Kamis, 19 September 2019

Penyebab, Dampak, dan Penanggulangan Bencana Kabut Asap Akibat Karhutla



Kulihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matanya berlinang
Mas intannya terkenang
Hutan gunung sawah lautan
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang lara
Merintih dan berdoa... 
  
Ya, ibu pertiwi kini tengah menangis. Tangis yang menjerit-jerit. Menusuk nurani siapa saja yang melihat atau membaca berita tentang bagaimana lautan api memporak-porandakan hutan di Sumatera dan Kalimantan serta kabut asap yang mengepung masyarakat. Karhutla, atau kebakaran hutan dan lahan. Itu yang sedang melanda di sana. Mengapa disebut kebakaran? Bukankah yang terjadi adalah pembakaran? Keduanya tentu sungguh berbeda.

Motif Pembakaran Hutan untuk Membuka Lahan Perkebunan


Olah gambar: Apriltupai.com


Pada “kebakaran”, ada unsur ketidaksengajaan, sedangkan dalam “pembakaran”, jelas dilakukan karena sengaja dan terencana. Yang menjadi penyebab utama terjadinya karhutla adalah ulah manusia. Ada pelakunya yang membakar. Karena itu, narasi yang tepat adalah pembakaran, bukan kebakaran.

Doni Monardo, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah memantau langsung dari udara menggunakan helikopter BNPB dan ditemukan bahwa titik api terlihat lurus, yang berarti disengaja karena polanya terstruktur. 

“Ada indikasi dibakar dan si pembakar sudah mengerti tata letak dan arah angin. Kita harus bisa mengetahui siapa pelaku ini. Sudah berpuluh-puluh tahun terjadi seperti ini," ungkap Doni seperti dilansir dari website resmi BNPB. Inilah akar masalahnya. Kesengajaan pembakaran yang terencana ditambah seolah ada pembiaran, pengabaian dan kelalaian hingga hal ini bisa terus terjadi.

Total dari bulan Januari sampai Agustus 2019, lahan yang terbakar seluas 328.724 hektare dengan ditemukan sebanyak 4.077 titik panas. Kepala BNPB pun mengungkapkan bahwa 80% lahan yang terbakar berubah menjadi perkebunan sawit. Ini sesungguhnya sebuah hal yang dilematik. Sawit tentunya sulit untuk benar-benar dihindari dalam kehidupan sehari-hari karena masih dimanfaatkan untuk minyak goreng hingga produk kecantikan.

Hanya saja, cara membakar untuk membuka lahan jelas-jelas telah dilarang oleh pemerintah. Dilansir dari Hukumonline.com, salah satu aturan mengenai pembakaran lahan ini ditemukan dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, yang berbunyi: 

"Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup.”

Bagi yang melanggar aturan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar.

Meski begitu, pembakaran masih kerap dilakukan individu maupun korporasi sebagai cara untuk membuka lahan. Karena cara ini dianggap mudah, cepat, dan murah. Tapi, tentu kita sudah tahu betapa buruknya dampak membuka lahan dengan cara ini. Larangan pemerintah diabaikan, ancaman sanksi dan pidana seolah dianggap enteng. 

Padahal, pemerintah pun telah memberikan alternatif lain untuk pembukaan lahan, yaitu dengan PLTB atau Pembukaan Lahan Tanpa Bakar. Salah satunya yaitu dengan rekayasa bioteknologi melalui mikroba yang dikembangan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk mengurangi keasaman tanah agar cocok menjadi perkebunan.


Dampak Buruk Karhutla Bagi Manusia dan Alam

Udara adalah berkah. Tuhan memberikannya gratis kepada kita. Sayangnya, udara bersih sepertinya bukan hak mereka yang tinggal di daerah Sumatera dan Kalimantan, saat ini, khususnya yang terkena dampak kabut asap. Ini menyedihkan.



Saya mencoba melihat kualitas udara melalui aplikasi AirVisual di Palangkaraya pada tanggal 18 September 2019 pukul 23.00 menunjukkan angka 446 yang masuk dalam kategori bahaya. Sehari setelahnya, yaitu tanggal 19 September 2019 angkanya mencapai 1057! Di atas angka 300 saja sudah termasuk kategori bahaya. Apalagi di atas 1.000?

Sementara itu, di Jambi kualitas udaranya juga memprihatinkan. Tanggal 18 September 2019 pukul 8 malam, kualitas udara berada di angka 644! Tidak hanya di dua daerah itu, masih banyak daerah lainnya yang kualitas udaranya berbahaya. Bayangkan jika bayi dan anak-anak hidup dengan kualitas udara seburuk itu, bagaimana rasanya? Haruskah dibiarkan berhari-hari, berminggu-minggu, hingga berbulan-bulan?



Karhutla telah berlangsung cukup lama. Tidak heran ratusan ribu orang terkena ISPA akibat bencana ini. Dilansir dari Kompas.com (18/9/2019) BNPB dan Kementerian Kesehatan mengungkap bahwa ada lebih dari 140 ribu orang yang terkena ISPA akibat karhutla di Sumatera dan Kalimantan.
Olah gambar: Apriltupai.com

Tidak hanya membahayakan kesehatan, bagi lingkungan, karhutla juga menyumbang banyak dampak buruk. Beragam tumbuhan dan hewan terpaksa musnah. Cadangan air bisa menipis, karena hutan kehilangan kemampuan untuk menyimpan air. Potensi bencana alam seperti banjir dan tanah longsor juga mengintai akibat erosi dan pendangkalan sungai akibat karhutla.
Olah gambar: Apriltupai.com


Upaya Pemerintah Mengatasi Karhutla 


Sumber: Twitter @BNPB_Indonesia


Pemerintah telah mengupayakan banyak hal untuk mengatasi karhutla. Melalui data terbaru yang dikeluarkan oleh BNPB per 19 September 2019, jumlah personil yang diturunkan sudah lebih dari 29 ribu personil yang terdiri dari gabungan BNPB, BPBD, TNI, POLRI, dan masyarakat untuk membantu memadamkan api di Sumatera dan Kalimantan.
Olah gambar: Apriltupai.com


Selain menurunkan ribuan personil, water bombing juga telah dilakukan, yakni dengan mengguyur lebih dari 250 juta liter air menggunakan 44 helikopter. Pemerintah juga mengupayakan hujan buatan dengan mencoba memodifikasi cuaca, menyegel 42 perusahaan yang terbukti membakar dan menetapkan 218 tersangka dan 5 korporasi. Untuk membantu korban, pemerintah juga mendirikan pos-pos kesehatan dan rumah oksigen serta menyiagakan puskesmas setempat.


Foto: BNPB.go.id

Pemerintah juga menekankan untuk melakukan pencegahan dari seluruh pihak, atau sinergi Pentahelix, mulai dari pemerintah, masyarakat, dunia usaha, media, dan akademisi. Karena tentunya sulit jika tanggung jawab ini dibebankan hanya pada satu pihak saja. Terutama para pelaku usaha. Mereka seharusnya bisa bertindak lebih bijak lagi dalam menjalankan bisnisnya. Menggunakan cara-cara yang lebih ramah lingkungan agar tidak menimbulkan bencana.

Selain kesadaran dari para pelaku usaha, yang menjadi ujung tombak adalah pemerintah daerah. Pemimpin daerah di setiap tingkatan, mulai dari kepala desa, lurah, camat, bupati, walikota, hingga gubernur seharusnya bisa lebih ketat dalam mengeluarkan izin lingkungan untuk membuka lahan dan melakukan pengawasan. Sehingga pencegahan lebih efektif, dan tidak ada praktik  ilegal pembakaran hutan lagi.

Selain pengawasan, hukum harus benar-benar ditegakkan. Para pelaku harus ditindak sesuai hukum yang berlaku dan menjalani sanksi yang telah diatur dalam peraturan agar ada efek jera.  Sehingga jangan sampai kejadian seperti ini terus menerus berulang lagi di kemudian hari.

 


Apa yang Bisa Kita Lakukan?


Sebagai masyarakat apa yang bisa kita lakukan? Untuk kamu yang berada di dekat lokasi dan terkena dampak kabut asap, lindungilah dirimu agar Siap Untuk Selamat. Gunakan masker, jaga asupan air putih yang cukup dan segera kunjungi pos kesehatan terdekat jika mulai mengalami gangguan pernapasan. Selengkapnya bisa kamu lihat di buku saku Tanggap, Tangkas, Tangguh Menghadapi Bencana yang dikeluarkan oleh BNPB pada tahun 2017 dan bisa kamu unduh di sini

Kita harus mengembangkan Budaya Sadar Bencana agar kita tahu bagaimana harus bertindak dan waspada dalam menghadapi bencana. Perlu adanya pengetahuan yang memadai tentang potensi bencana di sekitar dan bagaimana cara mengurangi risiko bencana. Kenali bahayanya, kurangi risikonya.

Untuk kamu yang berada jauh dari lokasi dan ingin memberikan bantuan, kamu bisa berkontribusi melalui pihak yang menggalang dana dan bantuan untuk korban karhutla, mulai dari pengiriman masker, oksigen dan upaya lain yang dilakukan. Kita bisa ikut memberikan bantuan melalui gerakan-gerakan tersebut. Pilihlah lembaga atau pihak yang memang terpercaya agar bantuan tersalurkan dengan tepat. Berikut ini beberapa pihak yang bisa kamu pilih untuk membantu korban Karhutla.


Kitabisa
Sumber: Kitabisa.com

Banyak orang yang menggunakan platform Kitabisa untuk menggalang dana. Akan tetapi atas nama Kitabisa sendiri, mereka juga membuka donasi yang akan digunakan untuk penyediaan posko kesehatan, masker dan tabung oksigen. 

Selengkapnya bisa dilihat di sinihttps://kitabisa.com/campaign/bisabebasasap.


Aksi Cepat Tanggap
Gambar: Facebook Aksi Cepat Tanggap

Aksi Cepat Tanggap juga membuka donasi untuk kamu yang ingin menolong mereka yang terkena bencana kabut asap. Kamu bisa menyalurkan donasi melalui rekening BNI Syariah 66 0000 4443 atas nama Aksi Cepat Tanggap atau bisa juga kunjungi link: bit.ly/actemergencyresponse.
Jika sudah berdonasi, konfirmasi di sini: https://act.id/donasi/konfirmasi


Dompet Dhuafa
Gambar: Instagram @dompet_dhuafa

Dompet Dhuafa telah melakukan Program Tebar Masker di beberapa titik keramaian, menyediakan Safe House yang terbuka untuk masyarakat yang membutuhkan asupan oksigen. Selain itu, Dompet Dhuafa juga membuka layanan donasi untuk korban kabut asap. 
Kamu bisa berdonasi melalui rekening:
BCA 237.304.7171
BSM 7.000.523.757
A.n Yayasan Dompet Dhuafa Republika

Selain ketiga lembaga itu, tentunya masih banyak lagi orang-orang yang bergerak untuk membantu. Sekecil apa pun kontribusimu, tentunya akan sangat berarti bagi mereka di sana. Bayangkan, bagaimana kalau kita yang ada di posisi mereka? Jika kamu tidak bisa berdonasi pun, bantulah dengan apa yang kamu bisa. Misalnya, dengan menulis di blog atau di media sosial tentang fakta yang terjadi di lapangan. 

Kamu juga bisa menyebarluaskan tentang bencana ini dengan berbagai cara. Supaya informasi tentang pembakaran ini tidak mereda dan berbagai pihak tetap sigap bertindak, karena api belum padam. Jika kamu tidak bisa juga melakukannya, cara paling mudah yang bisa kamu lakukan adalah: berdoa.

Manusia sangat bergantung pada alam, tapi alam tidak bergantung pada kita. Kita yang berutang banyak pada alam. Sementara alam punya mekanismenya tersendiri untuk bisa tetap hidup, tanpa manusia sebenarnya mereka bisa baik-baik saja. Hanya saja, untuk bisa bertahan hidup, manusia butuh untuk mengambil manfaat dari alam. Jika manusia ingin terus mendapatkan manfaat dari alam, satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah menjaganya. Cara menjaga yang paling mudah adalah dengan tidak merusaknya.

Jika alam senantiasa lestari, yang diuntungkan manusia juga, kan? Semua upaya menjaga alam pada akhirnya untuk memberikan dunia yang baik untuk kehidupan generasi-generasi selanjutnya.

Sudah saatnya semua pihak, terutama pemerintah meningkatkan pengawasan mengenai hal ini. Jika ada indikasi titik api, harus segera diketahui dan segera dipadamkan sehingga tidak langsung menyebar hingga ke banyak titik. Karena lahan gambut pada musim kemarau akan sangat kering dan sangat mudah terbakar, sehingga jika ada api akan sulit dipadamkan.

Akan tetapi, haruskah kita hanya pasrah menunggu turunnya hujan lebat sebagai harapan untuk mematikan api? Semoga ke depannya tidak perlu ada lagi kejadian-kejadian seperti ini. Di mana manusia menjadi ancaman utama yang menciptakan bencana untuk manusia lainnya dan alamnya sendiri. 

Kulihat ibu pertiwi
Kami datang berbakti
Lihatlah putra-putrimu
Menggembirakan ibu...

Ibu kami tetap cinta
Putramu yang setia
Menjaga harta pusaka
Untuk nusa dan bangsa...


#BudayaSadarBencana
#KenaliBahaya
#SiapkanStrategi
#SiapUntukSelamat
#KitaJagaAlam
#AlamJagaKita


Sumber referensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar