Tampilkan postingan dengan label bisnis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bisnis. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 September 2019

Potensi Chatbot dan Masa Depan Customer Service Berbasis Manusia

September 09, 2019 0
Gambar oleh Peggy und Marco Lachmann-Anke dari Pixabay 

Kamu punya bisnis? Semakin canggihnya zaman, persaingan bisnis pun semakin ketat. Kecepatan pun menjadi tuntutan utama. Apa pun jenis bisnis yang kamu jalankan, garda depannya adalah mereka yang berhadapan langsung dengan pelanggan. Sebagus apa pun produk yang kamu punya, akan sia-sia jika pelanggan disepelekan. Loyalitas pelanggan adalah hal yang sulit diraih, apalagi dipertahankan.

Di masa seperti sekarang ini, bisnis yang sejenis dengan usaha kamu tentu tidak sedikit. Pelanggan bisa dengan mudah pindah ke lain hati jika merasa tidak puas, atau sesederhana tidak dilayani dengan baik. Karena itu, peran Customer Service menjadi penting untuk membantu kamu membangun kepercayaan pelanggan dan menjaga reputasi. Mereka jugalah yang menentukan apakah pelanggan kamu akan kembali lagi berkali-kali atau malah lari.
Dimensional Research, sebuah perusahaan market research di Amerika Serikat pada tahun 2013 membuat laporan yang berjudul Customer Service and Business Results: A Survey of Customer Service from Mid-size Companies. Dalam penelitian tersebut terungkap bahwa 52% pelanggan berhenti membeli sebuah produk setelah mengalami pelayanan yang buruk. Penelitian ini melibatkan 1046 partisipan yang pernah berinteraksi dengan Customer Service, dan ketika mereka mendapatkan pengalaman buruk, 95% dari mereka membagikannya kepada orang lain. Jadi, bisa dibayangkan bukan, betapa berita negatif bisa lebih cepat menyebar dan membuat reputasi bisnis Anda hancur dalam waktu singkat.
Fakta lainnya adalah, 88% dari mereka mengatakan bahwa keputusan untuk membeli sebuah produk terpengaruh oleh ulasan online mengenai pelayanan pelanggan. Kalau memang pelayanan baik tentu berdampak baik. Sayangnya, orang jarang sekali mengulas pelayanan baik yang mereka terima.

Seringnya, orang-orang yang tidak puaslah yang pastinya membuat ulasan yang berisi protes atau komplain mereka. Ini yang harus dicegah, atau jika tidak mungkin paling tidak diminimalkan. Lantas apa indikator yang dapat dikategorikan pelayanan yang baik? masih dari survey tersebut, dilaporkan bahwa kecepatan penyelesaian masalah adalah faktor utama yang menentukan bahwa pelayanan Customer Service terbilang baik.
Hanya saja, bagaimana mengupayakan kecepatan pelayanan yang menjadi tuntutan, sementara kapasitas manusia memiliki keterbatasan untuk menghadapi banyak pelanggan dengan segudang pertanyaan dan keluhan? Manusia juga tentu tidak bekerja 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu, bukan? Mereka perlu istirahat pastinya. Sementara bagaimana nasib para pelanggan yang butuh bantuan layanan di luar jam dan hari kerja? Serahkan saja pada chatbot! Chatbot merupakan layanan percakapan yang sistem pengoperasiannya diprogram menggunakan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI).


Keuntungan Menggunakan Chatbot

Chatbot dapat membantu dan mendukung kamu untuk melakukan otomatisasi layanan Customer Service. Apa saja keuntungannya menggunakan chatbot untuk perkembangan bisnis kamu? Seperti dilansir dari website resmi Botika, sebuah perusahaan penyedia layanan chatbot asal Yogyakarta ini 5 keuntungan menggunakan chatbot yang bisa didapatkan jika menggunakan chatbot sebagai penunjang kegiatan bisnis:


1. Customer Service tersedia 24 jam dan 7 hari dalam seminggu


Setiap pelanggan punya karakter berbeda-beda. Ada saja yang membutuhkan informasi dari bisnis kamu di malam hari atau di hari libur. Banyak dari mereka yang tentunya tidak sabaran menunggu Customer Service kamu menjawab pertanyaan mereka di hari kerja. Karena itu, peran chatbot sangatlah penting. Paling tidak, pelanggan kamu mendapatkan respon atau jawaban, sehingga mereka tidak merasa digantung atau dikacangin. Dengan selalu merespon setiap pertanyaan pelanggan tentunya akan membantu kamu untuk menjaga hubungan, baik dengan pelanggan baru atau lama.


2. Chatbot menangani pelanggan dengan baik dan cepat

Apa keuntungan chatbot dibanding Customer Service berbasis manusia? Selain mereka dapat tersedia kapan pun dan menjawab dengan cepat, ya tentu saja tidak punya emosi. Serewel apa pun pelanggan, mereka tak akan kehilangan kesabaran menghadapinya. Semenyebalkan apa pun pelanggan, mereka tidak akan mengabaikannya dan tetap merespon sebagaimana mestinya.

3. Menghemat biaya operasional bisnis

Chatbot dapat meladeni banyak pelanggan sekaligus tanpa membuat mereka harus menunggu waktu lama untuk mendapat jawabannya. Sehingga sebagai pemilik bisnis kamu tidak perlu mengeluarkan terlalu banyak biaya operasional, dalam hal ini biaya belanja pegawai. Kamu bisa menghemat pengeluaran untuk gaji karyawan, karena kamu tidak lagi memerlukan penambahan banyak karyawan hanya untuk sebatas melayani pertanyaan dan keluhan pelanggan.

4. Memberikan kepuasan maksimal kepada pelanggan

Pelayanan yang cepat dan tersedia kapan saja ketika dibutuhkan tentu akan meningkatkan kepuasan pelanggan. Pelanggan tidak perlu menunggu waktu lama mendapat balasan chat dari penjual, karena balasan bisa langsung didapat saat itu juga.


5. Pekerjaan yang berulang dapat diotomatisasi

Pada saat awal pembelian, biasanya chat pelanggan cenderung sama dan seragam. Tentu melelahkan jika harus menjawabnya satu per satu, dengan jawaban yang mirip-mirip. Apalagi jika sudah banyak tanya, ternyata pelanggannya tidak jadi beli juga, pasti kesel, kan? Kalau pakai chatbot kita nggak perlu capek-capek begitu, karena pekerjaan berulang ini bisa diotomatisasi. 

Dengan keuntungan di atas, bisnis kamu akan berkembang lebih optimal. Penghematan biaya operasional juga tentunya menguntungkan bisnis kamu, karena kamu bisa mengalokasikan budget usaha atau bisnis kamu untuk bagian lain yang membutuhkan dana lebih, seperti promosi dan pemasaran, misalnya.

Masa Depan Customer Service Berbasis Manusia

Kehadiran chatbot memang bisa membuat biaya pengeluaran untuk belanja karyawan menjadi lebih efisien. Akan tetapi, mungkin akan muncul pertanyaan baru, apakah peran manusia sebagai Customer Service akan tergusur? Manusia yang berperan sebagai customer service akan tetap dibutuhkan, karena kehadiran chatbot bukan berarti menggantikan posisi manusia, tapi justru mempermudah pekerjaannya. Lantas, bagaimana masa depan dari Customer Service berbasis manusia dengan adanya chatbot?

1. Beban kerja dan tingkat stres Customer Service berkurang

Tahukah kamu bahwa pekerjaan menjadi Customer Service adalah salah satu pekerjaan yang berpotensi besar membuat stres? Di tahun 2017, Robert Half International, sebuah perusahaan konsultasi Sumber Daya Manusia yang berpusat di California, membuat survei mengenai pekerjaan yang paling membuat stres dengan melibatkan lebih dari 12.000 partisipan yang merupakan pekerja di Amerika Serikat dan Kanada.

Hasilnya, posisi pekerja di bagian Customer Service atau pelayanan pelanggan termasuk dalam daftar 8 pekerjaan yang tingkat stresnya paling tinggi. Tuntutan pekerjaan yang tinggi, beban kerja yang banyak, belum lagi jika harus berhadapan dengan komplain yang tak berhenti, ditambah gaji yang tidak seberapa serta jam kerja yang tidak kenal waktu dan hari libur tentu menjadi faktor-faktor yang membuat Customer Service berpotensi mengalami stres.
Dengan adanya chatbot, beban kerja mereka akan berkurang. Mereka tidak perlu menangani semua masalah atau pertanyaan berulang yang tentunya bisa terselesaikan dengan mudah dengan adanya chatbot. Mereka hanya perlu menyelesaikan masalah yang butuh penanganan lebih lanjut oleh manusia.

2. Energi dan waktu Customer Service dapat teralokasikan lebih efektif dan efisien

Semakin hari orang semakin sering dan mudah protes. Terkadang, untuk hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting dan pertanyaan yang diajukan pun banyak yang berulang dan itu-itu saja. Komplain-komplain sederhana ini tentunya serahkan saja kepada chatbot, sehingga customer service manusia dapat fokus untuk masalah yang penting dan genting saja, yang memang tidak bisa diselesaikan oleh chatbot.

3. Kreativitas dalam memecahkan masalah dan kemampuan komunikasi Customer Service dapat meningkat


Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay 
Creative Intelligence dan Social Intelligence yang dimiliki manusia adalah hal yang tidak bisa diotomatisasi sehingga nyaris mustahil tergantikan. Chatbot memang mahir bercakap-cakap dengan pelanggan karena telah tersusun berdasarkan kumpulan data. Akan tetapi untuk pemecahan masalah yang membutuhkan kemampuan komunikasi manusia, empati dan kreativitas atau, tetaplah penting.
Dengan menangani permasalahan yang sudah tersaring (tidak berkutat pada persoalan kecil saja) maka kreativitas dan kemampuan komunikasi Customer Service akan meningkat. Tentunya ini bisa melatih mereka menjadi SDM yang lebih unggul.


Botika, Penyedia Layanan Chatbot untuk Semua Jenis Bisnis

Di masa depan, dunia bisnis akan semakin membutuhkan chatbot. Teknologi ini akan sangat membantu kemudahan menjalankan bisnis. Jika kini kamu merasa butuh menggunakan chatbot, salah satu perusahaan penyedia layanan chatbot yang bisa kamu pilih adalah Botika. Mengapa Botika?


Botika telah diulas oleh media-media terpercaya



Salah satu cara untuk mengetahui kredibilitas sebuah startup adalah dengan menelusuri beritanya di internet. Jika telah diulas oleh media-media yang kredibel, tentu menjadi nilai lebih. Botika telah diulas oleh dua media besar yang fokus memberitakan tentang startup yaitu Daily Social dan Tech In Asia Indonesia.

Botika telah menangani klien-klien besar


Selain diulas oleh media besar, Botika juga telah dipercaya oleh perusahaan-perusahaan besar. Berdiri tahun 2016, startup yang berasal dari Yogyakarta dan didirikan oleh Ditto Anindita, Galuh Koco Sadewo, Vita Subiyakti serta Prima Yoga Kharisma ini telah menangani kebutuhan chatbot untuk klien-klien besar, seperti XL, Sampoerna, Bank Bukopin, Aqua, dan Angkasa Pura II. Jadi, nggak perlu diragukan lagi kualitasnya.

Tapi tenang aja, kalau bisnis kamu belum sebesar mereka pun tetap bisa pakai layanan chatbot Botika. Karena salah satu produk yang mereka tawarkan adalah Chatbotika Commerce, yang tidak hanya bisa digunakan untuk komunikasi dengan pelanggan tapi juga melayani pemesanan barang. Layanan ini cocok untuk kamu yang punya online shop atau UKM. Kamu bisa lihat produk-produk lainnya dari Botika di sini. Botika bisa menjadi solusi untuk kamu yang sangat memerlukan asisten virtual untuk menjawab chat pelanggan.
Yuk, buat bisnis kamu semakin canggih dan tumbuh semakin pesat pakai Botika!

Kamu bisa menghubungi mereka melalui form kontak yang ada di website mereka:
Contact Botika
Atau melalui media sosial mereka:
Instagram: @botikaonline
Twitter: @BotikaOnline
Facebook: Botika
LinkedIn: Botika



Tim Botika. Sumber: Botika

Sumber referensi:


Jumat, 29 Desember 2017

Panggilan Jiwa Itu Adalah Mendirikan Startup Virtual Reality

Desember 29, 2017 18


“Nggak akan ada berlian tanpa panas dan tekanan. Nggak akan ada anggur yang nikmat tanpa kesabaran" – Andes Rizky, co-founder & COO Shinta VR



Saya selalu tertarik dengan anak muda yang berani menjadi pebisnis atau entrepreneur. Saya pernah menjadi wartawan di sebuah platform media untuk komunitas millennial kreatif di Indonesia yang salah satu cakupan topiknya adalah seputar kewirausahaan dan startup. Saya cukup sering mewawancarai entrepreneur mulai dari Achmad Zaky pendiri Bukalapak, Natali Ardianto co-founder Tiket.com, Riana Bismarak pendiri Belowcepek.com, Ollie pendiri Nulisbuku.com, dan lain-lain. Bertemu mereka saya selalu mendapatkan energi dan inspirasi baru.

Nyatanya, selain mereka di sekitar saya ada banyak orang yang memulai startup. Salah satunya seseorang yang saya kenal baik sejak kuliah dan punya keberanian membangun tren baru startup dengan mendirikan startup di bidang industri Virtual Reality (VR).

Andes Rizky namanya. Sekilas dari namanya biasa saja. Tapi setelah mengenalnya, kamu akan tahu bahwa dia punya mimpi dan ambisi yang besar. Laki-laki berusia 30 tahun ini punya sesuatu yang lebih dari sekadar istimewa di mata saya.

Saya dan Andes kuliah di kampus yang sama, Universitas Indonesia. Saya di jurusan Filsafat, sementara dia di jurusan Fisika. Iya, Fisika. Yang mumet dan ngejelimet itu. Tapi, mengenal Andes nggak serumit itu, kok. Andes nggak tampak seperti anak-anak sains yang terkena stereotip serius, kaku, membosankan, dan wajah seperti rumus. Andes punya pribadi yang lebih cair dan luwes. Karena, kalau dia kaku, mana bisa bergaul sama saya yang jelas-jelas beda jauh dari segi jurusan, fakultas dan angkatan. Andes angkatan 2005 sementara saya angkatan 2007. Satu-satunya kesamaan kami cuma sama-sama berzodiak Aries dan lahir di bulan April (oke, ini info nggak penting).

Setelah lulus kuliah, saya dan Andes hampir nggak pernah berkomunikasi. Sampai dia menikah dan saya juga menikah. Waktu saya kerja di sebuah majalah dia ngabarin kalau dia lagi buat startup di bidang VR dan ingin kerja sama dengan media saya. Sayangnya, karena satu dan lain hal kerja sama itu tidak bisa terlaksana. Tapi, saya menyimpan sesuatu di dalam hati. Suatu hari, saya ingin menulis tentang Andes. Tentang bagaimana ia mendirikan startup-nya itu.

Akhirnya, kesempatan itu pun datang. Saya mendapat info bahwa MyRepublic dan Deutsche Welle TV mengadakan Blog &  Vlog Competition bertema #StartupLyfe. Dalam lomba itu peserta bisa bercerita tentang seseorang yang memiliki keberanian untuk membangun tren baru startup. Satu nama langsung mencuat dalam benak saya, siapa lagi kalau bukan Andes dengan startup VR-nya. Saya kemudian membuat janji untuk bertemu dengannya di sebuah mall di kawasan Tangerang. Ia pun dengan lancar bercerita tentang kisah yang melatar belakangi berdirinya Shinta VR – startup yang ia dirikan bersama co-founder dari Jepang, Akira Sou.

Seorang Anak dari Keluarga Broken Home yang Bermimpi Menjadi Pengusaha Sukses

Andes saat masih kuliah, sudah punya minat di bidang film

Saya selalu punya keingintahuan yang besar mengenai latar belakang seseorang. Apa yang dialami seseorang dari kecil hingga dewasa tentu akan membentuk karekter dan pribadinya hingga di masa mendatang. Sejak mengenal Andes, saya merasa dia orang yang cukup ambisius. Tapi, ternyata itu dilatarbelakangi oleh pengalaman hidup yang tidak selalu manis.

Saat menginjak bangku SMA, Andes mengalami broken home. Ayah dan Ibunya bercerai karena masalah ekonomi yang melanda keluarga. Ia pun bersama adik-adiknya memilih tinggal bersama Ibu. “Keadaan ini memaksa gue untuk menjadi sosok kepala keluarga bagi adik-adik yang masih kecil.” ujarnya saat mengenang masa lalu itu.

Dengan kondisi keuangan keluarga yang terbatas, Andes harus bekerja dulu setelah SMA untuk mengumpulkan biaya kuliah. Sembari bekerja, ia mempelajari semua bahan ujian untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri. “Saat itu keinginan gue hanya dua. Sains atau seni. Karena keduanya adalah favorit gue sejak kecil. Namun karena tahu kuliah seni mahal, gue akhirnya memilih sains. Dan gue diterima di jurusan Fisika UI pada tahun 2005.”

Sejak awal masuk kuliah, hampir semua biaya ia tanggung sendiri. Dari pagi hingga sore ia kuliah dan dari sore hingga malam hari ia lanjutkan dengan bekerja sebagai guru privat. “Nggak banyak waktu untuk bermain dan pesta kala itu. Waktu luang gue biasanya dihabiskan untuk pacar, teman-teman dekat, dan komunitas film.”

Satu momen yang tak terlupakan bagi Andes adalah ketika saat pembicaraannya dengan beberapa teman di meja kantin. Beberapa temannya ada yang mengambil kesimpulan bahwa orang-orang hebat di Indonesia ini terlahir dari keluarga yang juga hebat. Mereka setidaknya punya sokongan dari orang tuanya. Baik berupa materi, nama, koneksi, atau setidaknya bukan berasal dari keluarga broken home. Mereka dapat didikan dari Ayah dan punya sosok yang bisa dijadikan pedoman. Sebagian temannya itu berpikir dibalik kesuksesan orang-orang hebat di Indonesia, pasti ada bayang-bayang nama ayah mereka di sana.

“Gue saat itu hanya terdiam dan berpikir. Apakah anak yang tidak punya sosok Ayah sebagai pedoman, tidak berasal dari keluarga dengan jaringan bisnis hebat, serta tidak punya darah bisnis bisa mengendalikan hidupnya sendiri? Bisakah menjadi seorang pengusaha sukses? Keadaan ini yang membuat gue berpikir bahwa gue harus bisa membalikkan keadaan. Gue mulai membuat perencanaan hidup, termasuk di dalamnya adalah menjadi entrepreneur pada usia 30 tahun.”

Tempaan-tempaan dalam hidupnya itulah yang menjadikannya seseorang yang keras untuk meraih tujuannya. Mandiri dengan pijakan. Belajar menghitung perencanaan. Kesuksesan yang telah diraihnya bukan dicapai karena faktor keberuntungan yang mungkin dikira sebagian orang. Melainkan wujud dari ketekunan hati, kerja keras dan kemauan yang besar untuk terus belajar.

