Sabtu, 28 Januari 2012

ADA TUHAN DALAM KUPASAN BAWANG


DATA BUKU
Judul               : Madre
Penulis             : Dewi Lestari
Penerbit           : PT Bentang Pustaka
Cetakan           : I, Juni 2011
Tebal               : 162 halaman
ISBN               : 978-602-8811-49-1



Wajah Tuhan dalam Kupasan Bawang

Dee, begitu ia biasa disapa, menghadirkan pesona yang terasa magis dari hal-hal yang biasa, yang terasa ajaib dalam keseharian. Begitu ringan dengan kisah yang mengalir, tapi tetap menyentuh, renyah, tapi tidak sepele. Ia sukses mengemas sebuah cerita hingga tidak hanya menjadi ‘sekedar cerita’, tapi cerita yang berbobot, tanpa menggurui. Kompilasi kisah sederhana dari kehidupan yang biasa dijalani dan dilewatkan begitu saja. Di tangan Dee, kisah-kisah seperti itu diolah menjadi sebuah adonan yang kaya rasa, dari bahan-bahan yang tentu saja tidak setengah jadi.
Seperti rasa madre yang difantasikannya, buku ini pun memiliki cita rasa yang begitu khas, khas Dewi Lestari, sekata dengan apa yang ditulis oleh Sitok Srengenge sang editor, “Melalui Madre ini – secara sadar, mungkin tidak sadar – Dee telah mengungkap rahasia dapur kreativitas: sebagaimana produsen roti punya adonan biang, Dee pun punya madre, formula khusus yang membuat karya-karyanya terasa istimewa”. Ungkapan itu tampaknya tidak bohong, karena ketika membacanya, kita akan dibawa ke dunia yang begitu khas Dewi Lestari, dengan tawaran peristiwa biasa yang diramu dengan perenungan yang mendalam, dilarutkan dalam kepekaan merasa, balutan intuisi yang kuat, serta percampuran intelektual di dalamnya, membuat buku ini jauh dari kata ‘kacangan’. Agak sulit biasanya penulis mampu mempertahankan kurva kualitas karyanya jika sudah menelurkan beberapa buku, tak jarang karya pertama seolah menjadi anak sulung yang dikaruniakan beragam kekayaan isi dan mutu, karya seterusnya, hanya kandas mendapati sisa-sisa kecerdasan dan energi yang telah terhabiskan pada karya pertama. Seperti kembang api yang hanya meriah di awal, dan meredup kemudian. Dapat dimaklumi, karena untuk menghasilkan sebuah hasil awal untuk mengangkat ‘nama’ sang penulis, kemudian dibutuhkan suatu gebrakan yang luar biasa, sebagai ‘pendahuluan’, sebagai penentu apakah penulis ini mampu diperhitungkan eksistensinya kemudian atau tidak. Tampaknya ini tidak berlaku bagi Dewi Lestari, grafik dari karyanya yakni sejak rangkaian Supernova, lalu disusul Filosofi Kopi, Rectoverso dan Perahu Kertas, kemudian Madre, tidak terlihat penurunan drastis atau anjloknya kualitas yang mengecewakan pembaca setianya.

Cinta, Tuhan, dan Kehidupan dalam Sekeranjang Tanya
Kumpulan cerita ini merupakan kumpulan dari apa-apa yang menganggu sang pengarang, kegelisahan yang diakibatkan dari gumpalan-gumpalan tanya seputar kehidupan. Kumpulan cerita yang disarikan dari berbagai perjalanan, seperti yang Dee tulis dalam pengantarnya, “Menjelajahi Hasil Fusi”, kumpulan kisah ini ia ibaratkan sebagai sebuah notulen dengan menuliskan penjelajahan-penjelajahan yang ia lalui dalam benaknya, yang merupakan hasil fusi dari sejumlah pertanyaan dan lamunan. Lamunan yang berkisar hal-hal kecil di sekeliling kita, seperti layang-layang, mercu suar, acar bawang, dan lainnya yang akan kita temukan ketika ikut terjun berpetualang bersama Dee dalam kisah-kisahnya ini. Seperti dalam kisah Madre, yang bercerita tentang menghidupkan kembali toko roti yang sudah tua dan melibatkan seorang pria bernama Tansen yang ingin selalu hidup bebas dan awalnya tidak ingin menjadi pengusaha roti, namun hidupnya yang seolah tanpa pijakan itu disindir oleh Mei perempuan keturunan Tionghoa yang ingin membeli Madre, biang roti yang diwarisi oleh kakeknya Tansen, “Kalau bebas sudah jadi keharusan, sebetulnya sudah bukan bebas lagi, ya?” (hal.49). Kalimat-kalimat macam itu yang bila kita mau resapi, sungguh mempunyai makna yang begitu memojokkan bagi mereka-mereka yang mengharuskan dirinya untuk selalu bebas. Hidup, di mata Dee, tak ubahnya sebuah siklus, yang mirip dengan rumusan pertanyaan dan jawaban. Jawaban  yang berupa kesementaraan itu dapat lahir dari tanya, dan dapat menghadirkan tanya yang baru lagi. Seperti itu pulalah hidup. “Semacam siklus reinkarnasi. Ia menjelaskan bagaimana hidup dan mati hadir bahu membahu seperti halnya gelap dan terang. Hidup dan mati berkedip bergantian agar sekeping jiwa dapat merasa dirinya terbelah dua demi mengalami sensasi bersatu kembali” (hal.87-88), dikutip dari cerita yang berjudul Have You Ever?, yang mengisahkan tentang dua orang yang seolah belahan jiwa dan terbantu oleh semesta, dengan mercu suar dan Bintang Selatan. Meski mereka terpisah sang perempuan meyakini bahwa mereka adalah sepasang kekasih yang pernah terpisahkan oleh kematian di kehidupan sebelumnya.
Lebih dari itu Dee mencoba membagi perasaan-perasaan menggelitik tentang cinta dan Tuhan yang coba ia tuangkan dalam cerita yang berjudul “Semangkok Acar untuk Cinta dan Tuhan”. “Itulah cinta. Inilah Tuhan. Tangan kita bau menyengat, mata kita perih seperti disengat, dan tetap kita tidak menggenggam apa-apa. Itulah cinta. Itulah Tuhan. Pengalaman, bukan penjelasan. Perjalanan bukan tujuan. Pertanyaan, yang sungguh tidak berjodoh dengan segala jawaban” (hal. 103).  Dalam cerita dikisahkan tokoh ‘Aku’ yang geram dengan pertanyaan wartawan yang bertanya padanya ‘Apa itu Tuhan’? dan ‘Apa itu cinta?’, mengajak sang wartawan untuk sama-sama mengupas bawang dengan kuku hingga sampai serpih terakhir yang tak bias dikupas lagi.
Akan tetapi, Dee, dengan bijaknya tidak mewartakan jawaban-jawaban dari ramuan kisah yang ia bibitkan dari pertanyaan-pertanyaan. Ia hanya menyuguhkan kilasan-kilasan dari tangkapan lamunannya. Jabaran singkat dari olahan pikirannya. Ia menyerahkan sepenuhnya pada pembacanya, yang justru bisa saja memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru, karena perumusan jawaban, justru hanya akan membawa kita pada persemayaman kesementaraan, “Jawaban hanyalah persinggahan dinamis yang bias berubah seiring dengan berkembangnya pemahaman kita. Namun, pertanyaanlah yang membuat kita terus maju”.
13 kisah menarik  dalam Madre, yang merupakan kumpulan karya Dee selama lima tahun terakhir, telah menunjukkan kepiawaiannya sebagai penulis perempuan berbakat yang dimiliki Indonesia. Dee yang telah memperoleh berbagai penghargaan sastra, rupanya memiliki keinginan yang begitu mulia namun terkesan sederhana, baginya, hadiah terbesar sebagai penulis adalah ketika karyanya dapat menyentuh, bahkan mengubah hidup pembacanya. Memang bukan perkara yang gampang, namun tampaknya dengan melihat karya-karya Dee, hal macam itu bukanlah sesuatu yang mustahil.


*resensi ini dimuat di harian Kompas, Minggu 15 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar