena Meri yang kecewa, perlahan membuat Don kehilangan "teman nyata" yang selalu ada untuknya, yaitu Nurman dan Mae. Terlebih ketika Mae berkata pada Don yang menyudutkan Don bahwa dirinya hanya mau didengar tapi tidak mau mendengarkan orang lain.


Doktrin solipsistik ini menurut Ayer adalah hal yang salah dan ia keberatan serta menyangkalnya. Bagi Ayer, untuk mencapai keyakinan yang memiliki dasar rasional, sering kali perlu dicapai melalui cara yang tidak rasional, berdasarkan fakta bahwa terdapat kemiripan yang nyata antara perilaku orang lain dan perilaku saya sendiri dapat membenarkan keyakinan akan keberadaan orang lain yang pengalamannya tidak dapat saya amati secara kasat mata, yang ia ibaratkan bayi yang memperoleh keyakinan akan keberadaan orang lain secara intuitif.


Don pun mulai memahami dan berempati pada Meri dengan proses yang melibatkan intuisi. Don yang awalnya berkeras hati enggan membantu Meri meski dirinya telah dibantu duluan karena mementingkan tampil kedua kalinya di pentas, secara intuitif memutuskan untuk menolong Meri ketika ia merasa ikut serta kehilangan teman yang lainnya, yaitu Nurman dan Mae yang membuatnya kembali memeluk rasa kesepian yang memang telah ada sejak dirinya kehilangan kedua orang tuanya.


Pada momen ini, kita akan melihat titik balik dari sang tokoh utama. Bagaimana Don, keluar dari "dunia gelembung" yang hanya berisi dia dan pikirannya, untuk mulai menyadari dan memahami orang lain. Keluarnya Don dari gelembung sempitnya itu menjadi jembatan yang sepertinya terhubung kembali ke pembahasan awal soal film ini, tentang bagaimana film Jumbo sebagai film animasi, mencoba menggugat hierarki industri. Bagaimana Don melihat Meri yang tidak nyata itu, yang hanya sesosok roh dan bukan manusia, mendapat tempat juga dalam pikiran Don untuk terakui eksistensinya. Sama halnya bagaimana film animasi, yang terbuat dari aktor, dan penyusun elemen film lainnya — yang dianggap tidak “nyata” mempunyai ruang dalam tatanan kesadaran yang setingkat dengan film yang unsur estetikanya dianggap “lebih nyata” — film live action.


Pada akhirnya, film Jumbo menjadi film animasi yang fenomenal, bukan hanya sekadar karena kualitas gambarnya sudah menyamai film produksi Disney atau Pixar, tapi karena memiliki kekuatan naratif, teknis, dan artistik yang dibangun dengan kematangan yang membuatnya sangat layak, – dirayakan berjuta-juta pasang mata. 


Karena itulah juga, sudah selayaknya kembali kepada kalimat di atas, yaitu tidak memasukkan film animasi dalam subkategori film live action, dalam ajang penghargaan atau apresiasi, ada baiknya film animasi, seperti Jumbo ini misalnya, tidak hanya dikompetisikan dalam satu kategori dengan sesama film animasi saja, tapi dipertimbangkan untuk dinilai bersama dengan film live action lainnya dan pantas untuk diperhitungkan serta dinilai seluruh elemen sinematik di dalamnya.



 

Daftar Pustaka

 

Ayer, Alfred Jules. 1936. Language, Truth, and Logic. London: Penguin Books

Beckman, Karen, (editor). 2014. Animating Film Theory. Durham: Duke University Press.

Hooks, Bell. 2004.The Will to Change: Men, Masculinity, and Love. New York: Atria Books

Wells, Paul, and Samantha Moore. 2016. The Fundamentals of Animation. New York: Bloomsbury Publishing



Tidak ada komentar:

Posting Komentar