Selasa, 31 Agustus 2021

Balada Sepasang Kekasih Gila: Ketika Tuhan Menjadi Solusi di Tengah Dehumanisasi

Ketika kewarasan dan kegilaan melebur, kemanusiaan terkubur, ketuhanan justru menderas muncul. Itu yang tampak jelas dalam film berjudul Balada Sepasang Kekasih Gila yang diangkat dari novel berjudul sama yang ditulis oleh Han Gagas.


Film ini disutradarai oleh Anggy Umbara dan dibintangi oleh Denny Sumargo sebagai Jarot dan Sara Fajira sebagai Lastri. Jarot dan Lastri diceritakan sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang sudah tidak memiliki keluarga, tidak diterima masyarakat, kemudian saling jatuh cinta dan menikah, tapi sayangnya kisah romansa mereka harus berakhir tragis.


 

Ketimpangan Relasi Kuasa yang Membuat ODGJ Selalu Kalah

Tidak banyak film Indonesia yang mengangkat karakter ODGJ apalagi dijadikan sebagai peran utama. Mari kita lihat dari beberapa film yang rilis tidak jauh dari film Balada Sepasang Kekasih Gila yaitu Tak Ada yang Gila di Kota Ini (2019) dan film Selesai (2021).


Film Tak Ada yang Gila di Kota Ini merupakan karya sutradara Wregas Bhanuteja yang diadaptasi dari cerpen Eka Kurniawan. ODGJ dalam film ini terlihat disingkirkan sekaligus diperalat dengan menjadi objek pertunjukan yang memungut bayaran lumayan mahal dari para penontonnya yang mayoritas adalah turis asing.


Sementara di film Selesai, yang disutradari oleh Tompi, isu gangguan jiwa memang tidak menjadi isu utama dalam filmnya, hanya saja tokoh utama diperlihatkan berada di rumah sakit jiwa karena tekanan batin akibat ulah suami yang selalu selingkuh. ODGJ selalu menjadi orang yang kalah, berada di level yang lebih rendah dari orang-orang “normal”.


Untuk melengkapi pengalaman menonton Balada Sepasang Kekasih Gila, saya rasa penonton perlu menonton film dokumenter berjudul Memory of My Face (2019) produksi Elemental Productions.


Dalam film itu, sosok Bambang seorang ODGJ pengidap schizoaffective disorder bercerita tentang pengalamannya bagaimana dia awalnya sakit mental, yaitu ketika putus cinta dari cinta pertamanya, dan bagaimana dia juga memiliki keinginan untuk sembuh serta ingin mencari uang untuk membelikan buku untuk anaknya agar anaknya gemar membaca karena menurut Bambang hal itu penting untuk masa depan anaknya.


Film dokumenter ini menceritakan adanya sebuah upaya, kesadaran dari ODGJ untuk memiliki kehidupan yang normal yang sayangnya itu tidak ditemukan di film Balada Sepasang Kekasih Gila. Memang keduanya memiliki muatan isu yang agak berbeda.


Tapi, bukankah berakar dari kepedulian yang sama? Bahwa ODGJ punya derajat yang sama, bahwa kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan untuk bisa menerima ODGJ di lingkungannya, dan bahwa ODGJ perlu diperlakukan dengan manusiawi seperti layaknya manusia lainnya.  


Selalu ada kenyataan yang sengaja "dihidupkan" dalam sebuah film, demi realitas yang dibutuhkan untuk dibangun, bahkan dalam film dokumenter sekalipun. Sayangnya, kenyataan dalam film Balada Sepasang Kekasih Gila tidak berupaya untuk memberi harapan bahwa ODGJ punya harapan atau punya kesempatan untuk bisa memperbaiki hidupnya. Agar ODGJ tidak melulu ditampilkan sebagai orang yang hanya bisa kalah.


Padahal, sepertinya bisa cukup menarik jika ada sedikit cerita bagaimana Jarot dan Lastri mencoba untuk tidak melulu kalah. Apalagi Jarot yang sudah dinyatakan sembuh dengan jelas. Mungkin akan semakin menarik jika diperlihatkan adanya upaya mereka untuk bisa diterima di masyarakat atau pun upaya dari pihak masyarakat yang mencoba menerima mereka.

 

Sejak awal, sampai film berakhir, diskursus antar keduanya tidak pernah ada, karena yang tampil hanya selalu benturan dan pertentangan antara Jarot dan Lastri yang ODGJ dengan masyarakat yang “normal”. Bukankah akan lebih baik dan juga menarik jika diperlihatkan adanya tujuan kuat dari karakter serta perkembangan karakter, begitu pun perkembangan dunia di sekitarnya yang terus menerus melawan dan menolak mereka. Akan tetapi, itu tidak tampak dalam film ini.

 

Hanya ada satu adegan di mana segelintir orang mau mengakui mereka, yaitu ketika mereka hendak menikah di hadapan penghulu. Mereka dinikahkan sebagaimana mestinya. Mungkin, apakah memang hanya orang beragama yang punya nurani untuk berbuat kebaikan terhadap mereka? Rasanya, film ini masih menyimpan kenaifan semacam itu.

 

Padahal, sejak awal, diperlihatkan bagaimana Jarot kelaparan di jalan, tapi tidak ada yang mau memberikannya makan dan sampai akhir tidak jelas bagaimana Jarot keluar dari masalah kelaparannya itu. Seolah ketika dia menikah dengan Lastri, dia tidak lagi pusing soal rasa lapar lagi.

 

Tapi ya balik lagi misinya mungkin memang ingin memperlihatkan bahwa mereka yang sudah terpinggir akan terus terusir. Bahkan ketika mereka tinggal di kuburan di mana itu adalah tempatnya orang mati, masih saja mereka harus tergusur.

 

Jadi, tidak perlu heran jika kedua orang yang jelas-jelas kalah di awal cerita terlihat hanya akan terus menerus kalah sampai akhir cerita. Satu-satunya yang berhasil mereka menangkan adalah mereka berhasil bertemu lagi setelah sempat terpisah, mereka bisa bersama bahkan menikah. Mungkin kemenangan lainnya adalah kedua pasangan ini bahagia di alam yang lain karena tampak gambar Jarot dan Lastri yang bergandengan tangan dengan bahagia, di penutup film.

 

Kebahagiaan yang didapat di alam lain ini diperkuat dengan suara narator (yang sejak awal dikisahkan sebagai anaknya yang ternyata adalah anak yang tidak sempat terlahirkan ke dunia) ketika adegan Jarot dan Lastri yang (sepertinya) meninggal di kuburan yang menjadi tempat tinggal mereka itu, mengatakan, “kami pun sadar bahwa hal ini adalah yang terbaik untuk kita semua demi mendapatkan kebahagian sejati, nanti.” Bagian ini juga semakin menekankan aspek spiritualitas dan ketuhanan yang memang ditampilkan dari kedua karakter dalam film ini.

 


Kentalnya Spiritualitas dan Konsep Ketuhanan di Tengah Kebanalan

Sulit sekali rasanya membayangkan Jarot dan Lastri adalah dua manusia tak berakar yang lepas dari segala bentuk ikatan masa lalu dan latar belakangnya. Karena berbagai atribut identitas masih begitu melekat dari berbagai potongan dialog dan gestur karakter yang menurut saya amat disayangkan tidak ada penjelasan tentang bagasi seperti apa yang mereka bawa. Mungkin tidak penting bagi pembuat film karena pastinya akan sangat memperpanjang durasi.

 

Lastri mengaku dirinya beragama Kristen dan menyimpan Alkitab, sementara Jarot ketika ingin menolong Lastri dari orang-orang yang memaksanya kembali ke tempat pelacuran mengatakan, “Menyelamatkan satu manusia itu sama halnya dengan menyelamatkan seribu umat manusia, itu kata bapakku”. Kalimat ini merupakan bagian dari tafsir Al Quran Surat Al-Ma’idah Ayat 32. Jarot juga memilih menikahi Lastri karena dia takut berdosa kalau zina.

 

Konsep ketuhanan semakin kental terasa ketika suara narator yang sejak awal sampai akhir terdengar seperti ceramah. Narator mengucapkan kata-kata yang kurang lebih berbunyi “ketika kita mengenal diri kita berarti kita mengenal Tuhan kita”, ketika Jarot kelaparan menyusuri gang-gang sempit dan diusir pemilik warung yang bahkan lebih memilih memberi makan kucing dibanding dirinya. Jarot terus berjalan sampai dia di hutan berdialog dengan “Pelayan Tuhan” dan di sawah  merasa bisa melihat Tuhan.

 

Berbagai unsur ini semakin memperlihatkan bahwa di tengah dehumanisasi yang menimpa Jarot dan Lastri, ketuhanan masih menjadi sandaran yang diandalkan. Entah mengapa solusi dari kemanusiaan yang biadab masih dimuarakan pada persoalan ketuhanan. Seolah dengan bersandar pada pengalaman ketuhanan maka permasalahan dehumanisasi yang dialami ODGJ dapat selesai.

 


Masih Menyimpan Stigma

Sekalipun nilai kemanusiaan disorot begitu tajam, sayangnya, film ini masih menyimpan stigma negatif ODGJ. Padahal, film sebagai produk budaya menjadi tidak hanya menjadi perekam jejak peradaban sebuah bangsa baik secara gamblang maupun metaforik yang tidak selalu melulu ditarik ke realitas karena film bisa mencipta realitasnya sendiri yang bisa menggoyahkan kemapanan pemikiran sehingga ada tatanan baru yang bisa terbentuk.


Film ini belum menjadi film yang memiliki muatan perlawanan besar terhadap stigma. Sejak awal penonton akan mendengar Jarot yang teriak-teriak di rumah sakit jiwa karena dikurung dalam ruang isolasi yang sempit atau Lastri yang ngamuk ketika diganggu oleh anak-anak kecil. Memang aksi mereka ini merupakan sebuah reaksi dari pengalaman tidak menyenangkan yang mereka alami, tapi hal ini yang membuat Lastri diusir dari lingkungannya karena dianggap meresahkan warga sekitar.


Kemudian Lastri juga diperlihatkan membunuh para pemerkosanya. Sebuah tindakan yang memang sangat beralasan kuat, namun tetap saja menempatkan sosok ODGJ sebagai sosok pembunuh. Apalagi ketika membunuh, Lastri juga diperlihatkan sambil tertawa-tawa seolah begitu menikmatinya. Jarot pun diceritakan juga pernah membunuh orang yang jahat padanya, walau tidak dijelaskan terlalu rinci perbuatan jahat apa yang dilakukan orang tersebut sampai dia membunuhnya.


Stigma bahwa ODGJ menjadi rentan berbuat jahat atau tindakan kriminal masih melekat. Sepertinya permasalahan ini bukan hanya menjadi tantangan di film Indonesia, tapi juga di luar negeri. Dr. Stacy L. Smith, seorang Founder dan Director di Media, Diversity, and Social Change Initiative di Annenberg School for Communication & Journalism, University of Southern California, pernah mengungkap mengenai kecenderungan stigma ODGJ dalam film melalui penelitiannya yang berjudul Mental Health Conditions in FIlm & TV: Potrayals that Dehumanize and Trivialize Characters pada bulan Mei 2019 yang dapat dilihat di Annenberg.usc.edu


Dalam penelitian tersebut, Smith mengungkapkan bahwa kondisi kesehatan mental sangat jarang ditampilkan di film dan acara tv popular. Dari 4.598 karakter dalam 100 film terlaris yang tayang di tahun 2016, hanya sekitar 1,7% atau 76 karakter yang menggambarkan kondisi kesehatan mental. Bahkan ketika ditampilkan pun masih membawa stigma negatif.


Dalam tulisannya tersebut Smith lebih jauh mengungkap bahwa sekitar 47% karakter ODGJ di film selalu diremehkan dan dihina atau menjadi bahan ejekan berbalut humor. Sebagian besarnya  juga ditampilkan sebagai pelaku kekerasan. Sekitar 46% karakter ODGJ di film tampil agresi dan "berbahaya" bagi masyarakat yang diperkuat dalam penggambaran di film.


Melalui penelitiannya tersebut, Smith berharap bahwa pembuat konten dalam hal ini film dan televisi dapat berkolaborasi dengan para ahli untuk menggambarkan kondisi kesehatan mental dan pengalaman terkait dengan menghadirkan cerita yang tidak memberikan stigma dengan cara menjadikan cerita dan karakter bernuansa kompleks yang menggambarkan tantangan, kemenangan, kekuatan mereka dalam memperjuangkan kesehatan mental serta penyembuhan juga pencarian dukungan. Sehingga cerita dapat memperluas kesadaran kolektif penonton dan masyarakat.


Jika bercermin di Indonesia, jumlah film yang menampilkan ODGJ tentu lebih sedikit lagi, ditambah belum ada yang cukup siginifikan mengangkat jenis-jenis kondisi mental tertentu. Sehingga ODGJ yang digambarkan masih saja sama dan seragam, yaitu berantakan, kotor, sering meracau, mengacau dan semacamnya. Padahal kondisi mental atau gangguan jiwa ada banyak jenisnya. ODGJ dalam film masih rentan mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari sekitarnya.


Semoga dengan memperlihatkan betapa hinanya perlakukan manusia "normal" pada ODGJ di film ini mampu menyadarkan penonton untuk memperlakukan ODGJ dengan lebih baik dalam dunia nyata. Karena tampaknya mengangkat cerita tentang perlakuan manusiawi kepada ODGJ dalam sinema Indonesia masih butuh upaya dan perjalanan yang cukup panjang.

 

1 komentar:

  1. Film Indonesia ttg ODGJ yg gue inget cuma dua, Pril:

    "Orang-orang Sinting" - tapi gue nggak inget-inget banget detailnya karena pas nonton itu di video gue masih kecil banget. Yang gue inget kegilaan di situ bahan buat komedi.

    Satu lagi:

    "Beth" - ini diputer di kampus jaman gue kuliah. Tokoh utama di "Beth" sama di "Balada..." ada benang merahnya, punya pacar ODGJ juga. Seinget gue kisah cinta mereka cukup sentral di film. Tapi gue nggak inget-inget amat detail ceritanya. Yang pasti seinget gue, gue lebih seru nonton tokoh-tokoh sampingnya daripada tokoh utamanya. ODGJ di RSJ digambarin cukup menarik dengan segala dimensinya di situ. Sudut pandangnya nggak terlalu biasa.

    Meskipun ditaro di rumah sakit jiwa, si tokoh-tokoh sampingan itu buat gue nggak persis kalah juga karena mereka seperti udah keluar dari arena kompetisi, ngebangun arena mereka sendiri. Gue rasa sudut pandang "orang normal" yang bikin mereka dapet label kalah karena seperti udah didiskualifikasi dari arena keidupan yg disepakatin sebagai "normal".

    Si Beth ini endingnya rada cringe, Pril. Beth ketawa ngakak setelah kalau nggak salah anjingnya ditembak bapaknya. Yang gue tangkep, setelah sampe di titik terendah dan nggak bisa jatoh lebih dalem lagi, ternyata dia nggak punya pilihan lain selain naik dan memperjuangkan "kemenangan" dia sendiri sebagai manusia.

    "Balada Sepasang Kekasih Gila" ini gue belum nonton, tapi belum tau sih mau nonton apa enggak. Thank you review-nya,ya, Pril, bagus, tajem, jeli, dan lengkap banget.

    BalasHapus