Minggu, 21 Oktober 2018

Medioker: Menjadi yang Serba Nanggung dan Nggak Istimewa


Pernah nggak kamu merasa jadi orang yang medioker? Jadi orang yang serba nanggung. Nggak punya keahlian yang spesifik, nggak punya bakat dan kemampuan yang memesona. Semua yang kamu bisa serba standar dan biasa aja. Kamu merasa dunia diisi oleh banyak orang luar biasa dan kamu terhimpit karena kamu merasa nggak ada yang istimewa dari dirimu.

Saya mungkin dengan berani mengatakan bahwa saya medioker dan nggak istimewa. Mungkin sebagian orang akan berpikir kalau saya nggak bersyukur, kurang menghargai karunia Tuhan atau yang lain sebagainya. Tapi, ya inilah saya. Semakin tua saya nggak makin mengakar atau meninggi tapi justru mengambang.

Semakin saya terasah oleh hidup, semakin banyak yang terkikis. Kepercayaan diri yang jadi mudah meredup. Optimisme yang seringnya memudar. Keberanian yang kadang terhempas. Terlalu banyak yang dipikirkan tapi sedikit yang dikerjakan. Terlalu banyak kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu dicemaskan.

Sampai saya menyadari…
Sangat nggak apa-apa merasa takut. Sangat wajar merasa pesimis. Sangat manusiawi merasa nggak berguna dan putus asa. Asal jangan jadi sedih berlebihan. Jangan terlalu terpuruk dan mengubur diri hidup-hidup.

Saya medioker. Saya bisanya cuma nulis tapi nggak ahli nulis. Nulisnya macem-macem, dari mulai blog, buku, siaran pers, konten website perusahaan, media sosial. Dari mulai fiksi sampai non fiksi. Pokoknya apa aja yang menghasilkan.

Waktu jadi wartawan lebih beragam lagi. Di media A saya nulis fashion, musik, selebriti, dan film. Di media B saya nulis tentang seni, budaya, sains dan teknologi. Di media C saya nulis properti. Di media D saya nulis tentang arsitektur, desain interior, wisata dan lingkungan. Di  media E saya nulis tentang wirausaha, bisnis, startup dan kreativitas.
   
Dari semua jenis tulisan itu nggak ada yang didalami secara spesifik. Ibarat kata seorang teman pada saya; “Kamu itu kayak orang gali sumber minyak di banyak tempat, tapi yang kamu gali nggak pernah dalem, itu yang bikin kamu nggak akan dapetin apa-apa. Kenapa kamu nggak coba gali di satu tempat aja, tapi yang dalem banget sekalian.”

Ah, nyatanya mungkin yang saya gali memang bukan sumber minyak. Mungkin memang yang saya dapat nggak banyak. Bahkan mungkin nggak dapat apa-apa. Atau bahkan hanya dapat tulang belulang yang busuk. Tahi dan sampah.

Tapi dengan menggali di banyak tempat, saya justru menemukan hal-hal yang beragam, meski tidak terlalu dalam. Saya jadi tahu mana tanah yang keras dan lunak. Seperti apa alat-alat yang harus saya gunakan. Apa yang harus saya pelajari untuk bisa menggali lebih baik. Harus menggali ke mana lagi setelah ini. Bagaimana berdamai dengan kesia-siaan ketika lelah menggali sana-sini dan yang terbit hanya peluh dan keluh.

Menjadi medioker bukan dosa. Nggak apa-apa kalau kita nggak mengerucut seperti kebanyakan orang hebat. Nggak apa-apa kalau kita nggak jadi ahli dan kemampuannya cuma rata-rata. Nggak apa-apa kalau pada akhirnya kita nggak jadi siapa-siapa dan berkarya seadanya. Seenggaknya kita udah mencoba dan terus belajar. Kalau hasilnya ternyata di tengah-tengah dan sedang-sedang aja, apa mau dikata?

Setidaknya, ada yang kita bisa. Ada yang kita suka dan kita kerjakan. Ada yang kita ciptakan dan kita tinggalkan. Apalagi kalau bentuknya sebuah kebaikan. Terlepas kita akan dikenang atau tidak, itu urusan belakangan.
 Suatu saat nanti saya pasti akan menemukan kedalaman. Suatu saat nanti saya pasti akan bermuara pada sebuah tujuan. Suatu saat nanti.