Minggu, 31 Agustus 2025

Membedah Agency Perempuan dalam Diri Istri yang Berduka di Karakter Sore

Agustus 31, 2025 0


Film Sore: Istri dari Masa Depan (2025) menceritakan tentang Sore (Sheila Dara) seorang istri yang ditinggal meninggal suaminya Jonathan (Dion Wiyoko) karena sakit jantung yang diakibatkan gaya hidup tidak sehat. Ia pun kembali ke masa lalu untuk mengubah hidup suaminya tersebut menjadi lebih baik, dengan harapan, mereka bisa hidup bersama lebih lama. Namun, ia harus berulang-ulang kali kembali ke masa lalunya karena harus berhadapan dengan waktu yang menjadi hambatan utamanya.


Film romantis ini telah mendapat lebih dari 3 juta penonton. Ulasan mengenai film ini pun bertabur begitu banyak dengan isian yang sangat beragam di media sosial. Satu hal yang menarik dari maraknya ulasan tersebut, ada juga yang merasa cemas film ini mempromosikan konservatisme, hubungan yang tidak sehat, serta ketimpangan relasi antara suami dan istri.

 

Apakah Sore bertolak begitu jauh dari semangat kesetaraan hubungan antar pasangan? Apakah Sore, terjebak dalam ruang sempit yang menegasikan keutuhannya sebagai seorang perempuan? Kedua pertanyaan itulah yang menggelitik saya untuk membuat tulisan ini dan mencoba menyelami, memahami, dan membedah karakter Sore dari berbagai lapisan yang menyusunnya.

 

Menyelami Kedukaan Sore di antara Permukaan dan Kedalaman 


Sekilas, mungkin kita akan memandang Sore dari satu sisi; seorang istri yang ingin mengubah hidup suaminya menjadi lebih baik. Tidak diceritakan latar belakang Sore dan masa depan Sore selain hanya sebagai istri dari suaminya Jonathan. Namun, jika kita melihatnya lebih dekat lagi, Sore memiliki banyak sisi yang cukup kompleks. Karakter ini punya banyak lapisan, yang bisa kita kupas dari permukaan hingga kedalamannya.


Berulang kali kita akan mendengarkan Sore memperkenalkan dirinya seperti ini: “Hai, aku Sore, istri kamu dari masa depan” saat Jonathan terbangun di suatu pagi di kamar tidurnya. Sore seolah-olah tidak punya identitas lain selain hanya sebagai istri Jonathan. Tak punya tujuan lain selain ingin mengubah hidup suaminya menjadi lebih baik agar tidak mati muda di masa depan. 


Bahkan kita juga melihat bagaimana ketika Sore membuat pilihan berbeda dengan diberi kesempatan menjadi fashion designer di sebuah butik, justru kembali ke putaran hidup monotonnya yang tak berkesudahan, membawa misi menyelamatkan suaminya. Sangat mudah membuat penonton jatuh kepada penghakiman, bahwa Sore sangat berlawanan dari semangat progresivisme dan kembali menempatkan perempuan pada posisi rentan atas konstruksi sosial yang telah lama diperjuangkan untuk hubungan antara pria dan wanita yang sehat dan setara. 


Sore memang tampak berjuang sendirian, Sore sebegitunya mengorbankan dirinya demi menyelamatkan suaminya, Sore yang nama belakangnya adalah “Istri Jonathan dari masa depan”, menjadi tokoh yang seolah melanggengkan konservatisme dalam hubungan relasi suami-istri. Istri yang menjadi penyelamat, istri yang harus dibebankan tugas mengubah suaminya menjadi manusia yang lebih baik, sementara sang suami sulit berubah, tidak terbuka akan perasaannya atas trauma masa kecilnya sehingga sang istri harus berperan juga menjadi “penyembuh” luka yang diderita suami.

 

Melihat Sore yang telah dijabarkan di atas, memang membuat kita sebagai penonton akan mudah mengatakan bahwa sang pembuat film, dalam hal ini Yandy Laurens sebagai sutradara sekaligus penulisnya seolah menempatkan perempuan kembali menjadi hanya memiliki satu tugas di dunia yaitu menjadi penyelamat dari laki-laki, yang bahkan tampak menolak untuk diselamatkan, karena beberapa kali Jonathan kedapatan diam-diam tetap melakukan kebiasaan buruknya. Namun, apakah begitu?


Kita melihat rasa cinta dari Sore bukan karena keharusan, tapi lahir dari pilihan; jika harus mengulang ratusan kali pun, ia akan tetap memilih Jonathan menjadi suaminya.


Sore adalah perempuan yang bertindak, perempuan yang memilih untuk mencintai. Cinta yang digenggam Sore, merupakan buah dari kebebasan pilihan dan merasakan. Ia menjadi istri berdasarkan kesadaran penuh, bukan perintah, perjodohan atau paksaan. Identitas istri, bukan label yang mengekang, tapi identitas dalam relasi yang dipilihnya dengan sadar.


Sore yang tahu Jonathan akan mati di masa depan, tidak hanya duduk diam menyaksikan dan pasrah, dan berusaha mencoba mengubahnya, karena ia yakin ia bisa melakukannya. Ini jelas bukan gambaran ketundukan, melainkan perlawanan. Ia melawan waktu, ia menolak pasrah. Sore tidak kehilangan otonomi personalnya, meski semua tindakannya diarahkan oleh pengalaman emosionalnya. Keputusan hidup Sore, termasuk mengulang-ulang perannya menjadi istri Jonathan, tidak dikendalikan oleh dogma.


“Memilih mencintai berarti membuka diri terhadap kedukaan, bahkan termasuk duka yang tak berujung. Membiarkan diri kita berduka atas kehilangan orang yang kita cintai adalah ekspresi dari komitmen kita.” Kalimat ini ditulis oleh penulis yang juga feminis asal Amerika Serikat, Bell Hooks dalam bukunya All About Love (2000).


Lebih lanjut, Hooks menjelaskan juga mengenai bagaimana mencintai juga menjadi bagian dari kekuatan perempuan dalam bukunya Communion: The Female Search for Love (2002)


“Liberated women did not ‘fall in love’, we chose to love – that was different from falling in love. Choosing meant that we exercised will, power, and agency. Falling implied a loss of power, the possibility of victimhood.” 

(Hooks, 2002, hal. 37) 

 

Layaknya Sore yang memilih mencintai, Sore jugalah yang memilih caranya berduka, dituntun oleh rasa cintanya, mengantarkan dirinya sampai ke Antartika dan membuatnya kembali ke masa lalu, jauh sebelum Jonathan mengenal Sore. Dari pilihan yang dibuatnya, lahirlah kekuatan, untuk menaklukan hal-hal yang senantiasa selalu mengalahkannya; Waktu. Meski berkali-kali tampak kalah dalam pergulatannya dengan waktu, Sore terus berupaya menyelesaikan misinya demi kesuksesan tujuannya.

 

Sore, Sang Dewi Sati-Parwati yang Berkelana di Linimasa Sisifus dan Orpheus


Sekilas, kita akan melihat Sore adalah karakter yang sempit, tapi sama halnya yang ditunjukkan dalam poster filmnya di mana ada banyak "wajah" Sore di sana, begitu juga jika kita membedah lapisan atau layer demi layer yang menyusun karakterisasi tokoh Sore. Kita akan melihat, irisan-irisan dari kekayaan beragam emosi yang saling memagut dalam tokoh ini.


Karakter Sore, memiliki irisan dengan sosok Dewi Sati-Parwati. Dalam buku Hindu Goddesses, Vision of the Divine Feminine in the Hindu Religious Tradition (1987) yang ditulis David Kinsley, dikisahkan Dewi Sati adalah istri dari Dewa Siwa yang rela membakar dirinya ketika suaminya dihina oleh ayahnya. Namun, ia pun bereinkarnasi menjadi Dewi Parwati dan kembali menjadi istri Dewa Siwa. Jadi, istri pertama Dewa Siwa yaitu Dewi Sati dan istri keduanya yaitu Dewi Parwati, sesungguhnya adalah orang yang sama.


Pengorbanan Dewi Sati menunjukkan sisi tragis dan penuh penderitaan dari seorang perempuan. Dalam hubungannya dengan Siwa, Parwati adalah Sakti (energi ilahi) bagi Siwa. Siwa digambarkan sebagai pertapa yang menyendiri dan pasif, namun bersama Parwati, ia terlibat dalam dunia dan menjalankan tugasnya sebagai pencipta serta pemelihara kehidupan. Parwati bukan hanya mendampingi, tapi juga melengkapi dan menyeimbangkan Siwa. Karena itulah ada Ardhanarishvara, figur yang menggambarkan Siwa dan Parwati bersatu dalam satu tubuh, setengah laki-laki (Siwa) dan setengah perempuan (Parvati).


Kita pun melihat sosok Dewi Sati-Parwati dalam diri Sore yang tampak “mengulang hidup” berkali-kali (ditandai dengan dirinya mimisan dan selalu kembali ke awal dia muncul di kamar tidur Jonathan). Dalam pengulangan Sore melintasi waktu-waktu yang pernah dilalui dan dilewatinya berkali-kali, seolah mengisyaratkan Sore juga telah “reinkarnasi” berkali-kali. 

 

Peran Parwati yang juga menjadi Sakti bagi Siwa, terlihat juga pada peran Sore di hidup Jonathan. Ada adegan di mana Sore memberi saran pada Jonathan perihal foto yang akan diikutsertakan pada pameran foto Jonathan. Jonathan pun mendengar saran tersebut dan membuat keputusan atas dasar saran Sore itu. Hasilnya, ternyata foto yang diajukan itu membuat Jonathan bisa berpameran.


Kita juga melihat bagaimana Jonathan yang sulit berdamai dengan kemarahannya terhadap ayahnya yang pergi dengan perempuan lain meninggalkan ia dan keluarganya sejak masih kecil, perlahan mau menemui ayahnya dan memaafkannya. Penonton tahu betul, itu semua terjadi atas berkat jerih payah Sore membantu Jonathan. 


Belum lagi Jonathan yang awalnya malas-malasan olahraga, jadi mau bergerak juga, terlebih pada akhirnya, Jonathan sungguh-sungguh melepas semua kebiasaan buruknya, yang tampak seperti karena “usaha atau keinginannya sendiri” itu sebetulnya adalah buah dari usaha Sore. Karena kita melihat jelas ketika Jonathan mulai berubah ke arah lebih baik, di saat yang sama itu, Jonathan juga merasakan kehilangan yang sulit ia jelaskan. Ia merasakan merindukan sesuatu yang ia sendiri tidak tahu itu apa.  


Nel Noddings, seorang feminis Amerika dalam bukunya Caring, A Feminine Approach to Ethics and Moral Education (1984) mengatakan bahwa dalam relasi orang yang peduli (the one-caring) dengan orang yang dipedulikan (the cared-for) ada saling ketergantungan. Ini juga yang terlihat dari hubungan Sore dan Jonathan. 


Meski sekilas tampak hanya Jonathan yang sepertinya bergantung pada Sore, karena Sore hadir sebagai "penyelamat" hidupnya, namun Sore pun sebetulnya bergantung pada Jonathan.  Betapa Sore sebegitunya tidak ingin Jonathan mati muda, lebih dulu meninggalkan dirinya. Noddings menekankan perlu adanya timbal balik (reciprocity) dalam kepedulian yang diberikan. Dan timbal balik ini tidak selalu harus berupa "bentuk yang sama". Kita yang tahu bagaimana perjuangan Sore berusah payah mengubah Jonathan, mungkin akan menganggap, Jonathan "tidak melakukan apa-apa" atau "tidak melakukan hal yang sebanding".


Noddings menjelaskan bahwa dalam peran yang dimainkan oleh yang merawat dengan yang dirawat, timbal balik ini bisa berupa "penerimaan" perhatian oleh yang dirawat terhadap pihak yang merawat. Perubahan diri Jonathan, adalah bentuk dari Jonathan menghargai dan menerima kepedulian yang telah diberikan dan ditanamkan oleh Sore. 

 

Relasi peduli antara keduanya berlanjut lewat transformasi yang terjadi pada diri Jonathan. Balasan atau timbal balik Jonathan mungkin di mata penonton tidak seluar biasa yang dilakukan Sore, namun balasan berupa penerimaan dan transformasi itu menunjukkan bahwa kepedulian Sore sampai padanya. Respons pihak yang dirawat tidak harus mengembalikan pedulian dalam ukuran yang sama, karena dengan menerimanya, melakukan perubahan dirinya, itu juga berarti memberi kembali kepada pihak yang merawat. Secara literal, Jonathan juga mengungkapkan perubahan dirinya dalam dialog, “orang berubah bukan karena rasa takut, tapi karena dicintai”.


Dari karakterisasi Sore yang mengambil sedikit wajah Sati-Parwati, kisahnya yang dikemas dalam model time loop ternyata juga berkelana ke masa yang begitu jauh. Pengulangan Sore melakukan usaha yang sama berkali-kali itu mengingatkan kita pada kisah Sisifus.


Sisifus dihukum oleh Zeus selamanya mendorong sebuah batu besar ke puncak bukit, dan setiap hampir sampai, batu itu selalu menggelinding kembali ke bawah, sehingga ia harus mengulanginya terus menerus. Sore yang terus mengulang-ngulang peristiwa yang sama tampak seperti sedang menjalankan hukuman tersebut, sebuah absurditas yang berupa upaya mengerjakan kesia-siaan. 


Lebih lanjut, kita beranjak lagi ke mitologi Yunani yang lain, kita akan menemui Sore dalam kisah Orpheus. Istri Orpheus, yaitu Eurydice tewas karena gigitan ular. Orpheus pun pergi ke dunia bawah (Underworld) atau tempat roh orang mati yang dipimpin oleh Hades dan Persephone. Orpheus memohon kepada Hades agar Eurydice dihidupkan kembali. Hades menetapkan satu syarat. Setelah meninggalkan dunia bawah ini pasangan itu dilarang melihat ke belakang. Namun, karena Orpehus melanggarnya, saat itu Eurydice hilang untuk selamanya.


Meski tampak adanya irisan antara karakter Sore dengan Dewi Sati-Parwati dan kisahnya yang berpola seperti paduan Sisifus dan Orpheus, terdapat perbedaan yang juga sangat kentara jelas.


Jika Sati harus mati dulu dengan begitu tragis ditelan kobaran api, dan terlahir kembali menjadi pribadi baru, Sore hanya mengalami mimisan dan hidup kembali berkali-kali tetap menjadi Sore.

 

Jika Sisifus yang terus melakukan hal sia-sia, pada Sore, hal yang tampak sia-sia dan tak berujung itu pada akhirnya menampakkan hasilnya. Jonathan pada akhirnya berubah, meski perubahan itu didorong oleh kemauan dirinya sendiri, kesadaran yang didapati Jonathan untuk berubah itu sedikit banyak, berasal dari Sore dan hasil dari perjuangan serta upaya Sore yang sudah berkali-kali itu.


Berbeda juga dengan Orpheus yang gagal dan kehilangan Eurydice untuk selamanya, takdir Sore dan Jonathan lebih manis. Mereka kembali dipertemukan, kembali bersama dalam kondisi Jonathan yang sudah berubah lebih baik, yang berpotensi besar memiliki hidup yang lebih panjang.


Kisah Dewi Sati-Parwati, Sisifus dan Orpheus berasal dari abad-abad yang jauh, namun melalui Sore, Yandy bisa menyatukan kepingan dari waktu-waktu yang begitu lampau, menjadi kesatuan dari keindahan yang klasik sekaligus modern, dengan karakter Jonathan yang seorang fotografer dan Sore yang seorang fashion designer, hingga kehadiran aurora, membuat cerita Sore menjadi sangat kekinian.


Memperbaiki masa depan dengan mengubah masa lalu mungkin menjadi mimpi banyak orang. Penyesalan yang kita jalani di masa kini, adalah bentuk dari rangkaian keputusan-keputusan yang mungkin tidak tepat dan bijak di masa lalu.


Manusia yang hidup penuh harapan, mengira bahwa dengan membuat keputusan yang berbeda di masa lalu dapat mengubah masa depan, dalam hal di kehidupan Sore adalah tentang kematian.


Dia tak ingin suaminya mati muda, meninggal duluan meninggalkan dirinya karena serangan jantung yang digambarkan akibat gaya hidup tidak sehat dari suaminya yang telah bertahun-tahun dilakoninya, yaitu merokok dan minum minuman keras.


Tampak begitu misi yang mulia sekali dari seorang istri yang saking begitu mencintai suaminya dengan begitu besarnya rela melintasi ruang dan waktu, bahkan berkali-kali, dengan kegagalan yang berulang kali demi bisa memperpanjang usia masa hidup suaminya di masa depan, yang entah pada akhirnya suaminya tetap meninggal cepat atau tidak, tentu tidak ada yang tahu. Tapi perjuangan dan upaya mengubah takdir dengan mengakali waktu yang dilakukan Sore yang diperankan oleh Sheila Dara patut diacungkan jempol. Kita seperti melihat drama tragis ala Shakespeare seperti Romeo dan Juliet serta Hamlet dalam balutan cinta sederhana yang luar biasa.

 

Transformasi Sore dan Jonathan dalam Relasi Kepedulian

Ada sebuah adegan di mana Sore mengatakan bahwa membayangkan kehidupan paralel hanyalah perkara kesombongan manusia. Nyatanya dialah manusia yang sombong itu, yang bahkan tanpa mencipta mesin waktu dalam bentuk apa pun, bisa berkali-kali bolak-balik ke masa lalu. 


Kesombongan itu pun tertera jelas ketika ia bilang tidak ingin hilang ditelan waktu. Waktu yang sudah segitunya berantakan dan kacau karena ia acak-acak sendiri sedemikian rupa masih menyisakan harapan untuk bisa tetap mengakalinya, memenangkan perjuangannya. Hingga ia menuju perdamaian, kerelaan, atas hal sia-sia. Hal yang ia sejak awal tahu bahwa tak bisa ia ubah, yaitu: mengubah hidup orang lain.


Hidup karakter yang paling banyak berubah tentu adalah Jonathan. Yang pada akhirnya meninggalkan kebiasaan buruknya itu karena keinginannya sendiri, setelah dia juga mampu berdamai dengan kemarahan pada ayahnya bertahun-tahun lamanya.  Sebuah kesadaran yang luar biasa tumbuh walau penonton tahu, semua itu ada campur tangan Sore yang seolah tidak kelihatan.


Sore, juga bertumbuh. Penonton tahu bahwa ia tokoh yang paling punya tujuan jelas dan mulia, pada akhirnya menyadari bahwa perjuangannya hanya akan bertemu kemustahilan. Bahwa dia tahu manusia tidak bisa berubah hanya karena orang lain, tapi tetap saja dilakukannya. Ia merelakan dirinya terjebak, dikutuk atas kutukan yang ia buat dan ciptakan sendiri: jika harus diulang ribuan kali, aku tetap memilih kamu. Sebuah gombalan yang di dalamnya penuh masokis, kerelaan atas rasa sakit yang tak bisa hilang, kerelaan atas rasa sakit yang terus berulang-ulang.


Barangkali kita adalah Sore. Memiliki wajah Dewi Sati-Parwati yang punya cinta begitu besar pada pasangannya hingga rela mengorbankan apa pun, atau Orpheus yang rela melakukan apa pun untuk mengembalikan pasangannya yang telah tiada, atau mungkin juga Sisifus yang hidup dalam repetisi mengulang-ngulang menggendong beban berat yang tak berkesudahan, yang tahu bahwa mungkin hanya berujung pada kesia-siaan, tapi tetap bersikeras menjalaninya.

 

Pada akhirnya, mungkin kita hanya perlu hidup penuh kerelaan. Seperti Sore, yang pada akhirnya berdamai dengan itu semua, dengan hal-hal yang tidak bisa diubah walau sekeras apa pun ia berusaha, walau pada akhirnya pun berubah dengan sendirinya, justru di saat ia sudah menyerah.


Dengan ketidaktahuan hasil akhirnya akan berbeda atau sama saja. Sore terus bergelut dengan misteri kehidupan, waktu dan takdir yang ia coba terima tapi juga ia coba akali, menggambarkan perpaduan antara manusia yang diatur, sekaligus manusia yang mengatur — waktu.

 

Waktu: Villain, Mentor, dan Fondasi Eksistensi Sore

 

 

Kita melihat bagaimana Waktu memainkan peran dimulai ketika sore pingsang dan sempat mengatakan “Dia marah”, dan Jonatan bertanya “Dia siapa”. Lalu munculah huruf besar pada layar seperti di awal film mengenalkan tokohnya, Jonathan dan Sore: yaitu Waktu.


Dalam buku Being and Time (1967), Martin Heidegger menjelaskan Waktu, adalah sesuatu yang menyusun eksistensi Dasein, manusia yang tidak statis dan selalu bergerak antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. 


Waktu menurut Heidegger, bukanlah perihal detik, menit, jam, hari, atau tahun, tapi soal bagaimana cara manusia mengalami hidupnya. 


Inilah yang juga sepertinya diamini oleh Yandy Laurens, Waktu, menjadi sesuatu yang mengutuhkan karakter Sore. Karena itu dari awal kita tak tahu sebetulnya Sore ini datang dari masa depan pada tahun berapa, dan dia kembali pada masa lalunya di kamar tidur Jonathan itu juga di tahun berapa. Tak ada keterangan waktu sama sekali yang diberikan pada penonton, karena waktu yang abstrak itulah yang turut menyusun struktur eksistensi Sore. 


Waktu menjadi masa yang tidak linear. Apa yang dimaksud "saat ini" merupakan sesuatu yang tanpa awal dan tanpa akhir. Konsep waktu, bukan sesuatu yang ada di luar diri manusia, melainkan struktur terdalam yang turut menyusun eksistensi manusia itu sendiri. Dasein menurut Heidegger adalah makhluk yang temporal, dan keterlibatan waktu di dalam diri Dasein, juga membuka kemungkinan-kemungkinan.

 

Konsep Waktu di film ini, sama halnya seperti Sore, punya beragam wajah. Ada waktu yang hidup dalam eksistensi Sore, ada waktu yang berada di luar diri Sore. Karena itu kita akan melihat bagaimana Waktu ini, menjadi villain, sekaligus mentor. Menjadi penghalang sekaligus pembimbing. 


Waktu menjadi mentor ketika “mengizinkan” Sore kembali ke masa lalu dan membuat Sore pada akhirnya memahami bahwa sekeras apa pun ia berusaha, manusia hanya bisa berubah jika keinginan itu berasal dari dirinya sendiri. Namun, Waktu juga menghambat Sore dengan membuat Sore seperti berkali-kali “kehabisan” waktu (yang ditandai dengan mimisannya itu). Namun, kita juga melihat sosok Waktu ini tertanam dalam diri Sore, yang menjadikan Sore, entah dari masa depan yang mana; mengada.


Waktu yang inheren juga tampak menjadi waktu yang eksternal. Bukan hanya sesuatu yang mengutuhkan Sore, tapi juga sesuatu yang ia alami, ia jalani, sekaligus ia takuti dan perangi.


Karena itulah ada kalimat kecemasan dari Sore yang dia katakan pada Jonathan, agar dirinya tidak hilang ditelan waktu, yang sangat berkelindan dengan lagu Barasuara Terbuang dalam Waktu dan pengulangan waktu yang seolah terasa tanpa akhir itu juga semakin dikuatkan oleh lagu Hingga Ujung Waktu dari Sheila on 7.


Yandy melepaskan definisi waktu pada artinya yang sempit, menjadi waktu yang punya beragam makna. Waktu, yang terbagi pada masa kini, masa depan, dan masa lalu ia lepaskan dari jerat urutan serta kemelekatan definisi. 

 

Agency Perempuan Berduka


Kembali kepada elaborasi dari pertanyaan-pertanyaan yang melahirkan tulisan ini. Apakah Sore, memang menjadi representasi perempuan yang hidupnya hanya sebatas istri dan tak punya agency serta mengecilkan eksistensi perempuan yang hanya menjadi pendamping suami?


Kita tentu tahu, bahwa semangat feminis juga adalah tentang perempuan yang berhak untuk memilih identitas-identitas lain selain “hanya” sebagai istri dari seorang lelaki. Namun, apakah dengan “hanya” menjadi istri, perempuan lantas menjadi tak punya agency?


Agency, sederhananya adalah kemampuan seseorang untuk bertindak menentukan pilihan dalam hidupnya. Anthony Giddens dalam bukunya The Constitution of Society (1984) menekankan agency sebagai kapasitas seseorang untuk melakukan tindakan yang berbeda dalam peristiwa hidup yang dialaminya.


Kalimat Sore yang berulang kali menyebutkan dirinya sebagai istri kamu dari masa depan kepada Jonathan, bukanlah bentuk penyederhanaan peran dan identitas perempuan. Judith Butler dalam bukunya Precarious Life: The Powers of Mourning and Violence (2004) menyebutkan seseorang yang berduka, akan turut merasakan kehilangan dirinya, yang kelak akan membantunya bertransformasi. Kehilangan menghadapkan seseorang pada sesuatu yang misterius dan tersembunyi, yang tak sepenuhnya bisa dipahami. Ketika kita merasa duka itu adalah sesuatu yang sementara, bahwa pada tataran tertentu akan berakhir dan pemulihan dapat tercapai, di situlah sesuatu tentang diri kita terungkap. Sesuatu yang menggambarkan ikatan yang kita miliki dengan orang lain, yang menunjukkan kepada kita, bahwa ikatan-ikatan ini membentuk siapa diri kita.


Dalam buku itu Butler menjelaskan seorang "aku" yang kehilangan "kamu", terutama jika ikatan dengan "kamu" telah membentuk siapa diri "aku", kondisi ini bukan hanya membuat kita meratapi kehilangan itu, tapi kita menjadi tak bisa memahami diri sendiri. 

“Who am I, without you? When we lose some of these ties by which we are constituted, we do not know who we are or what to do.”

(Butler, 20024, Hal. 22)

 

Agency perempuan yang tergambarkan dalam diri Sore, memang bukanlah agency yang luar biasa hebat dan besar. Bukan agency yang ingin mengubah masyarakat, negara, atau dunia. Agency yang ia miliki adalah mengubah dunianya, agar bisa bersama lebih lama dengan orang yang dicintainya, dengan cara berusaha mengubah kebiasaan buruk orang tersebut. Memang tampaknya begitu kecil dan sederhana, sehingga mudah sekali dinafikan.




 

 




Daftar Pustaka

            Butler, Judith. 2004. Precarious Life: The Powers of Mourning and Violence. Verso: London.

            Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society: University of California Press: Berkeley

            Heidegger, Martin. 1967. Being and Time. Blackwell Publishers: Oxford

            Hooks, Bell. 2000. All About Love. William Morrow: New York.

            Hooks, Bell. 2002. Communion: The Female Search for Love. William Morrow: New York.

        Kinsley, David. 1987. Hindu Goddesses, Vision of the Divine Feminine in the Hindu Religious Tradition. Motilal Banarsidass Publisher: Delhi.

        Noddings, Nel. 1984. Caring, A Feminine Approach to Ethics & Moral Education. University of California Press: Berkeley.

 






Minggu, 20 Juli 2025

Jumbo dan Pergeseran Tonggak Film Animasi: dari Pinggiran Menuju Sorotan

Juli 20, 2025 0

 

Film animasi, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di dunia, masih sering dianggap sebagai “film kelas dua” jika dibanding film live action. Lihat saja di ajang penghargaan Oscar,  kategori Best Animated Feature baru ada di tahun 2021 di mana Shrek menjadi pemenangnya, meski ajang Academy Award dimulai sejak tahun 1929 dan film pertama Walt Disney di bioskop ada sejak tahun 1937.


Sementara di Indonesia sendiri, film animasi terbaik pertama kali diraih oleh film Sang Suporter di ajang Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2013, sementara ajang FFI sendiri telah ada sejak tahun 1955. Memang, sebelum tahun tersebut, ruang untuk film animasi tayang di bioskop masihlah sangat minim. Tayangan animasi pada masa itu masih lebih marak sebatas di televisi. Barulah di tahun 2009, ada film animasi musikal di bioskop berjudul Meraih Mimpi.


Itu jika kita bicara medium penayangan dan dari segi apresiasi atau ajang penghargaan. Belum lagi soal jumlah film animasi yang diproduksi dan tayang di bioskop. Di tahun 2024, Lembaga Sensor Film Indonesia mencatat ada 285 film nasional yang tayang di bioskop. Dari ratusan film itu, hanya ada 1 film animasi yang tayang, yaitu Si Juki The Movie: Harta Pulau Monyet


Bukan hanya dari segi jumlah film yang diproduksinya saja, dari jumlah penontonnya pun belum bisa dikatakan membanggakan. Penonton terbanyak diraih oleh film Si Juki The Movie: Panitia Hari Akhir (2017) yang ditonton lebih dari 600 ribu penonton (tidak sampai 700 ribu).


Namun, kehadiran Jumbo menjadi angin segar bagi industri film secara umumnya dan animasi secara khususnya. Mendapat total lebih dari 10 juta jumlah penonton dalam kurun waktu lebih dari 100 hari penayangan, telah menjadikan Jumbo film terlaris nomor 1 di Indonesia sepanjang masa.


Pencapaian Jumbo, telah menjadi sejarah yang menaruh tonggak baru perjalanan film animasi di Indonesia. Langkahnya yang begitu jauh, menjadi harapan, bahwa film animasi ke depannya bisa lebih bersinar lagi.


Jumbo dan Film Animasi yang Menggugat Hierarki

Melihat perjalanan panjangnya film animasi untuk dipertimbangkan dalam panggung apresiasi bergengsi, telah membuatnya termarginalisasi dalam waktu yang lama.


Film animasi, bukan sekadar “bentuk lain” dari film, tapi juga setara dengan film live action. Film animasi bisa memiliki kekuatan naratif, estetika, dan teknis yang sama penting dan kompleksnya dengan live action.


Mengasosiasikan film animasi sebatas hiburan ringan untuk anak-anak, tidak adanya "kamera nyata", "pencahayaan nyata", hingga "akting nyata" membuat kedudukannya menjadi terdegradasi, teralienasi, dan berada “di bawah” film live action, yang dinilai digarap dengan serius.


Menurut Alan Choloddenko dalam esainya  “‘First Principles’ of Animation” dalam buku Animating Film Theory (2014), animasi tidak terbatas pada film, karena ia juga adalah ide, konsep, proses, pertunjukan, dan medium.


Karena itulah, sudah selayaknya film animasi tidak lagi dipandang sebelah mata. Dengan kompleksitas yang dikandunganya, film animasi bisa punya tingkat “keutuhan” yang sama dan sejajar dengan film live action.


Animasi dan live action adalah dua format dalam film, bukan berarti animasi menjadi subkategori atau cabang dari live action. Kesejajaran dua bentuk film ini bisa dilihat dari segi artistik, teknis, karakter, maupun kekuatan naratifnya.


Film Jumbo tampak betul dibuat dengan kompleksitas produksi dan teknis yang mumpuni, yang bahkan bisa jadi lebih rumit dari pembuatan film live actionPenonton akan melihat bagaimana karakter Don, Nurman, Mae, Meri, dan Atta ditampilkan dari berbagai sudut, serta lingkungan dan dunia di sekitarnya. Desain karakter harus lengkap dengan ekspresi, kostum, gestur, hingga warna yang konsisten. Belum dari segi voice over, kita melihat bagaimana sinkronisasi antara ekspresi dan gerakan mulut karakter di film Jumbo sangat sesuai. Dari sisi produksi, kerumitan tentu terasa karena melibatkan banyak orang, Jumbo sendiri dikerjakan oleh lebih dari 420 kreator di dalamnya.

Foto: Instagram.com/visinemastudios

Dari segi penyutradaraan misalnya. Mengarahkan aktor di film live action tentu lebih mudah, karena mengarahkan aktor secara langsung di lokasi, sementara sutradara film animasi bekerja dengan voice actor dan animator untuk membangun ekspresi dan akting karakter. Butuh kemampuan untuk menerjemahkan emosi manusia ke dalam gerakan visual, dan keterampilan teknis ini, tampaknya sangat dikuasai betul oleh Ryan Adriandhy, sutradara film Jumbo.


Akting dan Perkembangan Karakter Tokoh Animasi di Film Jumbo

Foto: Instagram.com/jumbofilm_id dan Imdb.com

Dalam film live action, aktor menjadi salah satu hal sentral yang paling terlihat oleh penonton. Wajah, ekspresi, dan performa aktor adalah titik fokus utama yang membawa cerita, menyampaikan emosi, dan menghidupkan karakter.


Meski tidak dilakukan secara langsung oleh aktor di depan kamera, akting tokoh animasi dihasilkan melalui perpaduan antara suara (voice acting) dan gerakan karakter yang dianimasikan.


Di samping aktor dan aktris yang menjadi pengisi suara tokoh animasi, dalam buku The Fundamentals of Animation (2016) yang ditulis Paul Wells dan Samantha Moore disebutkan bahwa animatorlah yang menciptakan performance dari karakter melalui visual, performance yang mengekspresikan pikiran dan emosi tokohnya. 


Diperlukan kepaduan antara pengisi suara dalam menyampaikan dialog, emosi, artikulasi, intonasi, yang sesuai dengan kepribadian tokoh yang juga sesuai dengan gerak bibir, gerak tubuh, gestur, dan ekspresi yang dibuat oleh animator.


Bukan hanya pada tokoh Don, sebagai tokoh utamanya yang memang harus kaya ekspresi dan kekhasan yang mudah dikenali. Kita juga akan melihat ekspresi yang begitu detail dari tokoh-tokoh lainnya. Kita bisa melihat karakterisasi yang berbeda antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Kita bisa melihat layer emosi yang berlapis, terutama pada tokoh Don dan Atta. Don yang dalam cerita ini menjadi korban perundungan dari Atta, nyatanya tidak memiliki sifat yang hanya baik saja, seperti tipikal korban pada umumnya. Don digambarkan juga sebagai anak yang agak menyebalkan, dengan janji yang ia ingkari pada Meri untuk membantunya mencari arwah orang tuanya setelah dibantu untuk pentas, dan bagaimana Don diperlihatkan juga sebagai anak egois yang tidak mau mendengarkan omongan teman-temannya. 


Sementara Atta, penonton akan dibuat bersimpati pada tokoh perundung yang satu ini. Karena meski ia sering meledek Don, Atta sendiri menyimpan luka, yang membuatnya mengenal emosi hanya dalam bentuk amarah yang ia lampiaskan dalam bentuk penindasan kepada orang lain yang dianggap lebih lemah.


Kita melihat dua karakter yang berkembang begitu menonjol dalam film ini, selain tokoh utamanya yaitu Don, juga tokoh Atta. Don yang hanya mau didengar, akhirnya belajar juga untuk mendengarkan. Sementara Atta, yang awalnya sering meledek Don bahkan sampai mencuri buku dongeng Don agar bisa menghalangi Don ikut pentas, akhirnya minta maaf pada Don dan membantu Don untuk ikut mencari arwah orang tua Meri. Anak-anak tersebut berubah karena belajar dari apa yang mereka alami dan rasakan, bukan bergerak atas suruhan atau perintah orang dewasa di sekitar mereka.

 

Menggugah Stereotip Boy’s Don't Cry

FotoInstagram.com/jumbofilm_id dan Tiktok.com/@visinemaid

Jumbo, yang membicarakan childhood trauma, anak kecil yang kehilangan kedua orang tuanya, mengangkat persoalan penting, tentang bagaimana anak laki-laki menunjukkan emosinya dan kerapuhannya. Sekian lamanya, anak laki-laki diajari untuk jangan menangis, jangan rapuh,dan jangan menunjukkan kelemahan yang menurut Bell Hooks, feminis asal Amerika Serikat dalam bukunya The Will to Change: Men, Masculinity, and Love (2004) bukan hanya sekadar sebuah tradisi, tapi juga budaya patriarki, ketika anak laki laki diharuskan menyangkal serta menekan kesadaran emosional dan kapasitas mereka untuk merasa.


Pemikiran patriarki seolah mendorong anak laki-laki mengklaim amarah menjadi jalan menuju kejantanan, yang menurut pandangan Hooks sebagian besar amarah yang diungkapkan tersebut merupakan respons terhadap tuntutan agar mereka tidak menunjukkan emosi lain. Kemarahan ini, menurut Hooks biasanya menjadi tempat persembunyian dari rasa takut dan sakit.


Persoalan antara anak laki-laki dengan emosinya ini digambarkan begitu apik oleh Ryan bukan hanya pada karakter Don, tapi Juga Atta.


Penonton bisa dengan jelas melihat Don bisa sangat mudah mengekspresikan emosinya, seperti menangis, sementara Atta hanya bisa tampak menjadi pembenci, untuk mengekspresikan kesedihannya atas hidupnya yang tidak bahagia. Walau memang tampak sedikit menggurui di bagian kakaknya Atta yaitu Acil yang mengatakan agar jangan melampiaskan rasa marahnya kepada orang lain, tapi, karena ini film yang memang berbicara pada anak-anak, terkadang pesan semacam itu memang harus tersurat, bukan hanya tersirat.


Kisah anak laki-laki yang menunjukkan kerapuhannya dengan adanya adegan menangis mungkin beberapa kali juga kita temui di film animasi produksi Disney dan Pixar. Seperti Coco (2017) dan Elio (2025) misalnya. Kita melihat bagaimana anak laki-laki bergulat dengan rasa kesepian dan kesedihannya.


Pentingnya laki-laki untuk merasakan dan menyalurkan emosinya bukan hanya tergambar oleh karakternya saja, bahkan tercermin pada penggalan lirik lagu “Selalu Ada di Nadimu” yang menjadi soundtrack filmnya. 


“Sedikit demi sedikit

Engkau akan berteman pahit

Luapkanlah saja bila harus menangis”


Sebuah jalinan narasi yang saling berkelindan. Ini menegaskan peran lagu sebagai penggerak dan nyawa dalam cerita. Sehingga tak heran soundtrack film ini juga begitu membekas. Lagu “Selalu Ada di Nadimu” yang dinyanyikan oleh Bunga Citra Lestari ini bukan hanya menjadi pengiring atau pelengkap adegan tertentu, tapi juga menjadi pengisi cerita. 


Lagu ini lahir dari buku dongeng Pulau Gelembung yang dibuat oleh ibunya Don. Terdapat sebuah partitur lagu di bagian belakang bukunya yang tersembunyi yang ditemukan oleh Don. Lagu ini jugalah yang membuat pementasan Don semakin memukau. Ibunya tidak hanya “mewariskan” dongeng dan cerita, tapi juga lagu yang sarat makna.

Foto: Youtube.com/@ITSMEBCL

Lagu ini pun punya ruangnya tersendiri untuk tumbuh besar dan menjalar lebih luas menjangkau banyak pendengar, baik yang sudah menonton filmnya, maupun mungkin yang belum menonton. Di YouTube sendiri, videonya sudah ditonton kurang lebih 26 juta kali sejak dirilis pertama kali di bulan Maret 2025 atau selama 3 bulan.


Ini mengingatkan kita pada sebagian besar film animasi Disney yang soundtrack-nya begitu memorable, seperti lagu “Let it Go” di film Frozen atau “A Whole New World” di film Aladdin. Dengan lagunya yang begitu fenomenal, maka tak heran jika meski film ini turun layar, lagunya mungkin masih segar dalam ingatan. Menarik melihat bagaimana kekuatan musik menguatkan filmnya, sekaligus membuka peluang untuk filmnya bisa terus dibicarakan dalam waktu yang lebih lama.


Kembali kepada bagaimana film ini memotret anak laki-laki yang diberi ruang untuk merasakan emosinya, menariknya lagi, kerapuhan laki-laki ini bukan hanya diperlihatkan dari tokoh anak-anaknya saja, tapi juga pria dewasa yang ada di film ini. Tokoh Pak Kades (Kepala Desa) yang menjadi tokoh antagonis di film ini juga diperlihatkan menangis ketika makam istrinya harus digusur. Meski pada akhirnya kesedihan itu berujung pada dendam yang melahirkan bahaya bagi Don dan kawan-kawan. Pada tataran level tertentu, memang ada hal-hal di luar kendali serta ekspektasi yang bisa menjadi konsekuensi buruk dari sebuah perasaan. 


Namun, tulisan ini tidak hendak mengarah ke sana, tapi lebih kepada bagaimana keunikan pengalaman laki-laki, baik anak-anak maupun dewasa, yang tidak melulu harus menjadi yang kuat dan tangguh, tentu boleh saja juga untuk menjadi yang lemah dan rapuh.

Foto: Youtube.com/@VisinemaPictures


Kerapuhan ini juga tampak terwakili oleh gambar gelembung dan ide cerita Pulau Gelembung dalam buku yang ditulis ibunya Don. Jika kisah dongeng dinominasi oleh kisah seorang putri yang perlu diselamatkan oleh pangeran, kisah dongeng Pulau Gelembung, bercerita tentang Ksatria Kecil yang ditinggal oleh ayah dan ibunya untuk menenangkan awan dan kilat-kilatan petir. Ksatria Kecil itu hanya ditemani oleh ombak dan teman-teman gelembungnya. Gelembung, menjadi teman-teman khayalan untuk Ksatria Kecil.


Gelembung, begitu ringkih, tapi juga menguatkan dan melindungi Don. Kita melihat bagaimana gelembung ini menghibur Ksatria Kecil dan juga bermunculan di panggung pentas Kampung Seruni saat Don dan Meri bernyanyi bersama.


Gelembung itu menjadi sebuah simbol, tentang keindahan yang sementara dan kesenangan yang rapuh, serta perlindungan yang menenangkan.

 

Solipsisme: Don dalam Dunia Gelembung


Jika tulisan di atas dijelaskan gelembung dalam perspektif yang indah, rapuh, dan melindungi, kita juga dihadapkan lagi pada makna gelembung lain yang juga tersirat dan agak bergeser. Gelembung dalam dunia Don dapat dimaknai pada keterbatasan Don yang hanya dapat memahami dirinya sendiri tanpa mampu memahami “dunia di luar gelembungnya.


Dalam algoritma internet misalnya, kita mengetahui ada istilah filter bubble, di mana algoritma dipersonalisasi berdasarkan riwayat pencarian, interaksi dan informasi dari pengguna, sehingga konten yang disajikan kepada kita sudah terasing hanya yang relevan dan kita sukai, ini menciptakan "gelembung" informasi yang terbatas pada kita. Masih dalam dunia digital, filter bubble ini bisa berdampak pada echo chamber, sebuah ruang gema di mana seseorang hanya terpapar informasi yang sejalan dengan keyakinannya sendiri, sehingga mengabaikan dan menghindari informasi yang berbeda.


Kedua hal ini mengantarkan kita pada paham solipsisme, pandangan yang percaya bahwa hanya diri kita yang benar-benar ada, sementara orang lain, di dunia luar tidak terakui eksistensinya sehingga kita dapat terjebak pada "dunia gelembung". Dunia yang memerangkap kita pada keyakinan, pemahaman dan persepsi kita sendiri.


Inilah yang juga terjadi pada Don. Don hanya berkutat pada keinginannya untuk tidak dirundung lagi, keinginannya untuk tampil baik di pentas, sehingga dia tidak memedulikan Meri yang perlu mencari orang tuanya di rentang waktu yang semakin mepet dan terbatas, Don juga berpusat hanya pada dukanya sendiri, kehilangan orang tua tanpa mencoba memahami bagaimana jika itu terjadi pada Meri, yang juga harus terpisah dengan orang tuanya (walau sudah menjadi arwah). Don juga sudah tampak terbiasa selalu ditemani dan dibela oleh Nurman dan Mae, selain itu Don juga punya nenek yang selalu diandalkannya meski ia sudah yatim piatu.


Semua itu, membuat Don kesulitan mendengarkan sudut pandang orang lain serta sukar untuk berempati dan membayangkan pengalaman batin orang lain. Kita dapat merasakan bahwa gelembung ini adalah batasan dunia Don yang berkutat hanya pada diri dan pikirannya sendiri yang sejatinya hanyalah ilusi.


A.J Ayer dalam bukunya Language, Truth and Logic (1936), menjelaskan bahwa seorang solipsis, berpendapat bahwa tidak ada orang lain selain dirinya yang ada, atau setidaknya tidak ada alasan yang kuat untuk menganggap bahwa ada orang lain selain dirinya sendiri. Ini karena anggapan bahwa pengalaman orang lain tidak mungkin menjadi bagian dari pengalamannya sendiri, sehingga ia tidak memiliki dasar sedikit pun untuk mempercayai keberadaan orang lain.


Seorang solipsis memang tidak mengakui eksistensi orang lain sebagai subjek yang nyata. Mungkin, karena Don tahu memang Meri bukanlah sosok yang nyata, sehingga dengan mudahnya Don mengabaikannya begitu saja. Akan tetapi, karena Meri yang kecewa, perlahan membuat Don kehilangan "teman nyata" yang selalu ada untuknya, yaitu Nurman dan Mae. Terlebih ketika Mae berkata pada Don yang menyudutkan Don bahwa dirinya hanya mau didengar tapi tidak mau mendengarkan orang lain.


Doktrin solipsistik ini menurut Ayer adalah hal yang salah dan ia keberatan serta menyangkalnya. Bagi Ayer, untuk mencapai keyakinan yang memiliki dasar rasional, sering kali perlu dicapai melalui cara yang tidak rasional, berdasarkan fakta bahwa terdapat kemiripan yang nyata antara perilaku orang lain dan perilaku saya sendiri dapat membenarkan keyakinan akan keberadaan orang lain yang pengalamannya tidak dapat saya amati secara kasat mata, yang ia ibaratkan bayi yang memperoleh keyakinan akan keberadaan orang lain secara intuitif.


Don pun mulai memahami dan berempati pada Meri dengan proses yang melibatkan intuisi. Don yang awalnya berkeras hati enggan membantu Meri meski dirinya telah dibantu duluan karena mementingkan tampil kedua kalinya di pentas, secara intuitif memutuskan untuk menolong Meri ketika ia merasa ikut serta kehilangan teman yang lainnya, yaitu Nurman dan Mae yang membuatnya kembali memeluk rasa kesepian yang memang telah ada sejak dirinya kehilangan kedua orang tuanya.


Pada momen ini, kita akan melihat titik balik dari sang tokoh utama. Bagaimana Don, keluar dari "dunia gelembung" yang hanya berisi dia dan pikirannya, untuk mulai menyadari dan memahami orang lain. Keluarnya Don dari gelembung sempitnya itu menjadi jembatan yang sepertinya terhubung kembali ke pembahasan awal soal film ini, tentang bagaimana film Jumbo sebagai film animasi, mencoba menggugat hierarki industri. Bagaimana Don melihat Meri yang tidak nyata itu, yang hanya sesosok roh dan bukan manusia, mendapat tempat juga dalam pikiran Don untuk terakui eksistensinya. Sama halnya bagaimana film animasi, yang terbuat dari aktor, dan penyusun elemen film lainnya — yang dianggap tidak “nyata” mempunyai ruang dalam tatanan kesadaran yang setingkat dengan film yang unsur estetikanya dianggap “lebih nyata” — film live action.


Pada akhirnya, film Jumbo menjadi film animasi yang fenomenal, bukan hanya sekadar karena kualitas gambarnya sudah menyamai film produksi Disney atau Pixar, tapi karena memiliki kekuatan naratif, teknis, dan artistik yang dibangun dengan kematangan yang membuatnya sangat layak, – dirayakan berjuta-juta pasang mata. 


Karena itulah juga, sudah selayaknya kembali kepada kalimat di atas, yaitu tidak memasukkan film animasi dalam subkategori film live action, dalam ajang penghargaan atau apresiasi, ada baiknya film animasi, seperti Jumbo ini misalnya, tidak hanya dikompetisikan dalam satu kategori dengan sesama film animasi saja, tapi dipertimbangkan untuk dinilai bersama dengan film live action lainnya dan pantas untuk diperhitungkan serta dinilai seluruh elemen sinematik di dalamnya.



 

Daftar Pustaka

 

Ayer, Alfred Jules. 1936. Language, Truth, and Logic. London: Penguin Books

Beckman, Karen, (editor). 2014. Animating Film Theory. Durham: Duke University Press.

Hooks, Bell. 2004.The Will to Change: Men, Masculinity, and Love. New York: Atria Books

Wells, Paul, and Samantha Moore. 2016. The Fundamentals of Animation. New York: Bloomsbury Publishing