Membedah Agency Perempuan dalam Diri Istri yang Berduka di Karakter Sore
Film
Sore: Istri dari Masa Depan (2025) menceritakan tentang Sore
(Sheila Dara) seorang istri yang ditinggal meninggal suaminya Jonathan (Dion
Wiyoko) karena sakit jantung yang diakibatkan gaya hidup tidak sehat. Ia pun
kembali ke masa lalu untuk mengubah hidup suaminya tersebut menjadi lebih baik,
dengan harapan, mereka bisa hidup bersama lebih lama. Namun, ia harus
berulang-ulang kali kembali ke masa lalunya karena harus berhadapan dengan
waktu yang menjadi hambatan utamanya.
Film
romantis ini telah mendapat lebih dari 3 juta penonton. Ulasan mengenai film
ini pun bertabur begitu banyak dengan isian yang sangat beragam di media
sosial. Satu hal yang menarik dari maraknya ulasan tersebut, ada juga yang
merasa cemas film ini mempromosikan konservatisme, hubungan yang tidak sehat,
serta ketimpangan relasi antara suami dan istri.
Apakah
Sore bertolak begitu jauh dari semangat kesetaraan hubungan antar pasangan?
Apakah Sore, terjebak dalam ruang sempit yang menegasikan keutuhannya sebagai
seorang perempuan? Kedua pertanyaan itulah yang menggelitik saya untuk membuat
tulisan ini dan mencoba menyelami, memahami, dan membedah karakter Sore dari
berbagai lapisan yang menyusunnya.
Menyelami
Kedukaan Sore di antara Permukaan dan Kedalaman
Sekilas,
mungkin kita akan memandang Sore dari satu sisi; seorang istri yang ingin
mengubah hidup suaminya menjadi lebih baik. Tidak diceritakan latar belakang
Sore dan masa depan Sore selain hanya sebagai istri dari suaminya Jonathan.
Namun, jika kita melihatnya lebih dekat lagi, Sore memiliki banyak sisi yang
cukup kompleks. Karakter ini punya banyak lapisan, yang bisa kita kupas dari
permukaan hingga kedalamannya.
Berulang
kali kita akan mendengarkan Sore memperkenalkan dirinya seperti ini: “Hai, aku
Sore, istri kamu dari masa depan” saat Jonathan terbangun di suatu pagi di
kamar tidurnya. Sore seolah-olah tidak punya identitas lain selain hanya
sebagai istri Jonathan. Tak punya tujuan lain selain ingin mengubah hidup
suaminya menjadi lebih baik agar tidak mati muda di masa depan.
Bahkan
kita juga melihat bagaimana ketika Sore membuat pilihan berbeda dengan diberi
kesempatan menjadi fashion designer di sebuah butik, justru kembali ke
putaran hidup monotonnya yang tak berkesudahan, membawa misi menyelamatkan
suaminya. Sangat mudah membuat penonton jatuh kepada penghakiman, bahwa Sore
sangat berlawanan dari semangat progresivisme dan kembali menempatkan perempuan
pada posisi rentan atas konstruksi sosial yang telah lama diperjuangkan untuk
hubungan antara pria dan wanita yang sehat dan setara.
Sore
memang tampak berjuang sendirian, Sore sebegitunya mengorbankan dirinya demi
menyelamatkan suaminya, Sore yang nama belakangnya adalah “Istri Jonathan dari
masa depan”, menjadi tokoh yang seolah melanggengkan konservatisme dalam
hubungan relasi suami-istri. Istri yang menjadi penyelamat, istri yang harus
dibebankan tugas mengubah suaminya menjadi manusia yang lebih baik, sementara
sang suami sulit berubah, tidak terbuka akan perasaannya atas trauma masa
kecilnya sehingga sang istri harus berperan juga menjadi “penyembuh” luka yang
diderita suami.
