Minggu, 15 Januari 2017

Menikah Bukan Soal Ingin Doang, Tapi Siap Nggak?


Seorang teman bercerita tentang kedekatannya dengan orang baru. Setahu saya, teman saya itu masih punya pacar. Tapi, kata dia, dia sebenernya nggak yakin sama pacarnya itu, sementara dia udah ngebet pengin nikah. Berikut ini petikan curhatnya:

“Pril, gue udah pengin banget nikah.  Umur gue udah berapa, orang tua gue nanyain mulu. Pacar gue sih kayaknya mau nikahin gue, tapi gue ragu sama dia. Gue nggak yakin. Pengin sih jalin hubungan baru lagi, tapi pasti makin lama lagi gue nikahnya.”

Saya kadang nggak ngerti kenapa orang buru-buru pengin atau ngebet nikah. Saya dari dulu bukan tipikal yang menargetkan harus nikah di usia berapa. Saya lebih ke let it flow, kalau udah waktunya pasti ya akan kejadian juga. Dan ternyata bener, saya nikah di usia 27. Setahun sebelumnya saya baru putus dari pacar saya yang sudah jalin hubungan selama 4 tahun. Jadi, sama suami saya sekarang ini, bisa dibilang kami kenal dan dekatnya nggak terlalu lama. Toh, akhirnya nikah.


Nikah cuma karena sekadar "ingin"?

Nikah itu bukan sekadar karena ingin aja. Atau nikah karena ada yang mau nikahin aja. Kalau cuma karena suka sama suka, ya ampun itu mah terlalu bertaruh sama masa depan dan sisa hidup yang kita punya. Nikah itu soal siap atau nggak. Siap hidup sama-sama pasangan kita. Siap susah senang sama dia. Siap berjuang sama-sama di saat jatuh, dan siap untuk nggak ninggalin satu sama lain di saat berjaya. Siap untuk selalu bernegosiasi dan berkompromi sama ego dia, kebiasaan dia, cara hidup dia, dan mimpi-mimpi dia. Siap juga untuk menyelaraskan diri sama dia. Siap untuk selalu mendukung, siap untuk selalu bekerja sama menghidupkan cinta, membesarkan anak (kalau ingin punya anak), bekerja sama untuk membuat kehidupan rumah tangga semakin membaik dari segi apapun. Dan yang paling penting siap untuk terus dan selalu saling mencintai.

Saya nggak ingin menggurui karena untuk segala “siap” yang saya sebutkan tersebut, saya pun masih dalam taraf amatir. Tapi karena merasa amatir saya selalu belajar untuk selalu mampu mempersiapkan diri saya. Saya mau menikah, karena saya pikir dan saya bertekad, bahwa saya mampu menjalankan semua “siap” itu.

Saya juga nggak bilang kalau ragu ya udahin aja hubungannya. Justru ragu sebelum menikah itu perlu. Ragu membuat kita jadi berpikir matang-matang, nggak gegabah dan bisa mempertimbangkan dengan lebih jernih. Ragu bikin kita jadi nggak ceroboh, atau asal memutuskan sesuatu hanya berdasarkan perasaan yang sesaat atau nggak menentu.

 
Mendapatkan pasangan yang tepat

Menikahlah karena memang ingin menghabiskan sisa hidup dengan pasangan. Saya sendiri dengan suami nggak merasa memilih atau dipilih, saya merasa Tuhan yang memilihkan dia untuk saya dan saya dipilihkan untuk dia. Karena, dari berbagai aspek kita punya banyak sekali perbedaan. Setiap saya berdoa soal pasangan hidup sebelum menikah kepada Tuhan, saya memang tidak meminta yang macam-macam. Hanya minta yang sesuai, yang pas, dan doa itu terkabul. Saya pernah punya pasangan yang saya puja, saya juga pernah punya pasangan yang “ngemong”. Nyatanya saya nggak butuh hidup sama orang yang saya gila-gilai atau yang “merawat” saya seperti anak kecil. Saya butuh pasangan yang bisa mengimbangi saya. Saya butuh partner, dalam banyak hal di hidup ini. Bersama-sama mendukung mimpi satu sama lain tanpa harus ada yang merasa superior ataupun inferior. Untuk apa punya pasangan yang memenuhi sederet kriteria dan punya segudang keunggulan kalau nyatanya nggak sesuai sama kita.

Cocok nggak ya saya sama dia?

Perihal cocok atau nggak cocok memang nggak bisa dipatok begitu saja di awal. Cocok nggak cocok itu cuma soal mau saling menyesuaikan atau nggak. Cocok atau nggak itu cuma sejauh mana kita mau mengenal dia dan sejauh apa toleransi kita sama kekurangan-kekurangan dia. Makanya sering banget kan, ada yang putus alesannya karena nggak cocok. Ya, karena manusia nggak statis. Hari ini bisa aja kita masih sanggup toleransi sama kebiasaan buruk dia, beberapa bulan kemudian, ternyata kita udah bener-bener nggak bisa terima. Jadi, nemuin orang yang cocok-cocok banget mah sebenarnya nggak akan ada. 

Pasangan yang tepat itu bukan dicari atau ditemukan, tapi dibentuk, dilatih dan dibiasakan. Sama halnya ke diri kita sendiri, kitanya juga harus membentuk, melatih dan membiasakan diri jadi orang yang pantas dan tepat buat pasangan kita. Kesannya gampang banget ya ngomong dan terlalu ideal kata-kata saya ini, tapi saya percaya kok kondisi ideal itu nggak tumbuh dengan sendirinya, tapi diciptakan. Jadi sah-sah aja punya bayangan ideal kaya apa, asal tau gimana ngimbanginnya sama realitas.

2 komentar:

  1. Setuju mbak, membutuhkan kesiapan lahir dan batin. membaca postingan mbak April saya malah jadi keingat juga prosesi pernikahan aku dulu...Semoga pernikahan mbak laggeng dan abadi ya mbak sampai kakek nenek.... aamiin...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amiin mba iya lbh2 pny anak, ya lahir batin mental fisik materi kudu disiapin semua hehe. Maaci udh brkunjung mba

      Hapus