Selasa, 09 Februari 2021

[CERPEN] Ulang Tahun ke-30


Hari ini ulang tahunku yang ke-30. Dulu, saat masih kuliah dan mulai berpikir tentang masa depan, aku membayangkan bahwa saat usia 30 tahun hidupku sudah mapan dan matang. Nyatanya, beginilah aku sekarang. Terlunta-lunta dan terkatung-katung. Tanpa pendamping hidup dan tanpa pekerjaan yang jelas.


Waktu usiaku masih 20 tahun, aku pernah membayangkan bahwa akan menikah di sekitar usia 25 tahun. Nyatanya? Saat usia tersebut aku justru baru putus dari pacarku setelah menjalin hubungan yang cukup serius selama lima tahun. Lima tahun yang nyatanya sia-sia begitu saja dan kini hanya tinggal menjadi kenangan.


Setelah lulus kuliah, aku membayangkan sudah punya jabatan yang bagus di usia kepala tiga. Nyatanya karir yang kurintis mandek di tengah jalan. Perusahaan tempat aku bekerja bangkrut dan kini aku bekerja serabutan. Apa saja kukerjakan yang penting aku bisa makan. Persetan dengan mereka yang bilang passion harus dikedepankan. Mereka belum merasakan yang namanya uang tinggal recehan dan perut keroncongan.


“Vi, bantuin gue bikin brosur ya.”

“Oke.” 


Temanku Nadia menghubungiku lewat Whatsapp. Dia butuh dibuatkan desain brosur untuk kafe barunya.


Beginilah kerjaanku, sebagai desainer grafis lepas. Aku sering mendesain berbagai kebutuhan bisnis orang lain, mulai dari logo, kartu nama, spanduk, banner, dan lain sebagainya. Kadang pemasukan bisa cukup besar, lebih seringnya pas-pasan. Aku sering iri melihat para klienku. Rata-rata mereka masih berusia cukup muda dan sudah berani buka usaha bahkan tidak hanya satu bisnis saja.


Ada satu klienku yang sudah punya kafe, kemudian buka restoran. Ada juga klienku yang lain yang mendirikan online shop menjual berbagai sepatu, baju dan tas kemudian membuat bisnis bimbingan belajar dengan bayaran yang fantastis.


Yang aku kerjakan mungkin juga bisa dikatakan bisnis walaupun kecil-kecilan. Untung yang kudapat masih di skala pedagang, belum di taraf pengusaha. Tapi aku syukuri saja. Sambil terus melamar kerja di mana-mana. Karena aku tetap butuh penghasilan rutin bulanan.


Bekerja serabutan mungkin menyenangkan. Aku bisa bepergian di saat orang terjebak di kantor. Aku bisa tidur siang saat orang menahan kantuk di meja kerjanya. Aku bisa nonton televisi saat orang-orang mengutuk di tengah kemacetan.


Hanya saja aku butuh kestabilan. Aku merindukan yang namanya bersenda gurau dengan rekan kerja. Aku merindukan aktivitas berulang setiap harinya. Supaya aku merasa lebih punya tujuan.

*

 

Aku memandangi wajahku di cermin. Kerutan-kerutan halus mulai timbul di sana. Terutama di bagian sekitar mata. Flek hitam mulai muncul di mana-mana. Kulitku juga jadi semakin kering dari sebelumnya. Dadaku mulai kendur tak lagi seperti gadis belia.


Tampaknya aku mulai khawatir menghadapi penuaan. Walau menjadi tua itu sebuah proses alami, aku tetap saja takut. Apa jadinya kalau tiba-tiba fisik kita jadi tak sebugar dulu? Apa jadinya kalau otak kita mengalami kemunduran?


Tiba-tiba panggilan masuk dari ibuku di ponsel membuyarkan lamunanku tentang masa senja yang entah akan kuhabiskan seperti apa.


“Ya, Bu, ada apa. Tumben telepon?”

“Via, Selamat ulang tahun, ya. Semoga kamu panjang umur. Sehat selalu. Cepet dapet jodoh dan kerjaan yang bagus,” ujar ibu di seberang sana.

“Amin. Makasih, Bu. Ibu sehat-sehat aja di sana?”

“Ibu agak nggak enak badan sebenernya. Kamu pulang, ya? Ibu udah bikinin kue ulang tahun buat kamu.”


Aku diam sejenak. Aku ngekost di selatan Jakarta. Karena kadang aku harus bertemu klien atau meeting dengan banyak pihak. Itulah mengapa aku memilih tidak tinggal di rumah ibuku di Bekasi. Selain Bekasi itu lumayan jauh dari Jakarta, aku juga malas dipandang oleh tetangga-tetangga ibu sebagai pengangguran, hanya karena aku tidak berangkat pagi-pagi ke kantor seperti karyawan pada umumnya. Karena itu, kadang aku hanya pulang sebulan dua kali atau sebulan sekali ke rumah ibu. Tapi, berhubung ibu sudah bikin kue ulang tahun untukku, sepertinya aku akan pulang hari ini.


“Iya, hari ini aku pulang, Bu. Tapi, mungkin agak sorean, ya. Ibu nggak enak badan kenapa? Sakit?”

“Agak pusing-pusing keliyengan. Mungkin kolesterol ibu lagi kambuh.”

“Yaudah, ibu tunggu sebentar, ya. Nanti Via pulang, ini ada kerjaan yang harus diselesaikan sekarang juga.”


Aku pun segera mengakhiri panggilan dan langsung membuka laptop. Ada pesanan desain proposal dari klien yang harus segera kukerjakan revisinya.

*

 

Butuh waktu beberapa jam dari Setiabudi menuju Bekasi. Aku melihat ibuku terbaring lemas di ranjangnya. Ibu tinggal berdua dengan adikku di rumah. Adikku masih SMA. Kulihat dia sedang menyuapi ibu semangkuk bubur.


Ibu tampak senang melihat kedatanganku. Wajahnya terlihat pucat dan sudah tampak semakin menua. Maklum, usianya sudah 60 tahun. Sehari-hari ia jualan kue di pasar. Tapi, sering nggak jualan karena ibu udah sakit-sakitan.


Uang hasil jualan juga tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Untungnya, saudara ibu yaitu paman dan bibiku kadang masih membantu masalah keuangan keluarga kami dan membiayai sekolah adikku.


“Kamu udah kerja, lagi?” tanya ibu.

Yang ibu maksud dari kerja lagi ini adalah kerja kantoran. Menurut dia yang aku kerjakan sekarang ini ya bukan sejenis pekerjaan.

“Doain aja, Bu. Via udah ngelamar ke mana-mana. Semoga ada yang nyangkut.”

Sebenarnya selama ini bukan tak ada perusahaan yang memanggilku. Hanya saja, besaran gajinya tidak ada yang kuanggap sesuai.

“Ibu selalu doain, Nak. Tapi kalau kamunya aja nggak salat ya, gimana Allah mau kabulin.”


Salat, katanya. Dulu, waktu ayah masih ada, aku termasuk anak yang rajin beribadah. Tidak hanya salat, aku juga rajin mengaji. Semakin dewasa konsep beragama menjadi sedikit berbeda di mataku.


Sewaktu kecil, aku sudah diberikan buku doa-doa. Di dalamnya ada doa masuk ke kamar mandi, ketika bercermin, ketika keluar rumah, dan segala macam aktivitas sederhana lainnya. Aku pun mencoba menghapal itu semua, tapi tetap saja tidak bisa hapal.

“Ibu pengin lihat kamu salat.”

Permintaan yang cukup aneh tiba-tiba keluar dari mulut ibuku. Ibadah itu kan urusan makhluk dengan ciptaan-Nya. Sebenarnya tidak penting apakah dilihat makhluk lain atau tidak.

“Ibu udah lama nggak lihat kamu salat.”

Baiklah. Ibu sedang sakit. Orang sakit lebih baik dituruti. Akhirnya aku mengambil air wudhu. Kemudian menggelar sajadah di samping tempat tidurnya. Kuakhiri salatku dengan doa semoga ibu kembali sehat.


Aku melihat ke arahnya yang masih terbaring. Matanya terpejam tanda tertidur. Kuperhatikan raut wajah ibu yang kulitnya sudah mulai menyusut di banyak tempat. Rambut putihnya sudah bertumbuh semakin banyak. Dulu, ubannya masih bisa dihitung jari. Sekarang tampaknya justru rambut hitamnya yang semakin sedikit.

*

 

“Kamu udah punya pacar lagi, belum Vi?”

“Belum, Bu.”

“Masih belum bisa lupain Bisma?”


Bisma itu pacarku yang terakhir. Yang menjalin hubungan denganku selama lima tahun kemudian berpaling begitu saja dengan mudahnya ke perempuan lain hanya karena dia bilang perasaannya padaku sudah tak sekuat dulu.


Memang setelah putus dari Bisma aku tidak jomlo nelangsa begitu saja. Beberapa kali aku mencoba menjalin hubungan tapi hanya sebentar-sebentar dan kandas begitu saja di tengah jalan. 


Entah kenapa pengkhianatan yang dilakukan Bisma dan kata-katanya yang menyiratkan seolah cinta bisa kedaluwarsa membuatku berpikir ulang berkali-kali jika ingin membangun hubungan yang serius kembali dengan orang lain.


“Jodoh itu di tangan Tuhan, Bu. Kalau belum waktunya ketemu, ya nggak ketemu.”

“Paling nggak, kalau nggak kerja ya kamu nikah. Kalau nggak nikah ya kamu kerja. Bisa dua-duanya lebih bagus. Kalau udah nggak kerja, nggak nikah juga, Ibu sedih, Nak.”


Aku ke luar dari kamar ibu dan terduduk sendiri di meja makan. Memandangi kue black forest yang sudah disediakan oleh ibu. Menatap angka 30 yang tertancap di atasnya. Aku nyalakan korek api di atas lilin berbentuk angka itu, lalu meniupnya begitu saja. Tanpa membuat permintaan apa-apa terlebih dulu.


Entah rasa apa yang menjalari dada. Ketika melihat api itu padam begitu saja. Sulit sekali aku definisikan. Sepertinya, setelah aku kembali ke kostan, aku tidak akan pulang ke rumah ibu dulu untuk waktu yang lama.

*

*Cerita ini adalah fiksi yang diikutsertakan dalam Lomba Blog Menulis Fiksi “Ulang Tahun” yang diselenggarakan oleh Komunitas Blogger Semarang Gandjel Rel




Tidak ada komentar:

Posting Komentar