Berawal Dari Mimpi di Bangku Kuliah: Harus Punya Bisnis Sebelum Umur 30 Tahun!

Bisnis pertama Andes, gerai roti bakar di Cikarang diliput media lokal

Saat kuliah, mulai dari semester lima, Andes mulai mencanangkan taget masa depan untuk hidupnya. Ia  mendaftarkan apa saja yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu. “Sebelum umur 30 tahun, gue harus punya perusahaan sendiri.” ujar pria yang juga ketua INVRA (Indonesia VR/AR Association) ini. Andes terbiasa membuat target. Itu yang menjadikannya fokus terhadap apa yang ingin ia raih. Dan, dengan kegigihannya, target itu pun tercapai.

Andes memulai usaha membuka semacam kedai roti bakar di Cikarang. Bisnis kecil ini ia coba untuk tahu bagaimana rasanya mengelola sebuah usaha. Jadi, saat itu yang dia lakukan murni untuk mencari pengalaman.

“Untuk nantinya mengurus perusahaan yang lebih besar, gue harus belajar dari yang kecil dulu. Usaha gue ini tempat gue belajar. Gimana mau ngurus yang besar kalau ngurusin yang kecil aja nggak beres?” paparnya. Setelah dua tahun berjalan, usaha ini ia hentikan. Karena dia berpikir, sudah cukup dan ini waktunya berhenti. “Gue suka masak, tapi nggak jago. Karena itu, usaha ini memang untuk menjajal kemampuan gue berbisnis. Tapi, gue memang nggak kepikir untuk menjadikannya usaha jangka panjang. Nggak ada dalam bayangan gue untuk menjalankannya 10 – 20 tahun ke depan. Gue harus bikin yang lebih besar dari ini dan yang memang sesuai dengan minat dan keahlian gue.”

Risk Taker yang Penuh Perhitungan



Kejarlah passion-mu, jadilah orang-orang yang berani mengambil risiko besar. Kita mungkin sering mendengar ini dari orang-orang yang memberi motivasi untuk berbisnis. Tapi, seberapa banyak motivator yang mengajarkan untuk berhitung? Berhitung untung ruginya. Mempersiapkan perbekalan dan parasut sebelum terjun agar tidak terjun bebas tanpa arah.

Karena tidak ada keberanian yang disertai perhitungan yang cermat itulah, banyak orang yang mundur dan mengubur passion mereka. Bagi sebagian orang, buat apa mikirin passion, kalau nggak bisa makan? Buat apa ambil risiko besar kalau keluarga terlantar? Mengedepankan passion tanpa perhitungan yang matang di mata saya adalah orang yang egois. Tapi, demi kemapanan dan kestabilan, banyak orang yang mengesampingkan mimpi-mimpi terpendam mereka. Namun, itu semua tidak berlaku untuk Andes. Ia berhasil menyeimbangkan mimpi-mimpi besarnya dengan realitas kehidupan yang harus ia jalani. Memiliki keluarga, justru membuatnya semakin gigih bergelut dengan passion-nya dan meraih apa yang memang sudah ia tergetkan.

Melalui Tahapan Riset yang Panjang Sebelum Memutuskan Mendirikan Startup Virtual Reality



Tahun 2014, saat itu Andes masih bekerja kantoran di sebuah perusahaan swasta di daerah Cikarang. Ia mulai kembali menyusun rencananya untuk mewujudkan mimpi yang ia targetkan sejak di bangku kuliah; harus punya perusahaan sendiri. Bukan hanya sekadar bisnis biasa tapi yang bisa establish untuk jangka panjang dan yang bisa mengakomodir passion-nya dalam bidang sains dan seni.

Ia melakukan riset tentang tiga hal. Pertama, ia meriset tentang graphene. “Graphene adalah material karbon paling tipis dan punya sifat fisika serta kimia yang bagus banget. Dia punya kekuatan elastisitas yang besar. Graphene bisa dimanfaatkan menjadi banyak hal.” jelasnya.

Ia pun punya ide yang luar biasa brilian. Perhatiannya akan sulitnya air bersih di masa mendatang dan melihat kuantitas air laut yang melimpah membuatnya ingin mengubah air laut menjadi air yang bisa diminum. “Gue menemukan jurnal penelitian yang mengatakan salah satu manfaat graphene ialah dapat dikembangkan untuk penyulingan air laut menjadi air siap minum.” Untuk yang satu ini, ia berpikir tidak terlalu jauh dari latar belakang kuliahnya yaitu fisika.

Hanya saja, pengembangan graphene ini masih dalam skala laboratorium. Harganya masih mahal, prosesnya susah. Apalagi kalau dibuat untuk produksi massal. Untuk mendalaminya juga ia harus menempuh pendidikan yang lebih tinggi lagi, atau paling tidak merekrut orang yang juga lebih memahami. Terlalu complicated menurutnya. Karena itu, ia mencoba meriset hal lain yang bisa ia kembangkan.

Hal kedua yang ia riset adalah tentang robot. Berhubung pekerjaan sebelumnya berkaitan dengan manufaktur, Andes merasa ingin membuat banyak hal yang bisa diautomatisasi untuk berbagai keperluan. “Gue sedikit mengerti sensor robot dan kenal dengan beberapa programmer. Tapi, semakin gue belajar tentang robot, gue sampai pada satu kesadaran, kalau ternyata gue nggak sejenius itu. Akhirnya gue memutuskan untuk mencari yang lain.”

Mengolaborasikan Sains dan Seni Melalui VR


Memutuskan tidak mempelajari lebih lanjut tentang graphene dan robot, Andes mempelajari hal ketiga yang menarik perhatiannya, yaitu Virtual Reality (VR). Menurutnya VR lah yang bisa mengakomodir minatnya atas sains dan seni. “Tahun 2014 gue beli Oculus Rift DK1 (Development Kit 1). Gue beli dari Amerika dan nunggu satu setengah bulan untuk barangnya sampai ke Indonesia.” Saat barangnya sampai ke tangan dia, dia pun langsung membongkarnya. “Gue lihat komponen elektronik di dalamnya, dan ternyata sederhana banget. Gue mutuskan kalau gue juga bisa bikin yang kayak gini.”

Andes pun bertaruh dengan dirinya sendiri. Jika dalam kurun waktu enam bulan keluar lagi versi terbarunya dan sesuai prediksinya, berarti industrinya memang sudah terbentuk dan ia akan benar-benar terjun ke bidang Virtual Reality. Ternyata benar. Tidak sampai enam bulan, versi pembaruan dari DK1 keluar, yakni DK2 (Development Kit 2) dengan peningkatan kualitas di sana-sini. Ia pun membelinya lagi dan membongkarnya lagi. Di situlah Andes memutuskan akan serius menekuni VR dan terus mendalami risetnya.

Komponen elektronik dalam VR bisa Andes mengerti. “Simple science” ia menyebutnya. Untuk seninya juga ia merasa bisa eksplorasi. “Gue bisa masukin futuristic art, surreal art ke device-nya. Sangat bisa dikembangin dengan pengetahuan sains yang terbatas di otak gue. Sisi teknologinya ada, sainsnya ada, seninya juga ada dan semuanya masuk dalam kapabilitas otak gue.” ujarnya.

Yakin VR akan Semakin Digilai di Masa Depan





Usaha Andes untuk menyebarluaskan pemahaman tentang VR bisa dibilang tidak mudah. Ia membuat tim kecil yang terdiri dari 4 orang, 1 orang programmer, dan dua orang 3D artist saat memulai usahanya sebelum menjadi Shinta VR. Ia mengenalkan VR ke banyak komunitas, membawa alatnya untuk demo dan presentasi. Hanya saja, tidak banyak yang meresponnya dengan serius. “Banyak orang yang cuma bilang, ‘wah keren ya’, tapi mereka juga nggak paham gunanya untuk apa.” Butuh waktu untuk membuat orang mengerti dan akhirnya ia mendapat project satu per satu. Dari situ, dia dan timnya bisa membeli beberapa aset.

Meski jalannya tidak mudah, Andes yakin bahwa ke depannya VR akan lebih diminati. “VR sudah ada sejak tahun 1970-an hanya saja baru acceptable sekarang. Karena baru sekarang teknologi dan software-nya mendukung.” jelasnya. Setahun terjun di industri ini dari tahun 2014 – 2015 dan mengerjakan beberapa project membuatnya semakin yakin kalau VR bisa dikembangkan untuk jangka panjang.

Bersama Akira Sou mendirikan Shinta VR

Sumber: shintavr.com

Andes tergabung dalam sebuah fanpage Facebook komunitas VR di Indonesia. Pada suatu hari, Akira Sou, yang berasal dari Jepang yang juga menggeluti VR ingin ke Jakarta dan bertemu dengan orang yang juga bergiat di VR. Akhirnya, Andes bertemu dengan Akira. Mereka pun saling bercerita tentang perkembangan VR di Jepang dan di Indonesia.

Lebih lanjut, Akira ingin mengenalkan Andes dengan beberapa VR engineer di Jepang. Hanya saja, Andes sempat merasa ragu. Perjalanan ke Jepang tentu tidak memakan biaya yang sedikit. Akan tetapi, kebetulan terjadi lagi. Bosnya di kantor mengajaknya ke Jepang untuk urusan pekerjaan. Akhirnya, bertemulah lagi Andes dengan Akira dan orang-orang yang juga mengulik VR di Jepang.

Dari pertemuan itu mereka sepakat untuk tes market di Indonesia. Mereka pun membuka stand VR di acara Anime Festival Asia (AFA) 2015 yang berlangsung di Kemayoran. Mereka sengaja ingin tahu apakah VR bisa diterima di acara yang bukan berisi tentang teknologi. Nyatanya antusiasme pengunjung begitu luar biasa terhadap VR.
Tim Shinta VR


“Di sana kami sediakan 5 Oculus Rift yang sudah ada game-nya. Gue penasaran, bisa nggak VR ini nge-attract orang untuk datang dan nyoba. Ternyata berhasil. Setelah nyoba mereka pun tertarik untuk beli. Di sana gue sediain Google Cardboard yang sudah berisi game yang bisa mereka beli. Awalnya kami hanya menargetkan habis satu kardus, yang berisi 150 cardboard. ternyata yang laku terjual sampai tiga kardus. Beyond expectation.”

Akhirnya, Januari 2016, Shinta VR resmi didirikan Akira Sou dan Andes Rizky dengan legal. Nama Shinta sendiri diambil dari nama Dewi Shinta, tokoh perempuan cantik yang ada di kisah Ramayana.

Menemukan “Calling” dan Berhenti Kerja Demi Startup Saat Istri Sedang Hamil

Andes dan istrinya, Jelita


Pertemuannya dengan Akira di Jakarta, yang dilanjut dengan perbincangan kerja sama di Jepang untuk acara AFA serta suksesnya mereka di acara besar tersebut merupakan rangkaian kebetulan yang dirasanya terjadi begitu ajaib. “Semua rentetan peristiwa dan kebetulan yang terjadi semakin membuat gue yakin kalau ini panggilan gue. I found my calling. Terlebih acara di AFA yang bikin kita kewalahan, bikin keyakinan gue bertambah berkali-kali lipat.”

Karena kesuksesan di acara AFA itulah, mereka pun ingin melanjutkan bisnis VR ini lebih serius lagi. Melihat antusiasme orang-orang di acara tersebut bisa sebesar itu, berarti environment-nya sudah mulai bisa terukur. Namun, untuk melanjutkannya secara serius, Andes dihadapkan pada pilihan, yaitu berhenti dari pekerjaan tetapnya.

“Saat itu istri gue lagi hamil. Paling nggak kalau gue resign, gue harus dapetin minimal tiga project dulu untuk diri gue pribadi. Gue nggak bisa gambling. Gue harus lihat realitasnya. I have a family. Gue punya keluarga.” Akhirnya, apa yang dilakukan Andes? Membuat perhitungan secara rinci. “Istri gue cuma bilang, kalau jodoh nggak kemana.” Andes pun bikin perhitungan tentang cash flow dia, untuk menjamin hidupnya dan keluarganya ke depan. “Kalau mau serius bikin perusahaan, harus pekerjakan orang yang memang kompeten, dan punya aset yang mumpuni. Gue kasih hitung-hitungannya. Kalau ada investor, gue baru akan resign.”

Awalnya Andes yang ingin resign di pertengahan 2016 akhirnya berhenti kerja di Desember 2015, karena ada angel investor yang mau menginvestasikan untuk Shinta VR. Pada Januari 2016 itulah lahir Shinta VR secara legal dan Andes resmi full time di sana. Saat itu kantornya ada di Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Fokus bisnisnya adalah membuat konten VR untuk korporasi.

Lambat laun, semakin banyak project yang berdatangan, terus meningkat sampai bisa merekrut orang lagi. Tim yang awalnya berjumlah empat orang kini sudah menjadi 17 orang. Februari 2017 Shinta VR sudah balik modal atau istilahnya Return on Investment (ROI). Bahkan kini revenue nya sudah 2,5 kali lipat dari investasi awal. Semua datang dari project dan bukan dari investasi lanjutan. “Kita nggak ngoyo cari investor lagi. Karena kita fokus ke business service aja. Belum terlalu butuh juga. Nggak terlalu nyari. Karena itu second option.”

Ini membuat mereka bisa merekrut orang lebih banyak dan pindah ke kantor yang lebih besar. Setelah dari Sabang dan pindah ke Palmerah pada Januari 2017. Maret 2018 mereka akan pindah kantor lagi ke kawasan Gading Serpong. Demi mendapat tempat yang lebih besar, lebih baik, dan lebih mudah dijangkau tanpa perlu menghadapi kemacetan yang menggila.   “Banyak tim gue yang udah kecapekan di jalan menuju kantor. Alhasil waktunya untuk produktif di kantor jadi terpangkas.”

Tidak Pernah Takut Gagal


Mendirikan usaha secara resmi di usia 29 tahun apakah saat itu ada pikiran atau ketakutan akan kegagalan dan adakah rencana cadangan jika apa yang dirintis tidak berhasil? Andes menjawab mantap tidak ada. “Kalau gue punya side plan, berarti gue nggak bener-bener fokus sama yang gue jalanin. Gue nggak kepikiran gagal sama sekali. Gue udah ngulik VR ini setahun. Peluangnya besar. Gue nggak butuh plan B atau rencana cadangan lainnya.”

Perhitungan yang cermat membuatnya tidak takut gagal. “Ke depannya kami akan bikin diversifikasi lini usaha. Dua tahun ini hanya VR saja nantinya juga akan merambah ke Augmented Reality (AR) dan Mixed Reality (MR).” Saat ini Shinta VR juga tengah mengembangkan mindVoke. MindVoke merupakan platform virtual reality yang mudah untuk digunakan. Kamu bisa berkreasi sendiri membuat konten VR yang interaktif dengan fitur sederhana.

Di mata saya Andes bukan sekadar cerdas, tapi juga berani dan visioner. Tidak banyak orang yang berani keluar dari zona nyamannya untuk membangun sesuatu dari nol di saat di depan mata sudah ada kemapanan yang dijalani. Di sisi lain, ia meneropong jauh ke masa depan. Ia menunjukkan bahwa passion yang dikedepankan bisa tetap memberikan kestabilan penghidupan. Passion yang ia pahami bukan passion yang salah kaprah, yang dikejar tanpa amunisi apa-apa seperti orang yang terjun bebas tanpa parasut. 

Passion bukan tentang keegoisan memburu hal yang paling sesuai jati diri. Apa yang ia impikan, apa yang ia bisa lakukan dan apa yang ia pelajari nyatanya berbalut dengan aneka keajaiban yang tidak hanya mewadahi dia dan segala ambisinya. Tapi juga tetap memedulikan dan menomorsatukan keluarga.

VR Impact, Memeratakan Edukasi di Berbagai Wilayah




Dengan VR orang bisa membebaskan fantasi dan imajinasi yang memberi kepuasan pada diri. Merasakan pengalaman visual menjadi jauh lebih real dan seolah-olah benar-benar nyata dan sungguhan. Akan tetapi, VR tidak melulu bicara hanya sebatas yang indah-indah saja. Ada dampak sosial yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja. VR tidak hanya menghadirkan hiburan semata, tapi lebih dari itu, bagi Andes, melalui Shinta VR, ia ingin mengoptimalkan VR untuk edukasi di Indonesia dengan turut mendukung pemerataan pengetahuan.

“Lab Fisika di Jakarta sama lab Fisika di Papua tentu beda fasilitasnya. Sawah di Sumatera nggak bisa kita bawa ke Jakarta untuk bahan belajar dan praktik bertani. Dengan VR, semua limitasi ini nggak ada lagi. Kita bisa bikin experience how-to-do yang sama untuk semua area. Nggak usah pusing lagi masalah distribusi pengetahuan karena limitasi infrastruktur.” jelas Andes.


Ia pun mencotohkan dengan apa yang kini tengah dilakukan ia dan timnya. Membuat VR untuk alat riset kebiasaan orang belanja di mini market dan supermarket. “Bayangin kalo 500 responden di suruh ke sana akan habis biaya berapa? Belum lagi model minimarket di Jakarta dan Jogja misalkan, pasti ada bedanya. Dari display, dan lain sebagainya. Di VR, researcher tinggal pasang ini-itu di software-nya dan kasih ke responden. Tanpa harus bawa mereka ke tempatnya.” Masalah seperti itu bisa diselesaikan dengan VR secara real dan lebih terukur. 

Lebih lanjut lagi Andes mengatakan pengaplikasian teknologi VR bisa mengoneksikan tidak hanya logic to logic tapi empati ke empati. “Karena teknologi VR bisa gabungin empati dan teknologi. Bisa jadi alat buat belajar, riset, dan lain sebagainya tanpa harus keluar banyak biaya dan waktu untuk membuatnya. Ini yang Indonesia butuhkan untuk tahun-tahun mendatang. Di mana informasi kacau balau berseliweran tanpa empati.”
 

Merenungi Serentetan Kebetulan yang Ajaib



Andes berulang kali mengatakan bahwa banyak kebetulan yang secara ajaib terjadi dalam hidupnya. Pertemuan dengan Akira di Jakarta, kepergiannya ke Jepang, kesuksesan di AFA, hingga adanya angel investor yang mau mendanai startup-nya adalah serentetan keajaiban yang nyata ia rasakan.

Saya juga termasuk orang yang sering mengalami kebetulan ketika hendak meraih sesuatu. Lambat laun, ketika kebetulan itu sering berulang dan memiliki pola yang unik, saya percaya bahwa itu adalah keajaiban. Ketika kita sudah meniatkan sesuatu, semesta akan menggerakkan energi-energi yang sefrekuensi dengan kita. Barangkali, bincang-bincang saya yang cukup panjang lebar dengan Andes ini dan jika ditarik mundur dari pertama mengenal Andes beberapa tahun lalu, adalah juga bagian dari kebetulan,  sebuah kejaiban. 

"Once you make a decision, the universe conspires to make it happen." - Ralph Waldo Emerson 


#StartupLyfe #DWVlogCompetition #MyRepublicIndonesia

Foto feature image: Aprillia Ramadhina
Sumber foto lainnya: Facebook Andes Rizky, Facebook Shinta VR, & www.shintavr.com