Minggu, 16 Maret 2014

Teater Koma; 'Demonstran'


Mencari 'Rakyat Sejati'


Demonstrasi, katanya untuk membela kepentingan rakyat. Tapi siapa rakyat? Bukankah si kaya dan si miskin pun juga disebut rakyat?

Di pementasan terakhir Teater Koma yang berjudul “Ibu” pada  November lalu, kondisi keadaan Indonesia hanya disinggung sedikit, sisanya cerita sedikit berjarak, karena memang naskah tersebut diadapatasi dari “Mother Courage and Her Children” dari Bertolt Brecht. Kini, di pentas “Demonstran” yang berlangsung 1-15 Maret 2014 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Nano Riantiarno, sutradaranya, membuat kisah yang lebih dekat dengan kondisi Indonesia sekarang ini.
Sajian pertunjukan ini cukup menghibur, terutama ketika tokoh-tokoh 'waria' tampil di panggung, semua penonton tertawa. Bisa jadi itu satu-satunya hiburan, dari pertengahan hingga akhir, pertunjukan mulai tampak kedodoran dan terasa berjalan begitu lambat. Beberapa penonton yang sudah duduk lebih dari tiga jam tampak mulai bosan dan mengantuk.


Terlalu banyak repetisi, naskah berputar-putar mengulang-ngulang pertanyaan siapa rakyat sejati. Sesuatu yang sejak awal sudah didengungkan Topan (Budi Ros) sang tokoh utama ketika dirinya diminta turun ke jalan lagi memimpin demonstrasi untuk membela kepentingan rakyat. "Siapa rakyat? Bagaimana kalian berjuang kalau kalian tidak tahu untuk siapa? Orang miskin itu rakyat, orang kaya juga rakyat. Tapi siapa rakyat sejati?" ujar Topan kepada Niken (Daisy Lantang), Wiluta (Andini Putri Lestari) dan Jiran (Adri Prasetyo) yang mengajaknya memimpin gerakan. Dua puluh tahun lalu, Topan adalah pemimpin demonstrasi yang berhasil menumbangkan penguasa, dan kini dirinya telah menjelma pedagang yang sukses. Ada satu lagi hiburan yang menjadi sindiran juga di dalam pertunjukan ini, yakni dihadirkannya  tokoh penata rambut yang diperankan oleh Subarkah Hadisarjana yang tugasnya menata rambut calon presiden, Pejabat-T (Emmanuel Handoyo). Rambut-rambut itu pun menjadi simbol yang juga melekat di pengikut Topan, para mantan demonstran dulu, yang kini banyak sudah hidup enak dengan menjadi pejabat, anggota DPR. Mereka, tampil dengan rambut yang disasak demikian tinggi.


Dua kali, sosok Topan menyebut kata anarkis. Pertama, ketika ia bilang bahwa unjuk rasa sering melibatkan emosi yang hanya berujung pada anarkis. Di sini, tampaknya Nano belum membedakan anarkisme dengan vandalisme. Anarkisme berasal dari bahasa Yunani, anarchos/anarchein yang berarti tanpa pemerintahan (negara), negara atau pemerintah cenderung punya kontrol otoritas yang melahirkan tirani. Jika demonstrasi yang ia maksud berujung pada perusakan, bersifat negatif dan mengganggu, itu vandalisme.
Suara Cornelia Agatha yang berperan menjadi Bunga, istri Topan tampak terdengar tidak cukup kuat ketika bernyanyi di nada-nada tinggi, sangat terasa sekali ia tidak punya nafas yang cukup panjang bernyanyi di panggung teater. Dunia teater memang punya tantangan yang lebih. Punya vokal kuat dan artikulasi jelas, kualitas akting, ditambah gerak tubuh, tentulah bukan perkara gampang untuk menyajikan hal yang lengkap tersebut.

Dari segi properti, dibanding pementasan sebelumnya, kostum yang digunakan lebih sederhana, karena mengambil tema tentang kondisi yang terjadi di masyarakat, elemen keseharian yang diwujudkan membuat cerita ini memang tidak berjarak dengan penonton. Ditambah ada musik dangdut yang ikut megiringi jalannya pentas.
Apa yang lebih hebat dari seorang pahlawan? Seorang pahlawan yang mati. Topan dibuatkan patung, menjadi berhala, yang tidak disembah, tapi hanya dikenal sebagai sejarah. Dan itulah yang dibuat Nano.

‘Blubard-blaburd’ yang non-sense
Ketika pidato, yang terdengar dari mulut Pejabat-T hanya “Blubard, blaburd” yang diulang-ulang. Sesuatu yang absurd, bukan, lebih tepatnya sesuatu yang tanpa makna, sesuatu yang tak bisa dipahami. Itulah yang ingin Nano sampaikan, dia bilang, seringkali omongan pejabat-pejabat itu tidak jelas, seolah dalam perumpamaannya hanya terdengar seperti “blubard-blaburd”
Yang jelas dari pementasan ini hanya pertanyaan perihal siapa rakyat sejati, dan sisanya seperti blubard blaburd, tak jelas apa yang ingin dituju. Selebihnya kebanyakan hanya dialog panjang yang padat, tapi kurang penggambaran dalam adegan.Yang menarik, tersirat akan sindiran halus, tentang kemungkinan kemudian hari. Bisa jadi mereka yang menjadi aktivis sekarang, akan sangat mungkin menjadi yang apatis di masa nanti. Atau parahnya mereka yang masa lalunya berkoar menuding orang-orang yang didemonya, kini kelakuannya tak ada bedanya dengan orang-orang yang pernah diprotesnya; idealisme yang berganti wujud menjadi pragmatisme maksimal.
“Setelah pentas “Ibu”, naskah ini yang saya anggap paling mendekati kondisi saat ini, karena dekat dengan waktu pemilihan umum (pemilu). Seperti momentum, semoga orang yang menonton bisa melihat ini sebagai inspirasi. Ketika kita membela rakyat, siapa yang sebenarnya kita bela?” ujar Nano ketika ditemui usai pentas.

Ada beragam kemungkinan dari definisi yang ditawarkan mengenai ‘siapa rakyat sejati’, salah satunya diucapkan dalam percakapan Sabar dan Alun, “Rakyat sejati adalah penonton yang menonton peristiwa dengan diam.” Ketika pementasan sebelumnya Nano menawarkan perenungan tentang “Ibu”, kini, dirinya menawarkan perenungan tentang “rakyat sejati”. Term kesejatian itulah yang menjadi pertanyaan besar dalam keseluruhan pertunjukan. Berkutat di hal tersebut, membuat penyorotan persoalan korupsi hanya menjadi sesuatu yang dipanjang-panjangkan dalam naskah, tapi minim digambarkan.



photo by: haryo canggih wicaksono
*ulasan pentas "Demonstran", Teater Koma dimuat di harian Jurnal Nasional, Minggu, 9 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar