Sabtu, 19 November 2011

Mendidik Murid, Mendidik Diri

November 19, 2011 0
"Percuma menjadi guru jika kau lupa untuk mendidik muridmu yg paling penting, yakni dirimu sendiri" -April Tupai
Menjadi guru privat awalnya bukanlah sebuah cita-cita, itu hanyalah sebuah sampingan. Sekedar untuk mencari uang tambahan saat saya masih kuliah dulu. Namun, rupanya bertemu dgn anak-anak bisa jadi pengobat hati yg sedang terluka. Mereka membuat hidup saya lbh bewarna, membuat saya menjadi punya arti dan merasa dibutuhkan. Walau terkadang miris ketika mendengar cerita mereka seputar pacaran, dan putus cinta. Anak kelas 6 SD yg harusnya msh senang2 bermain dan belajar sudahkah harus berpait2 dgn kata putus pacaran? Lantas menjabarkan mantan2nya yg tidak sedikit. Tentu saja dibarengi dgn kisah penyitaan BB oleh gurunya, sampai sang guru mendapat berkantong2 plastik penuh BB. Mungkin mereka tak lagi mengenal fase anak2, ketika mereka bahkan tidak tahu, apakah mereka masuk kategori itu? Ketika tak lg ada ciri khusus yg dapat terlihat, selain umur yg masih muda sekali dan badan yg tidak besar. Dan kisah lucu dr seorang anak yg tinggal d apartemen dan tidak mengerti bagian mana dr rumah yg berfungsi sbg sirkulasi udara, ia tak lagi mengenal jendela atau lubang angin sebagai tempat bertukarnya udara dalam dan luar rumah, mgkn jendela d rumah ini hanya sbg pelengkap, utk melihat pemandangan d luar saja. Fungsinya tak lebih dr itu. Anak ini hanya tahu AC sebagai alat untuk membuat  udara bersiklus. Tapi mungkin memang karena alam sudah tak lagi menjadi penyedia udara bersih, sebagai pemasok, ia telah kehilangan stok. Hmm, dunia anak-anak memang menarik, menarik karena aku begitu sadar sela waktuku menjadi anak-anak dulu mgkn sudah terlalu jauh dgn masa mrk skrg. Pelajaran mereka sudah semakin sulit. Entahlah, mgkn krna takdir, krna mereka terlahir d keluarga yg berkelebihan, maka yg mrk alami pun berbeda. Tapi, bukankah ada yg seharusnya tdk berubah, kelamiahan mrk, kepolosan mrk, meski cikal bakal cendekiawan dpt kulihat dr bbrapa mata murid yg kuajar, sisanya, sepertinya hanya akan tumbuh sbg remaja galau biasa kelak, tp bbrapa, masih menyimpan kekritisan yg menjadi bekal "kebesaran" mereka nantinya. Apapun, mengajar membuatku selalu sadar utk tidak berhenti mencari tahu. Karena murid adalah satu-satunya alasan yg membuat guru tak berhenti utk terus belajar :)

Jumat, 04 November 2011

Perkenalan Sewon Art Space

November 04, 2011 0



Bulan Juli 2011 kemarin, tepatnya tanggal 29, Sewon Art Space Yogyakarta melangsungkan pembukaan pameran yang berjudul  “To Know The Unknown” (Mengenal yang Tidak Dikenal) yang sekaligus menjadi ajang memperkenalkan art space baru tersebut dengan memamerkan karya dari 3 perupa Indonesia dan 3 perupa Austria. Karya-karya yang dipamerkan hingga 12 Agustus 2011 ini merupakan kolaborasi dari seniman yang berasal dari 2 negara tersebut. Mengapa dipilih sistem kolaborasi? Karena sistem pameran kelompok sudah biasa dalam dunia seni visual, tapi soal kolaborasi, biasanya tampil berupa bentuk kerjasama dalam seni musik, film atau pertunjukkan.  Project pertama yang dianggap jarang dan tidak biasa ini – karena menampilkan karya kolaborasi seniman dari 2 negara – diharapkan menjadi batu loncatan yang cukup baik untuk Sewon Art Space ke depannya. Proses perekenalan ini melibatkan Marbod Fritsch, Lukas Birk, dari Bregenz, dan Karel Dudesek dari Vienna, sedangkan dari pihak Indonesia tercantum nama Nurul Hayat (Acil) dari Tasikmalaya, Baskoro Latu dari Yogyakarta, dan Arya Sukapura Putra dari Bandung. Menariknya, Acil yang berkolaborasi dengan Fritsch, Baskoro dengan Lukas, dan Dudesek dengan Arya, dikondisikan untuk tidak saling mengenal satu sama lain secara personal maupun melalui karya-karya mereka hingga pada saat momen pameran untuk meningkatkan ketegangan di antara para seniman tersebut.

Lahirnya seniman dan art space memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk dapat terus eksis dalam dunia seni, keberlangsungan nama mereka itu ditentukan melalui perkenalannnya terhadap publik, untuk dilihat, diakui, kemudian diapresiasi. Ada semacam narasi kecil yang tereksplorasi melalui eksperimen project ini. Eksperimen yang diawali dengan membuat hubungan dalam ruang, yang saling terpaut dalam warna dan bentuk, eksplorasi pikiran dan rasa yang dikeluarkan melalui kata-kata dalam naungan waktu. Penyatuan yang menjadi sebuah seserahan, pembuka jalur Sewon Art Space sebagai pendatang. Pengolahan penyatuan yang mengantarkan Sewon Art Space ke wilayah seni yang lebih luas lagi, harus diteruskan dengan menguatkan jaringan-jaringan yang mulai dijalin. Karena tidak hanya dalam dunia seni yang memang mengharuskan adanya jejaring sosial yang kuat di dalamnya, untuk  kehidupan manusia pada umumnya perihal membangun jejaring menjadi persoalan yang tidak bisa disepelekan.

Umumnya karya-karya kolaborasi ini tidak terlalu menekankan konsep tertentu, karya yang cukup menarik lahir dari Nurul Hayat (Acil) yang bertajuk “Live in Sign” yang diimbangi judul dari Fritsch,  “Network”. Karya Acil ini berupa sejumlah miniatur berbentuk manusia yang terbuat dari koran-koran bekas dan terjaring dalam tali-tali yang saling berhubungan begitu semerawut, orang-orang yang terjerat itu berada di atas cermin lebar dan berada di dalam tiang-tiang alumunium berbentuk limas segi empat. Karya itu seolah menegaskan bahwa manusia-manusia postmodern selalu hidup dari jaringan tanda, sekumpulan petanda yang termuskan melalui bahasa, bahasa yang dibentuk oleh society seperti yang Derida bilang bahwa tubuh pun menjadi semacam teks. Manusia-manusia dalam limas Acil seperti tidak dapat bebas, serupa kebudayaan yang mengikat, persis yang dikatakan antropolog Clifford Geertz, bahwa kebudayaan seperti jaring laba-laba, dimana manusia terjebak di dalamnya, dan dapat membuat jaring baru. Begitu pula dan budaya seni visual, jejaring, menjadi poin yang penting. Yah, begitulah sekiranya apa yang ingin disampaikan art space yang berlokasi di Palem Sewu RT 06, Pangunharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta ini melalui kehadiran barunya. Dengan program AIAP (Austro Indonesian Arts Program), ia memfasilitasi kolaborasi dan wacana antara seniman Indonesia, Austria dan Eropa, dan mempromosikan seni kontemporer dari berbagai disiplin ilmu.

Tentunya kehadiran Sewon Art Space di ranah seni visual sebagai wadah baru yang menampung jiwa-jiwa kreatif perlu diapresiasi. Karena bagaimana pun, jumlah seniman yang lahir tiap tahunnya tidak dapat dikatakan sedikit. Timbul-tenggelamnya mereka bergantung dari bagaimana ‘memperkenalkan diri’ dan membangun jejaring, di samping kualitas karya yang tidak dinomorduakan, niscaya, itulah yang akan menentukan keberlangsungan mereka dalam dunia yang mereka pilih. Kehadiran Sewon Art Space yang turut meramaikan ruang-ruang seni di kota Yogayakarta seolah tidak hanya ingin menjadi wadah, ruang pamer, atau fasilitator berkesenian, tapi terlibat dalam dinamika seni, dan meretas rasa asing di dunia seni, melalui perkenalannya. Selamat berkenalan!











Nurul Hayat (Acil), “Live in Sign”(2011), used newspaper, thread mirror, alumunium

Marbod Fritsch, “Network”(2009), 160x240 cm print on foils

Photo by: Haryo Canggih Wicaksono



Rabu, 02 November 2011

“Mencatat Batu”, Mencatat Perasaan dalam Ingatan

November 02, 2011 0



Batu, seperti yang kita lihat sehari-hari merupakan benda mati yang begitu kaku, namun benda bisu itu disulap oleh Komroden Haro menjadi sesuatu yang seolah hidup, seperti manusia. Itulah yang terjadi pada pameran tunggalnya yang berlangsung dari tanggal 6-14 Agustus 2011 di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). 40 patung-patung yang membatu itu seperti berutur, seolah berbicara. Beberapa di antaranya masih dijadikan Komroden Haro sebagai medium untuk mengangkat cerita tentang kehidupan, semacam perantara pesan dari sang senimannya, tapi beberapa yang tampak istimewa justru ketika batu-batu itu seperti bercerita sendiri, bertutur melalui bahasa diamnya.

Seperti patung batu yang ia beri judul “Berkeringat”, tampilannya begitu sederhana, dengan tonjolan-tonjolan di luar permukaan batu yang merepresentasikan keringat, tapi kesederhanaan itulah yang terasa mengusik, benda yang mati macam batu, dapat dikhayalkan berkeringat layaknya makhluk hidup. Tak jauh berbeda dengan karya “Sleeping Stone” nya, batu kecil yang di atasnya berada tulisan ‘Zzzzz’ mengungkapkan bahwa keheningan yang dimiliki batu bukan berarti ia tidak bersuara, begitu juga karyanya yang berjudul “Family”, yang divisualkan dengan beberapa tumpukan batu yang diikat oleh tali, namun tali-talinya tampak putus di beberapa sisi, seolah mencerminkan makna “Keluarga” yang tidak selalu dalam satu koridor dalam hidup manusia. Bahkan batu pun tidak membatu, ia mampu merasa, layaknya manusia. 




Merajut Puisi pada Batu



Seperti yang dikatakan kurator pameran ini, Rain Rosidi “Batu bagi Komrodin bukan hanya persoalan sebuah material, namun juga karakter bentuk”. Akan tetapi lebih dari itu, pameran ini tak hanya sekedar bermainnya wacana bentuk (form), patung-patung yang tak hanya bermaterial batu – tapi juga logam dan resin – itu tidak hanya menonjolkan apa yang dapat dilihat secara visual saja, tapi seolah dapat didengar. Melebihi yang tampak (beyond the visual) menjadi ciri dari pameran ini, kekuatan karya patung tidak melulu mengutamakan sisi material. Tapi makna-makna tersembunyi (hidden meaning), yang lebih bersemayam pada in absentia, tidak semata pada yang in praesentia, yang dapat dinilai melalui teknik dan bentuk, yang maknanya dapat ditangkap sekarang. Namun karya-karyanya cukup tampak kuat karena Komroden mampu mengkombinasikan keduanya. Patung-patung itu seakan berkisah, entah berdialog, ataupun berbicara sendiri. Benda mati itu bagai bernyawa dan bernafas, berpuisi dengan suara yang begitu lirih, bernyanyi dengan nada yang begitu sepi. Komroden memahat sajak pada patung-patungnya, senada dengan yang disebut Thomas Gray, bahwa puisi adalah pikiran-pikiran yang bernafas. Batu-batu dalam kemasan Komroden telah merajut untaian ide-ide dan kepekaan, hingga menghasilkan alunan puisi yang seolah memanusiakan batu. Serupa juga dengan apa yang dikatakan William Shakespeare dalam All's Well That Ends Well Act 2, scene 1, 72–78 (‘Breathe Life Into Stone’), I have seen a Medicine. That's able to breathe life into a stone, Quicken a rock, and make you dance canary with spritely fire and motion,whose simple touch is powerful to araise King Pippen, nay,To give great Charlemain a pen in 's hand. And write to her a love-line.

Image-image keras dan bisu dari patung-patung seolah dipatahkan oleh Komroden Haro, dilunakkan hingga penciptaannya kembali menjelma dongeng, dongeng tentang sebuah negeri, seperti karyanya yang ia letakkan di bagian depan pintu masuk berjudul “Thanks to Earth”, sebagian lainnya menjelma puisi-puisi tentang cinta dan kehilangan, seperti salah satu contohnya karya yang berjudul “Wish You Were Here”, karya tersebut menampilkan batu yang sedikit bagiannya bolong membentuk rupa wajah manusia, puisi yang mencerminkan kerinduan untuk merasakan kelengkapan, perasaan yang rumpang karena kehilangan. Hal ini senada dengan karya lainnya yang berjudul “Loosing Addres”, yang berbentuk seperti organ hati manusia.

Menonton pameran ini seolah menyaksikan pertunjukkan patung dan batu-batu yang menari dalam gerakan bisu, bernyanyi dalam bisik yang hening, begitu puitis. Patung di tangan Komroden Haro, sebagai benda padat, berisi pemadatan ide, namun telah mencairkan makna di benak setiap apresiator, di setiap hati manusia yang datang menonton, mencatat dalam ingatan, apa-apa yang mereka saksikan dari pameran “Mencatat Batu” ini



Kalau batu saja mampu merasa, bagaimana dengan kita?

 Komroden Haro, ”Sleeping Stone” (2001), 30x35x40 cm, polyester resin (model untuk perunggu) 
Photo by: Haryo Canggih Wicaksono



Selasa, 01 November 2011

“My Imaginarium”, Meretas Batas dalam Karya Seni Rupa dan Desain Interior

November 01, 2011 0


Tidak ada yang tidak mungkin dalam penciptaan sebuah karya seni. Karena bentuk kebebasan yang paling optimal memang hanya dapat diperoleh di sini, meskipun batasan-batasan tertentu masih sedikit-banyak menungganginya, karena, tentunya tidak ada kebebasan yang benar-benar penuh, dalam hal apa pun. Pada celah itulah, Rio Setia Monata, mencoba mengeluarkan ide-ide fantastisnya dalam pameran tunggalnya yang berlangsung dari tanggal 29 Juli- 9 Agustus 2011 di Tembi Rumah Budaya, Yogayakarta. Dalam usianya yang terbilang cukup belia, pria kelahiran Ambarawa, 20 Maret 1989 itu memperlihatkan karya-karyanya yang mewakili jiwa anak-anak muda, sekaligus dengan perlawanan untuk meretas batas baik di dalam seni, maupun di jurusan Desain Interior, tempatnya menimba ilmu. Seni-seni yang dianggap agung biasanya menafikan sisi fungsional. Pembeda macam itu hanya agar menghindari lahirnya seniman-seniman ‘tukang’, yang hanya mampu melahirkan benda-benda fungsional yang biasanya mengabaikan sisi estetik. Hingga seni pakai, umumnya mendapat nilai pengakuan yang lebih rendah, karena dianggap ‘mengotori’ keluhuran dari seni. Seni-seni yang terlihat terbatas itulah yang coba dijembatani oleh mahasiswa Institut Seni Rupa Indonesia (ISI) Yogyakarta itu dengan sisi fungsional yang tidak sebatas kerjaan ‘tukang’.

Di dalam dunia desain interior tampaknya agak sulit ditemukan benda-benda yang di luar ‘kewajaran’ desain. Ada standar-standar tertentu yang mengharuskan sang desainer tidak membuat karya yang aneh-aneh, atau yang tidak normal. Selalu ada patokan-patokan yang membuat sang desainer berkompromi dengan jiwa seniman dalam dirinya, bernegosiasi dengan fantasi-fantasi liar miliknya.


Revolusi Damai terhadap Kelaziman

Pameran yang bertajuk “My Imaginarium” ini tampak memberikan sedikit angin segar di dunia seni rupa, dan khususnya di dunia desain interior itu sendiri. Seperti yang dapat terlihat dari beberapa karya Rio yang memanfaatkan barang-barang bekas yang kemudian ia sulap menjadi sesuatu yang bernilai, dengan tetap menyisipkan kekhasan dari dirinya. Seperti contoh karyanya yang berjudul “Joyful Home”, sebuah kursi santai yang tersusun dari kaleng-kaleng kosong cat semprot bekas pakai. Ia mengubah sampah, menjadi sesuatu yang berguna, dan memanjakan. Sebagai seniman yang suka membuat mural, kaleng-kaleng kosong itu begitu mencirikan dirinya. Dari apa-apa yang tersisa dari dirinya, masih dapat ia dayakan untuk membuat sebuah ruang dari impian-impiannya, rumah yang menaungi kesenangan-kesenagannya, sekiranya itulah pesan yang tertangkap dari kursi ‘Joyful Home’ yang diletakkan di dekat pintu masuk ruang pameran. Kejelian untuk merombak sesuatu yang tampak biasa menjadi luar biasa, menjadi salah satu kekuatan dari peserta ketujuh program Artist in Residence Tembi Rumah Budaya ini.

Kalau arsitek Amerika, Louis Sullivan mengatakan “Form follows function”, sebuah ungkapan yang menekankan bahwa arsitektur berkaitan dengan tempat untuk manusia melakukan aktivitas sehingga aspek kegunaan begitu dipentingkan, Rio justru mengatakan bahwa “Form follows beauty”.  Fungsi, tidak lagi didewakan baginya, namun, juga bukan berarti ditinggalkan secara mutlak. Ia tidak medekonstruksi secara total, lebih kepada halus, tapi cermat. Suatu bentuk kekritisan yang tidak sinis.

Ada bentuk-bentuk rumah yang unik yang tampil dalam karyanya, ada ragam orang-orang kecil yang menyemut, terlihat suasana yang begitu riuh, terlihat warna-warni yang ramai. Ada sofa, ada cermin, ada jendela, pintu, akuarium, benda-benda yang terbiasa menghiasi interior rumah, namun figur-figur biasa itu diubah menjadi tampilan yang tidak lazim. Ada semacam energi pemberontakan yang begitu halus, karena seni memang bisa menjadi sebuah jalan revolusi yang damai. Hentakan perlawanan yang manis itu seolah ingin ‘menggoyang’ pakem-pakem dalam seni rupa dan juga desain interior. Antara estetika, dan benda-benda fungsional, antara kekakuan dalam desain dan kelenturan dalam seni. Benda seni yang dapat dipakai, bukan berarti menurunkan derajat ‘ke-seni-annya’, dan benda-benda yang aneh, nyentrik, bekas dan tidak sesuai standar desain, tidak lantas tak dapat menghasilkan fungsi. Dalam perlawanannya ini Rio seolah ingin memperlihatkan jiwa kekanakannya, yang penuh fantasi dan imajinasi. Uniknya, semacam ada kesenangan untuk menciptakan sesuatu yang penuh dengan kenyamanan di balik karya-karyanya yang terkadang terlihat berantakan.

Rio pun melampaui batasan karya seni dalam pameran yang biasanya tidak boleh disentuh, karya-karya seni yang biasa dipajang dalam pameran-pameran umumnya selalu diberi larangan untuk disentuh, hanya boleh dipandangi saja. Lain halnya dengan karya yang dibuat Rio, yang tidak hanya dapat dinikmati lewat mata, namun juga dapat dimainkan bahkan didudukki. Seperti contoh karyanya yang diberi judul “Soulmate Blissfulness Chair #1”, karya ini berupa sofa yang dihias dengan gambar, karya ini tentunya dapat kita dudukki. Seolah tidak berjarak antara karya seni dengan penontonnya. Karya tersebut menjadi salah satu contoh, bahwa Rio mengambil inspirasi dari benda-benda sederhana yang dekat dengan kita, benda-benda yang menemani manusia di dalam rumah dan biasanya diabaikan justru bisa menjadi sebuah belahan jiwa kita, sumber kebahagiaan kita, karena di situlah kita terbiasa terduduk, bahkan tidur, atau berlompat-lompatan di atas sofa, seperti anak kecil, benda-benda rumah, selalu mengingatkan kita pada kenangan-kenangan masa kecil, kenangan-kenangan manis yang terpatri pada perabot-perabot yang menghias rumah.





Rumah, Fantasi, dan Kenangan yang Meruang

Seperti khayalan seorang anak tentang sebuah rumah, beberapa karya Rio menampilkan sosok rumah dan atribut-atributnya yang tidak biasa. Rumah seperti bentuknya yang seolah tumbuh ke atas serupa dengan khayalan kita yang vertikalitas menurut  Gaston Bachelard. Rumah baginya adalah tempat yang melindungi impian-impian penghuninya, rumah adalah tempat merajut kenangan-kenangan. Makna rumah sebagai penampung lamunan (daydream) yang selalu terbawa dalam alam khayal kita. Hal ini memungkinkan manusia melahirkan gagasan-gagasan dari imajinasinya yang hadir. Pendapat Bachelard itu tampakanya senada dengan pameran ini.

“My Imaginarium”, kata itu mengingatkan pada kata indung telur, atau ovarium yang ada pada tubuh perempuan. Ovarium melepaskan ovum, dan proses pelepasan yang disebut ovulasi itu bergerak menuju rahim dan dapat berkembang menjadi zigot jika bertemu dengan sperma dan terjadi pembuahan, jika tidak ia akan luruh menjadi darah mens. Proses macam itu dapat diibaratkan dengan proses pengejawantahan dari imajinasi-imajinasi yang dimiliki Rio. Ada ruang di dalam dirinya yang bersemayamkan imajinasi, pelepasannya melibatkan pergulatan dari beragam perasaan. Beberapa karyanya terlahir seperti bayi yang berhasil keluar dari rahim fantasinya, terlihat begitu murni, dan apik, karena melalui proses pematangan, sebagian karyanya luruh seperti darah mens, proses yang hanya melibatkan rutinitas dan gejolak sensitif kondisional, tapi tidak terlihat menjijikkan. Apa pun yang lahir dan luruh, tidak mengurangi kenikmatan penonton yang menyaksikannya. 
Rio Setia Monata, “Flowing Down Like A Waterfall” (2011),

60 cm x 110 cm x 200 cm, Mix Media ( experiment)

Photo by : Haryo Canggih Wicaksono




Rio Setia Monata, “Joyful Home” (2011),

75 cm x125 cm x155 cm, spray paint on aerosol can and teak wood

Photo by : Haryo Canggih Wicaksono