Melihat
Sore yang telah dijabarkan di atas, memang membuat kita sebagai penonton akan
mudah mengatakan bahwa sang pembuat film, dalam hal ini Yandy Laurens sebagai
sutradara sekaligus penulisnya seolah menempatkan perempuan kembali menjadi
hanya memiliki satu tugas di dunia yaitu menjadi penyelamat dari laki-laki,
yang bahkan tampak menolak untuk diselamatkan, karena beberapa kali Jonathan
kedapatan diam-diam tetap melakukan kebiasaan buruknya. Namun, apakah begitu?
Kita
melihat rasa cinta dari Sore bukan karena keharusan, tapi lahir dari pilihan;
jika harus mengulang ratusan kali pun, ia akan tetap memilih Jonathan menjadi
suaminya.
Sore
adalah perempuan yang bertindak, perempuan yang memilih untuk mencintai. Cinta
yang digenggam Sore, merupakan buah dari kebebasan pilihan dan merasakan. Ia
menjadi istri berdasarkan kesadaran penuh, bukan perintah, perjodohan atau
paksaan. Identitas istri, bukan label yang mengekang, tapi identitas dalam
relasi yang dipilihnya dengan sadar.
Sore
yang tahu Jonathan akan mati di masa depan, tidak hanya duduk diam menyaksikan
dan pasrah, dan berusaha mencoba mengubahnya, karena ia yakin ia bisa
melakukannya. Ini jelas bukan gambaran ketundukan, melainkan perlawanan. Ia
melawan waktu, ia menolak pasrah. Sore tidak kehilangan otonomi personalnya,
meski semua tindakannya diarahkan oleh pengalaman emosionalnya. Keputusan hidup
Sore, termasuk mengulang-ulang perannya menjadi istri Jonathan, tidak
dikendalikan oleh dogma.
“Memilih
mencintai berarti membuka diri terhadap kedukaan, bahkan termasuk duka yang tak
berujung. Membiarkan diri kita berduka atas kehilangan orang yang kita cintai
adalah ekspresi dari komitmen kita.” Kalimat ini ditulis oleh penulis yang juga
feminis asal Amerika Serikat, Bell Hooks dalam bukunya All About Love
(2000).
Lebih
lanjut, Hooks menjelaskan juga mengenai bagaimana mencintai juga menjadi bagian
dari kekuatan perempuan dalam bukunya Communion: The Female Search for Love
(2002)
“Liberated
women did not ‘fall in love’, we chose to love – that was different from
falling in love. Choosing meant that we exercised will, power, and
agency. Falling implied a loss of power, the possibility of victimhood.”
(Hooks,
2002, hal. 37)
Layaknya
Sore yang memilih mencintai, Sore jugalah yang memilih caranya berduka,
dituntun oleh rasa cintanya, mengantarkan dirinya sampai ke Antartika dan
membuatnya kembali ke masa lalu, jauh sebelum Jonathan mengenal Sore. Dari
pilihan yang dibuatnya, lahirlah kekuatan, untuk menaklukan hal-hal yang
senantiasa selalu mengalahkannya; Waktu. Meski berkali-kali tampak kalah dalam
pergulatannya dengan waktu, Sore terus berupaya menyelesaikan misinya demi
kesuksesan tujuannya.
Sore,
Sang Dewi Sati-Parwati yang Berkelana di Linimasa Sisifus dan Orpheus
Sekilas,
kita akan melihat Sore adalah karakter yang sempit, tapi sama halnya yang
ditunjukkan dalam poster filmnya di mana ada banyak "wajah" Sore di
sana, begitu juga jika kita membedah lapisan atau layer demi layer yang
menyusun karakterisasi tokoh Sore. Kita akan melihat, irisan-irisan dari
kekayaan beragam emosi yang saling memagut dalam tokoh ini.
Karakter
Sore, memiliki irisan dengan sosok Dewi Sati-Parwati. Dalam buku Hindu
Goddesses, Vision of the Divine Feminine in the Hindu Religious Tradition
(1987) yang ditulis David Kinsley, dikisahkan Dewi Sati adalah istri dari Dewa
Siwa yang rela membakar dirinya ketika suaminya dihina oleh ayahnya. Namun, ia
pun bereinkarnasi menjadi Dewi Parwati dan kembali menjadi istri Dewa Siwa.
Jadi, istri pertama Dewa Siwa yaitu Dewi Sati dan istri keduanya yaitu Dewi
Parwati, sesungguhnya adalah orang yang sama.
Pengorbanan
Dewi Sati menunjukkan sisi tragis dan penuh penderitaan dari seorang perempuan.
Dalam hubungannya dengan Siwa, Parwati adalah Sakti (energi ilahi) bagi Siwa.
Siwa digambarkan sebagai pertapa yang menyendiri dan pasif, namun bersama
Parwati, ia terlibat dalam dunia dan menjalankan tugasnya sebagai pencipta
serta pemelihara kehidupan. Parwati bukan hanya mendampingi, tapi juga
melengkapi dan menyeimbangkan Siwa. Karena itulah ada Ardhanarishvara, figur
yang menggambarkan Siwa dan Parwati bersatu dalam satu tubuh, setengah
laki-laki (Siwa) dan setengah perempuan (Parvati).
Kita
pun melihat sosok Dewi Sati-Parwati dalam diri Sore yang tampak “mengulang
hidup” berkali-kali (ditandai dengan dirinya mimisan dan selalu kembali ke awal
dia muncul di kamar tidur Jonathan). Dalam pengulangan Sore melintasi
waktu-waktu yang pernah dilalui dan dilewatinya berkali-kali, seolah
mengisyaratkan Sore juga telah “reinkarnasi” berkali-kali.
Peran
Parwati yang juga menjadi Sakti bagi Siwa, terlihat juga pada peran Sore di
hidup Jonathan. Ada adegan di mana Sore memberi saran pada Jonathan perihal
foto yang akan diikutsertakan pada pameran foto Jonathan. Jonathan pun
mendengar saran tersebut dan membuat keputusan atas dasar saran Sore itu.
Hasilnya, ternyata foto yang diajukan itu membuat Jonathan bisa berpameran.
Kita
juga melihat bagaimana Jonathan yang sulit berdamai dengan kemarahannya
terhadap ayahnya yang pergi dengan perempuan lain meninggalkan ia dan
keluarganya sejak masih kecil, perlahan mau menemui ayahnya dan memaafkannya.
Penonton tahu betul, itu semua terjadi atas berkat jerih payah Sore membantu
Jonathan.
Belum
lagi Jonathan yang awalnya malas-malasan olahraga, jadi mau bergerak juga,
terlebih pada akhirnya, Jonathan sungguh-sungguh melepas semua kebiasaan
buruknya, yang tampak seperti karena “usaha atau keinginannya sendiri” itu
sebetulnya adalah buah dari usaha Sore. Karena kita melihat jelas ketika
Jonathan mulai berubah ke arah lebih baik, di saat yang sama itu, Jonathan juga
merasakan kehilangan yang sulit ia jelaskan. Ia merasakan merindukan sesuatu
yang ia sendiri tidak tahu itu apa.
Nel
Noddings, seorang feminis Amerika dalam bukunya Caring, A Feminine Approach
to Ethics and Moral Education (1984) mengatakan bahwa dalam relasi orang
yang peduli (the one-caring) dengan orang yang dipedulikan (the
cared-for) ada saling ketergantungan. Ini juga yang terlihat dari hubungan
Sore dan Jonathan.
Meski
sekilas tampak hanya Jonathan yang sepertinya bergantung pada Sore, karena Sore
hadir sebagai "penyelamat" hidupnya, namun Sore pun sebetulnya
bergantung pada Jonathan. Betapa Sore sebegitunya tidak ingin Jonathan
mati muda, lebih dulu meninggalkan dirinya. Noddings menekankan perlu adanya
timbal balik (reciprocity) dalam kepedulian yang diberikan. Dan timbal
balik ini tidak selalu harus berupa "bentuk yang sama". Kita yang
tahu bagaimana perjuangan Sore berusah payah mengubah Jonathan, mungkin akan
menganggap, Jonathan "tidak melakukan apa-apa" atau "tidak
melakukan hal yang sebanding".
Noddings
menjelaskan bahwa dalam peran yang dimainkan oleh yang merawat dengan yang
dirawat, timbal balik ini bisa berupa "penerimaan" perhatian oleh
yang dirawat terhadap pihak yang merawat. Perubahan diri Jonathan, adalah
bentuk dari Jonathan menghargai dan menerima kepedulian yang telah diberikan
dan ditanamkan oleh Sore.
Relasi
peduli antara keduanya berlanjut lewat transformasi yang terjadi pada diri
Jonathan. Balasan atau timbal balik Jonathan mungkin di mata penonton tidak
seluar biasa yang dilakukan Sore, namun balasan berupa penerimaan dan
transformasi itu menunjukkan bahwa kepedulian Sore sampai padanya. Respons
pihak yang dirawat tidak harus mengembalikan pedulian dalam ukuran yang sama,
karena dengan menerimanya, melakukan perubahan dirinya, itu juga berarti
memberi kembali kepada pihak yang merawat. Secara literal, Jonathan juga
mengungkapkan perubahan dirinya dalam dialog, “orang berubah bukan karena rasa
takut, tapi karena dicintai”.
Dari
karakterisasi Sore yang mengambil sedikit wajah Sati-Parwati, kisahnya yang
dikemas dalam model time loop ternyata juga berkelana ke masa yang
begitu jauh. Pengulangan Sore melakukan usaha yang sama berkali-kali itu
mengingatkan kita pada kisah Sisifus.
Sisifus
dihukum oleh Zeus selamanya mendorong sebuah batu besar ke puncak bukit, dan
setiap hampir sampai, batu itu selalu menggelinding kembali ke bawah, sehingga
ia harus mengulanginya terus menerus. Sore yang terus mengulang-ngulang
peristiwa yang sama tampak seperti sedang menjalankan hukuman tersebut, sebuah
absurditas yang berupa upaya mengerjakan kesia-siaan.
Lebih
lanjut, kita beranjak lagi ke mitologi Yunani yang lain, kita akan menemui Sore
dalam kisah Orpheus. Istri Orpheus, yaitu Eurydice tewas karena gigitan ular.
Orpheus pun pergi ke dunia bawah (Underworld) atau tempat roh orang mati
yang dipimpin oleh Hades dan Persephone. Orpheus memohon kepada Hades agar
Eurydice dihidupkan kembali. Hades menetapkan satu syarat. Setelah meninggalkan
dunia bawah ini pasangan itu dilarang melihat ke belakang. Namun, karena
Orpehus melanggarnya, saat itu Eurydice hilang untuk selamanya.
Meski
tampak adanya irisan antara karakter Sore dengan Dewi Sati-Parwati dan kisahnya
yang berpola seperti paduan Sisifus dan Orpheus, terdapat perbedaan yang juga
sangat kentara jelas.
Jika
Sati harus mati dulu dengan begitu tragis ditelan kobaran api, dan terlahir
kembali menjadi pribadi baru, Sore hanya mengalami mimisan dan hidup kembali
berkali-kali tetap menjadi Sore.
Jika
Sisifus yang terus melakukan hal sia-sia, pada Sore, hal yang tampak sia-sia
dan tak berujung itu pada akhirnya menampakkan hasilnya. Jonathan pada akhirnya
berubah, meski perubahan itu didorong oleh kemauan dirinya sendiri, kesadaran
yang didapati Jonathan untuk berubah itu sedikit banyak, berasal dari Sore dan
hasil dari perjuangan serta upaya Sore yang sudah berkali-kali itu.
Berbeda
juga dengan Orpheus yang gagal dan kehilangan Eurydice untuk selamanya, takdir
Sore dan Jonathan lebih manis. Mereka kembali dipertemukan, kembali bersama
dalam kondisi Jonathan yang sudah berubah lebih baik, yang berpotensi besar
memiliki hidup yang lebih panjang.
Kisah
Dewi Sati-Parwati, Sisifus dan Orpheus berasal dari abad-abad yang jauh, namun
melalui Sore, Yandy bisa menyatukan kepingan dari waktu-waktu yang begitu
lampau, menjadi kesatuan dari keindahan yang klasik sekaligus modern, dengan
karakter Jonathan yang seorang fotografer dan Sore yang seorang fashion
designer, hingga kehadiran aurora, membuat cerita Sore menjadi sangat kekinian.
Memperbaiki
masa depan dengan mengubah masa lalu mungkin menjadi mimpi banyak orang.
Penyesalan yang kita jalani di masa kini, adalah bentuk dari rangkaian
keputusan-keputusan yang mungkin tidak tepat dan bijak di masa lalu.
Manusia
yang hidup penuh harapan, mengira bahwa dengan membuat keputusan yang berbeda
di masa lalu dapat mengubah masa depan, dalam hal di kehidupan Sore adalah
tentang kematian.
Dia
tak ingin suaminya mati muda, meninggal duluan meninggalkan dirinya karena
serangan jantung yang digambarkan akibat gaya hidup tidak sehat dari suaminya
yang telah bertahun-tahun dilakoninya, yaitu merokok dan minum minuman keras.
Tampak
begitu misi yang mulia sekali dari seorang istri yang saking begitu mencintai
suaminya dengan begitu besarnya rela melintasi ruang dan waktu, bahkan
berkali-kali, dengan kegagalan yang berulang kali demi bisa memperpanjang usia
masa hidup suaminya di masa depan, yang entah pada akhirnya suaminya tetap
meninggal cepat atau tidak, tentu tidak ada yang tahu. Tapi perjuangan dan
upaya mengubah takdir dengan mengakali waktu yang dilakukan Sore yang
diperankan oleh Sheila Dara patut diacungkan jempol. Kita seperti melihat drama
tragis ala Shakespeare seperti Romeo dan Juliet serta Hamlet
dalam balutan cinta sederhana yang luar biasa.
Transformasi
Sore dan Jonathan dalam Relasi Kepedulian
Ada
sebuah adegan di mana Sore mengatakan bahwa membayangkan kehidupan paralel
hanyalah perkara kesombongan manusia. Nyatanya dialah manusia yang sombong itu,
yang bahkan tanpa mencipta mesin waktu dalam bentuk apa pun, bisa berkali-kali
bolak-balik ke masa lalu.
Kesombongan
itu pun tertera jelas ketika ia bilang tidak ingin hilang ditelan waktu. Waktu
yang sudah segitunya berantakan dan kacau karena ia acak-acak sendiri
sedemikian rupa masih menyisakan harapan untuk bisa tetap mengakalinya,
memenangkan perjuangannya. Hingga ia menuju perdamaian, kerelaan, atas hal
sia-sia. Hal yang ia sejak awal tahu bahwa tak bisa ia ubah, yaitu: mengubah
hidup orang lain.
Hidup
karakter yang paling banyak berubah tentu adalah Jonathan. Yang pada akhirnya
meninggalkan kebiasaan buruknya itu karena keinginannya sendiri, setelah dia
juga mampu berdamai dengan kemarahan pada ayahnya bertahun-tahun lamanya.
Sebuah kesadaran yang luar biasa tumbuh walau penonton tahu, semua itu ada
campur tangan Sore yang seolah tidak kelihatan.
Sore,
juga bertumbuh. Penonton tahu bahwa ia tokoh yang paling punya tujuan jelas dan
mulia, pada akhirnya menyadari bahwa perjuangannya hanya akan bertemu
kemustahilan. Bahwa dia tahu manusia tidak bisa berubah hanya karena orang
lain, tapi tetap saja dilakukannya. Ia merelakan dirinya terjebak, dikutuk atas
kutukan yang ia buat dan ciptakan sendiri: jika harus diulang ribuan kali, aku
tetap memilih kamu. Sebuah gombalan yang di dalamnya penuh masokis, kerelaan
atas rasa sakit yang tak bisa hilang, kerelaan atas rasa sakit yang terus
berulang-ulang.
Barangkali
kita adalah Sore. Memiliki wajah Dewi Sati-Parwati yang punya cinta begitu
besar pada pasangannya hingga rela mengorbankan apa pun, atau Orpheus yang rela
melakukan apa pun untuk mengembalikan pasangannya yang telah tiada, atau
mungkin juga Sisifus yang hidup dalam repetisi mengulang-ngulang menggendong
beban berat yang tak berkesudahan, yang tahu bahwa mungkin hanya berujung pada
kesia-siaan, tapi tetap bersikeras menjalaninya.
Pada
akhirnya, mungkin kita hanya perlu hidup penuh kerelaan. Seperti Sore, yang
pada akhirnya berdamai dengan itu semua, dengan hal-hal yang tidak bisa diubah
walau sekeras apa pun ia berusaha, walau pada akhirnya pun berubah dengan
sendirinya, justru di saat ia sudah menyerah.
Dengan
ketidaktahuan hasil akhirnya akan berbeda atau sama saja. Sore terus bergelut
dengan misteri kehidupan, waktu dan takdir yang ia coba terima tapi juga ia
coba akali, menggambarkan perpaduan antara manusia yang diatur, sekaligus
manusia yang mengatur — waktu.
Waktu:
Villain, Mentor, dan Fondasi Eksistensi Sore
Kita
melihat bagaimana Waktu memainkan peran dimulai ketika sore pingsang dan sempat
mengatakan “Dia marah”, dan Jonatan bertanya “Dia siapa”. Lalu munculah huruf
besar pada layar seperti di awal film mengenalkan tokohnya, Jonathan dan Sore:
yaitu Waktu.
Dalam
buku Being and Time (1967), Martin Heidegger menjelaskan Waktu, adalah
sesuatu yang menyusun eksistensi Dasein, manusia yang tidak statis dan selalu
bergerak antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Waktu
menurut Heidegger, bukanlah perihal detik, menit, jam, hari, atau tahun, tapi
soal bagaimana cara manusia mengalami hidupnya.
Inilah
yang juga sepertinya diamini oleh Yandy Laurens, Waktu, menjadi sesuatu yang
mengutuhkan karakter Sore. Karena itu dari awal kita tak tahu sebetulnya Sore
ini datang dari masa depan pada tahun berapa, dan dia kembali pada masa lalunya
di kamar tidur Jonathan itu juga di tahun berapa. Tak ada keterangan waktu sama
sekali yang diberikan pada penonton, karena waktu yang abstrak itulah yang
turut menyusun struktur eksistensi Sore.
Waktu menjadi masa yang tidak linear. Apa yang dimaksud "saat ini" merupakan sesuatu yang tanpa awal dan tanpa akhir. Konsep waktu, bukan sesuatu yang ada di luar diri manusia, melainkan struktur terdalam yang turut menyusun eksistensi manusia itu sendiri. Dasein menurut Heidegger adalah makhluk yang temporal, dan keterlibatan waktu di dalam diri Dasein, juga membuka kemungkinan-kemungkinan.
Konsep
Waktu di film ini, sama halnya seperti Sore, punya beragam wajah. Ada waktu
yang hidup dalam eksistensi Sore, ada waktu yang berada di luar diri Sore.
Karena itu kita akan melihat bagaimana Waktu ini, menjadi villain,
sekaligus mentor. Menjadi penghalang sekaligus pembimbing.
Waktu
menjadi mentor ketika “mengizinkan” Sore kembali ke masa lalu dan membuat Sore
pada akhirnya memahami bahwa sekeras apa pun ia berusaha, manusia hanya bisa
berubah jika keinginan itu berasal dari dirinya sendiri. Namun, Waktu juga
menghambat Sore dengan membuat Sore seperti berkali-kali “kehabisan” waktu
(yang ditandai dengan mimisannya itu). Namun, kita juga melihat sosok Waktu ini
tertanam dalam diri Sore, yang menjadikan Sore, entah dari masa depan yang
mana; mengada.
Waktu
yang inheren juga tampak menjadi waktu yang eksternal. Bukan hanya sesuatu yang
mengutuhkan Sore, tapi juga sesuatu yang ia alami, ia jalani, sekaligus ia
takuti dan perangi.
Karena
itulah ada kalimat kecemasan dari Sore yang dia katakan pada Jonathan, agar
dirinya tidak hilang ditelan waktu, yang sangat berkelindan dengan lagu
Barasuara Terbuang dalam Waktu dan pengulangan waktu yang seolah terasa
tanpa akhir itu juga semakin dikuatkan oleh lagu Hingga Ujung Waktu dari
Sheila on 7.
Yandy
melepaskan definisi waktu pada artinya yang sempit, menjadi waktu yang punya
beragam makna. Waktu, yang terbagi pada masa kini, masa depan, dan masa lalu ia
lepaskan dari jerat urutan serta kemelekatan definisi.
Agency
Perempuan Berduka
Kembali
kepada elaborasi dari pertanyaan-pertanyaan yang melahirkan tulisan ini. Apakah
Sore, memang menjadi representasi perempuan yang hidupnya hanya sebatas istri
dan tak punya agency serta mengecilkan eksistensi perempuan yang hanya
menjadi pendamping suami?
Kita
tentu tahu, bahwa semangat feminis juga adalah tentang perempuan yang berhak
untuk memilih identitas-identitas lain selain “hanya” sebagai istri dari
seorang lelaki. Namun, apakah dengan “hanya” menjadi istri, perempuan lantas
menjadi tak punya agency?
Agency,
sederhananya adalah kemampuan seseorang untuk bertindak menentukan pilihan
dalam hidupnya. Anthony Giddens dalam bukunya The Constitution of Society
(1984) menekankan agency sebagai kapasitas seseorang untuk melakukan
tindakan yang berbeda dalam peristiwa hidup yang dialaminya.
Kalimat
Sore yang berulang kali menyebutkan dirinya sebagai istri kamu dari masa depan
kepada Jonathan, bukanlah bentuk penyederhanaan peran dan identitas perempuan.
Judith Butler dalam bukunya Precarious Life: The Powers of Mourning and
Violence (2004) menyebutkan seseorang yang berduka, akan turut merasakan
kehilangan dirinya, yang kelak akan membantunya bertransformasi. Kehilangan
menghadapkan seseorang pada sesuatu yang misterius dan tersembunyi, yang tak
sepenuhnya bisa dipahami. Ketika kita merasa duka itu adalah sesuatu yang
sementara, bahwa pada tataran tertentu akan berakhir dan pemulihan dapat
tercapai, di situlah sesuatu tentang diri kita terungkap. Sesuatu yang
menggambarkan ikatan yang kita miliki dengan orang lain, yang menunjukkan kepada
kita, bahwa ikatan-ikatan ini membentuk siapa diri kita.
Dalam
buku itu Butler menjelaskan seorang "aku" yang kehilangan
"kamu", terutama jika ikatan dengan "kamu" telah membentuk
siapa diri "aku", kondisi ini bukan hanya membuat kita meratapi
kehilangan itu, tapi kita menjadi tak bisa memahami diri sendiri.
“Who
am I, without you? When we lose some of these ties by which we are constituted,
we do not know who we are or what to do.”
(Butler, 20024, Hal. 22)
Agency
perempuan yang tergambarkan dalam diri Sore, memang bukanlah agency yang
luar biasa hebat dan besar. Bukan agency yang ingin mengubah masyarakat,
negara, atau dunia. Agency yang ia miliki adalah mengubah dunianya, agar
bisa bersama lebih lama dengan orang yang dicintainya, dengan cara berusaha
mengubah kebiasaan buruk orang tersebut. Memang tampaknya begitu kecil dan
sederhana, sehingga mudah sekali dinafikan.
Daftar
Pustaka
Butler,
Judith. 2004. Precarious Life: The Powers of Mourning and Violence.
Verso: London.
Giddens,
Anthony. 1984. The Constitution of Society: University of California
Press: Berkeley
Heidegger,
Martin. 1967. Being and Time. Blackwell Publishers: Oxford
Hooks,
Bell. 2000. All About Love. William Morrow: New York.
Hooks,
Bell. 2002. Communion: The Female Search for Love. William Morrow: New
York.
Kinsley,
David. 1987. Hindu Goddesses, Vision of the Divine Feminine in the Hindu
Religious Tradition. Motilal Banarsidass Publisher: Delhi.
Noddings,
Nel. 1984. Caring, A Feminine Approach to Ethics & Moral Education. University
of California Press: Berkeley.